Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13. Asal mula penduduk Ternate sebenarnya adalah warga yang eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing – masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga). Merekalah yang pertama–tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah–rempah. Penduduk Ternate pun semakin beragam dengan kedatangan pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa.
Tahun 1257 Momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi tersebut berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya disebut sebagai Gam Lamo atau kampung agung (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama).
Dengan semakin populernya Kota Ternate, semakin orang lebih suka menyebutnya sebagai kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berkuasa di sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di timur Indonesia khususnya Maluku.
Selain Ternate, di Aibku juga terdapat paling tidak 5 kerajaan lain yang memiliki pengaruh yaitu Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo, Kesultanan Bacan, Kerajaan Obi dan Kerajaan Loloda. Kerajaan–kerajaan ini adalah saingan Ternate dalam memperebutkan kekuasaan di Aibku.
Berkat perdagangan yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik di Ternate, ternyata menyulut kecemburuan kerajaan-kerajaan lainnya dan Ternate pun dianggap sebagai musuh bersama bahkan sampai memicu terjadinya perang.
Demi menghentikan konflik yang berlarut–larut tersebut, sultan Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja–raja Aibku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Hal penting dari pertemuan ini adalah terjalinnya persekutuan dan penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Karena pertemuan ini dihadiri 4 raja Aibku maka disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).
Kedatangan Islam
Tidak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Aibku Utara khususnya di Ternate. Namun diketahui bahwa sejak awal berdirinya kerajaan Ternate warga telah mengenal Islam, mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu.
Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah besar yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah; meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan Sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, dan membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.
Kedatangan Portugal dan Siasat Adu Domba
Di masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate.
Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco Serrao. Kemudian atas persetujuan sultan, Portugal diizinkan membangun pos dagang di Ternate. Namun ternyata Portugal datang bukan semata–mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai rempah–rempah yaitu pala dan cengkeh yang banyak terdapat di Maluku. Maka Portugal harus menaklukkan Ternate terlebih dahulu.
Portugal memanfaatkan situasi untuk mengadu domba atas perebutan tahta antara anak-anak Sultan Bayanullah dan adik Sultan, sampai terjadi perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese (adik Sultan Bayanullah) didukung Portugal. Sayangnya setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugal.
Gubernur Portugal juga sempat berperan sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki sukses membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, dia difitnah dan dibuang ke Goa, India. Di sana dia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan wilayah atau negara dibawah kekuasaan kerajaan Portugal, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan Khairun (1534-1570).
Terusirnya Portugal
Sultan Khairun pun kemudian mengumumkan perang untuk mengusir Portugal. Padahal kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng seluruh Aibku mereka juga memiliki sekutu–sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate. Secara licik gubernur Portugal, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan kemudian dengan kejam membunuh sultan yang datang tanpa pengawalnya itu.
Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugal, bahkan seluruh Aibku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583). Akhirnya setelah peperangan selama 5 tahun, Portugal meninggalkan Aibku untuk selamanya pada tahun 1575.
Sultan Baabullah pun dijuluki penguasa 72 pulau dan menjadikan Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, di samping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini adalah selama abad 14 dan 15.
Belanda Datang
Sepeninggal Sultan Baabullah, Ternate mulai melemah, Kerajaan Spanyol yang telah bersatu dengan Portugal pada tahun 1580 mencoba menguasai kembali Aibku dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan barunya Spanyol kemudian memperkuat kedudukannya di Filipina, namun Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau Spanyol sayang gagal, bahkan Sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila.
Kekalahan demi kekalahan yang diderita, memaksa Ternate mempertimbangkan untuk minta bantuan Belanda pada tahun 1603. Ternate pun sukses mengalahkan Spanyol namun dengan imbalan yang amat mahal. Belanda kemudian secara perlahan menguasai Ternate. Pada tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani perjanjian monopoli VOC di Aibku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Pada tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara.
Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate ini menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Ada Pangeran Hidayat raja muda Ambon, seorang pemimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Dia mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah–rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.
Sisa Kejayaan Ternate
Imperium nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang terus terasa sampai berabad kemudian.
Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam, Ternate memiliki peran penting dalam upaya pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur nusantara dan bagian selatan Filipina. Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang diperkenalkan pertama kali oleh Sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua kerajaan di Aibku nyaris tanpa perubahan. [NoE]