Ilustrasi/deviantart.com

Koran Sulindo – Kisah ini, jika diceritakan dalam konteks dunia politik praktis sekarang, mungkin bagaikan terjadi di “negeri dongeng”. Tapi ini benar-benar terjadi, setidaknya begitulah yang diceritakan politisi senior Sabam Sirait kepada saya.

Dulu, ketika Sabam Sirait menjadi petinggi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), ia mengagumi beberapa sejawatnya di partai banteng itu. Dua diantaranya adalah Abdullah Eteng dan Muhidin Nasution, yang nama mereka berdua jarang sekali muncul dalam kepustakaan politik. Kekaguman itu terutama dikarenakan keteguhan tokoh-tokoh ini dalam berpolitik, ditengah tekanan dan ancaman rezim Orde Baru.

Pada masanya Abdullah Eteng termasuk politisi legendaris. Ia tokoh PNI Sumatera Utara yang sudah mulai berpolitik sejak zaman pergerakan kebangsaan. Eteng lahir di Kampung Mesjid Labuhan Batu, tahun 1912. Ia menempuh pendidikan di Governements Inlandschooldez, kemudian melanjutkan ke Sekolah Bahasa Inggris Methodist Tanjung Balai, dan mengikuti kursus-kursus pengetahuan umum.

Abdullah Eteng pernah sepuluh tahun lebih menjabat bupati di tiga daerah di Sumatera Utara: Asahan, Karo, dan Deli Serdang. Pada tahun 1968, ia menjadi ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasional Indonesia (PNI).

Ketika PDI terbentuk, Eteng menjadi Ketua PDI Sumatera Utara yang pertama. Selanjutnya, ia menjadi salah seorang Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pada tahun 1977 Abdullah Eteng terpilih menjadi anggota DPR RI. Ketika menjadi anggota DPR RI (periode 1977-1982) itu fokus perjuangan Eteng terutama masalah pembebasan tanah. Hampir tak ada masalah pembebasan tanah di Tanah Air yang luput dari perhatiannya. Untuk soal ini tidak ada anggota DPR lain yang bisa menandinginya. Eteng sangat paham bagaimana mempertahankan komitmen serta trik-trik dalam memperjuangkan hak-hak rakyat yang digusur dari tanah miliknya. Setiap ada masalah penggusuran dan konflik pertanahan dimanapun, Eteng turun langsung membela rakyat yang digusur. “Kalau kita benar, jangan takut. Hidup kan hanya sekali, jadi harus berguna bagi rakyat,” itu kata-kata yang kerap diucapkan Eteng.

Karena gerakannya yang kerap bertentangan dengan pemerintah Orde Baru, pada tahun 1981, setahun sebelum masanya sebagai wakil rakyat berakhir, Eteng akhirnya di-recall dari keanggotaannya di DPR. Menyikapi keputusan recall itu, Eteng santai saja. Ia pulang ke kampung halamannya di Deli Serdang, dan di sana ia terus meneruskan perjuangannya membela hak-hak rakyat kecil, hingga akhir hayatnya.

Sedangkan Muhidin Nasution, yang berasal dari unsur Partai Murba, dikenal dengan kesederhanaan hidup yang militan. Di masa ia menjadi Ketua DPP PDI di tahun 1970-an hingga 1980-an, rumahnya—yang  berada di pelosok Bogor– masih beralaskan tanah. Padahal jasa Muhidin bagi bangsa Indonesia besar sekali. Ketika masih muda, di awal tahun 1930-an, ia sudah menjadi aktivis pergerakan nasional di Huta Pungkut dan Kotanopan, di wilayah Tapanuli Selatan. Huta Pungkut adalah juga tanah kelahiran Jenderal A.H Nasution, yang merupakan sepupu Muhidin.

Di masa itu, Muhidin sudah bergabung dengan Partindo (Partai Indonesia) cabang setempat. Tugas utamanya adalah melalukan propaganda agar masyarakat melawan penjajahan Belanda, serta menumbuhkan semangat kemerdekaan bangsa Indonesia. Karena aktivitas radikalnya itu, Muhidin ditangkap polisi Hindia Belanda, lantas dibuang ke Boven Digul.

Sepulang dari Digul, Muhidin bermukim di wilayah Jawa Barat, dan terjun langsung dalam perang kemerdekaan. Ia menjabat Kepala Inspektorat Perjuangan di Bogor, yang bertugas mengkoordinasi perlawanan bersenjata terhadap pasukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Dia lah salah seorang pemimpin Laskar Bambu Runcing yang dikenal sangat berani dalam perang kemerdekaan di berbagai wilayah Jawa Barat.

Setelah perang kemerdekaan usai, sebagai pengikut Tan Malaka, Muhidin Nasution masuk Partai Murba. Di partai yang didirikan Tan Malaka, dan kemudian dipimpin Charerul Saleh itu, ia mulai dari bawah sebagai pimpinan cabang di Bogor, hingga kemudian menjadi salah seorang pengurus pimpinan pusat.

Ketika Partai Murba ikut berfusi dalam PDI, ia duduk sebagai salah seorang Ketua DPP PDI. Yang menarik, selama duduk sebagai pimpinan PDI, ia tak pernah mau ikut dalam pemilihan anggota legislatif. Muhidin tak pernah tertarik menjadi anggota DPR ataupun duduk dalam jabatan kenegaraan lainnya. Hidupnya diabdikan untuk kemajuan partai.

Politisi seperti Abdullah Eteng dan Muhidin Nasution, termasuk yang memegang teguh komitmen dalam berpolitik. Mereka bergelut dengan persoalan rakyat di arus bawah. Karena itulah, mereka mendapatkan kepercayaan rakyat untuk mewakili mereka di parlemen ataupun di partai. Mereka inilah yang sejatinya para “intelektual organik” dalam konsepsi Antonio Gramsci.

Tapi, para politisi “intektual organik” itu sudah menjadi barang langka di dunia politik kita hari ini. Yang banyak bertebaran sekarang adalah “politisi jalan pintas” yang lebih mengandalkan popularitas selebritas atau dana besar untuk bisa menggapai kursi di parlemen. Dimata politisi seperti ini rakyat hanyalah deretan angka yang dihitung saat hari H pemilihan legislatif nanti. Rakyat tidak bisa berharap banyak para wakilnya itu bisa memperjuangkan nasib mereka. [Imran Hasibuan]