Keterlibatan TNI soal Terorisme dan Ancaman terhadap Demokrasi

Wakil Ketua Komisi I DPR, Tb Hasanuddin

Koran Sulindo – Pro dan kontra mengenai keterlibatan TNI dalam menangani kasus terorisme terus berlanjut. Akan tetapi, Wakil Ketua Komisi I DPR Tugabus Hasanuddin merasa keterlibatan TNI itu adalah sebuah keniscayaan.

Mengenai keterlibatan TNI ini akan diatur dalam revisi Undang Undang Tindak Pidana Terorisme. Soal pendapat politikus PDI Perjuangan itu keniscayaan TNI terlibat dalam memberantas terorisme bukan tanpa dasar. Ia, misalnya, menganggap kejahatan terorisme bukan sekadar pidana umum biasa.

“Ini merupakan kejahatan trans-internasional dengan ideologi tertentu. Organisasinya terstruktur, dananya teroganisir dan mengancam keselamatan bangsa dan negara,” kata Hasanuddin melalui keterangan resminya pada Rabu (7/6).

Hasanuddin menuturkan, menangani terorisme dengan cara konvensional dan pendekatan hukum sudah tidak tepat. Barangkali di awal-awal seperti di Indonesia, karena terorisnya hanya muncul tiga hingga lima orang bisa ditangani dengan cara lama dan penegakan hukum.

Tapi, tindakan teroris kini berkembang pesat. Mereka memiliki cita-cita dan ideologi sehingga terus berubah serta bergerak membesarkan kemampuannya. Awalnya mereka akan bergerak secara senyap, secara tertutup dengan memanfaatkan jaringan sel-selnya untuk melakukan kegiatan teror.

“Pelakunya pun hanya dipilih dari mereka yang siap menjadi martir melalui peledakan bom atau model serangan lain. Dan sifatnya masih gerakan perorangan yang dilakukan oleh kelompok kecil. Kalau tim-tim kecil ini sudah terorganisir, mereka akan berubah menjadi satuan gerilyawan, dan ujung-ujungnya pasti akan melakukan perang terbuka,” kata Hasanuddin.

Itulah yang terjadi di Irak, Suriah dan terbaru di Marawi, Filipina. Melihat perkembangan tersebut, Hasanuddin tidak ingin TNI bergerak dengan menunggu kelompok militan itu menjadi besar. Ia karenanya menilai teori demikian tidak tepat. Terlebih perang terbuka membutuhkan informasi dan persiapan matang.

Semisal, kemampuan intelijen musuh, susunan bertempur musuh (SBM), susunan persenjataan musuh (SPM), taktik bertempur musuh (TBM), dan lain sebagainya. Maka, dalam situasi yang disebutkan itu, TNI membutuhkan hal-hal tersebut sehingga perlu dilibatkan sejak awal.

Itu sebabnya, Hasanuddin menilai keterlibatan TNI sejak awal dalam memberantas terorisme menjadi keniscayaan. Itu yang perlu diatur dalam draf revisi UU Tindak Pidana Terorisme.

Berbeda dengan Hasanuddin, sejumlah organisasi masyarakat sipil menolak pelibatan TNI dalam menangai kasus terorisme. Setara Institut, misanya, usulan pelibatan TNI akan mengancam akuntabilitas sistem peradilan pidana terorisme. Pasalnya, pendekatannya menggunakan militer. Alasan yang lain, TNI disebut bukan aparat penegak hukum yang bertugas memberantas kejahatan termasuk terorisme.

Hal yang sama diutarkan Direktur LSM Imparsial Al Araf. Melibatkan TNI secara langsung dalam memberantas terorisme – bukan dengan sistem Bawah Kendali Operasi (BKO) – akan menjadi ancaman serius terhadap demokrasi, hak asasi manusia, dan supremasi hukum di Indonesia.

Jika sudah demikian, masihkah TNI akan ngotot terlibat dalam penangani terorisme? [KRG]