Koran Sulindo – Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Umumnya modus operandinya adalah dengan iming-iming bekerja ke luar negeri alias menjadi buruh migran. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya, catatan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) jumlah buruh migran yang pulang dalam keadaan tewas mencapai 101 orang.
Dari jumlah itu, sebagian besar jenazah warga negara Indonesia itu tidak keadaan utuh. Dengan kata lain, organ tubuh mereka hilang. Sejalan dengan itu, penyelesaian TPPO tampaknya belum memberi rasa keadilan bagi korban. Buktinya, proses penegakan hukum terhadap pelaku TPPO masiih sangat rendah dan jauh dari maksimal.
Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (Jarnas) bahkan menyebutnya proses peradilan atas kasus TPPO tidak mengalami kemajuan atau bisa dikatakan “jalan di tempat” dan bahkan mengalami kemunduran. Salah satu buktinya adalah rendahnya tuntutan terhadap pelaku TPPO: Paulus Baun alias Ambros dan J. Rusna di Batam, Kepulauan Riau.
Menurut Ketua Jarnas, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, tuntutan terhadap Rusna itu menjadi bukti ketidakadilan yang dialami korban MS, 16 tahun. Karena itu, pihaknya mengecam keras sikap Kejaksaan Negeri Batam yang menuntut ringan pelaku TPPO karena tidak mempertimbangkan prinsip keadian dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
“Kasus tersebut sungguh memprihatinkan, jaksa tidak menggunakan aturan hukum yang sesuai. Kasus di Batam itu justru pakai UU Perlindungan Anak,” kata Sara – panggilan akrabnya – melalui pesan Whatsapp.
Secara terpisah, Direktur Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia (Padma) Gabriel Goa mengatakan, pihaknya sungguh prihatin atas tuntutan jaksa atas kasus di Batam itu. Sungguh itu menggambarkan ketidakadilan hukum bagi masyarakat miskin dan seakan-akan hukum hanya milik orang-orang tertentu.
Penegakan hukum, demikian Gabriel, seharusnya tidak memandang bulu. Karena itu, Padma dan juga Jarnas mendukung langkah aktivis yang memperhatikan masalah perdagangan orang di Batam untuk menggalang dukungan dari berbagai pihak baik di tingkat lokal maupun nasional. Juga mendesak Mahkamah Agung untuk memutus perkara ini dengan mempertimbangkan prinsip keadilan bagi korban.
Jarnas, kata Gabriel, juga mendesak Kejaksaan Agung untuk mencopot Kepala Kejaksaan Kepulauan Riau dan Kejaksaan Negeri Batam serta menindak tegas jaksa penuntut umum karena tidak mempertimbangkan aspek keadilan bagi korban TPPO. Lalu, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial dan MA untuk mengawasi para hakim yang bertugas mengadili perkara TPPO di Batam.
“Kami juga meminta dukungan dari berbagai pihak untuk mengawasi proses sidang putusan kasus ini demi tercapainya asas persamaan hak di muka hukum,” kata Gabriel. [KRG]