Koran Sulindo – Kesepakatan RI dan Freeport pada Minggu 27 Agustus 2017 lalu dinilai tidak memberikan keuntungan yang lebih bagi negara.
“Disetujuinya poin kesepakatan melalui perundingan antara PTFI dan pemerintah, sesungguhnya tidak memberikan keuntungan bagi Pemerintah Indonesia. Hal ini karena, poin-poin kesepakatan perundingan mengandung masalah,” kata pengamat energi dari Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi, melalui rilis media, di Jakarta, Selasa (29/8).
Menurut Ahmad, pemberian IUPK kepada PT Freeport Indonesia tidak sesuai dengan UU Minerba, yang mensyaratkan IUPK dapat diberikan melalui penetapan Wilayah Pencadangan Negara yang harus disetujui DPR. IUPK juga diprioritaskan untuk badan usaha milik negara (BUMN).
Soal pembangunan smelter, sebenarnya adalah kewajiban lama yang tak pernah ditunaikan Freeport, dan tak pernah mendapat sanksi hukum.
Pasal 170 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) menyatakan “Pemegang kontrak karya sebagaimana, dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Seharusnya Freeport selesai membangun smelter itu pada 2014.
Pembelian saham divestasi di masa akan berakhirnya kontrak karya juga dinilai merugikan Indonesia karena tanpa membeli saham divestasi pun, pada 2021 atau setelah kontrak karya berakhir, wilayah bekas PT Freeport Indonesia menjadi milik pemerintah RI.
Soal saham 51 persen, dalam kontrak karya perpanjangan 1991 juga sudah ada kewajiban divestasi saham PT Freeport Indonesia terjadi pada 2011, atau 5 tahun yang lalu. Faktanya? Pada Agustus 2017 lalu Freeport masih menawar besaran saham yang dibagi ke RI hanya 30 persen. [DAS]