Kesepakatan Nuklir Iran, Tak Ada Kesempatan Kedua

Koran Sulindo – Setelah dengan sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) sekaligus menyetujui penjualan senjata bernilai miliaran dolar ke Saudi, tiba-tiba saja Presiden Donald Trump tanpa syarat siap bertemu para pemimpin Iran.

Tentu saja, sama dengan pertemuannya dengan pemimpin Republik Demokratik Rakyat Korea Kim Jong-un, pertemuan dengan pemimpin Iran tak bakalan membawa manfaat apapun bagi rakyat negeri Persia itu.

Orang-orang Iran tak tertarik dengan negosiasi gaya Trump itu.

Ada keyakinan yang kuat di kepala para penasihat Trump bahwa Iran bisa dipatahkan dengan sanksi dan dengan mudah diseret ke meja perundingan. Selain sembrono, keyakinan itu tak lebih dari sekadar fantasi.

AS dapat mengisolasi, membuat miskin atau bahkan meradikalisasi suatu bangsa dengan sanksi ekonomi, hanya sedikit tersedia bukti bahwa sanksi-sanksi itu, sekeras apapun AS melakukannya sanggup mengubah negara yang yang diincar itu menjadi lebih baik.

Sanksi umumnya justru mengubah keseimbangan politik domestik yang menguntungkan rezim sekaligus membuat mereka mengkonsolidasikan kekuatan ekonominya.

Tak perlu jauh-jauh menengok, bagi orang-orang Amerika contoh itu bahkan hanya berjarak 90 mil dari lepas pantai mereka. Kuba!

Ketika Soviet yang bertindak sebagai pelindung utama Kuba masih berdiri, bagi Amerika negara pulau itu adalah musuh ulet yang bertengger di halaman belakang rumah mereka. Tak kurang-kurang upaya mereka untuk menjatuhkannnya.

Sekarang, hampir tiga puluh tahun setelah jatuhnya Uni Soviet, nyatanya toh tetap saja keluarga Castro yang berkuasa.

Orang-orang Persia jelas sama bangganya dengan Kuba. Orang-orang di sana masih menghormati menghormati Mohammad Mossadeq, nasionalis yang digulingkan kudeta Shah Iran dukungan Anglo-Amerika tahun 1953 karena kesombongan dan sikap kerasnya pada Barat.

Tak hanya Mossadeq, Ayatollah Khomeini pernah menyebut dirinya ‘minum secangkir racun’ ketika terpaksa harus menyetujui gencatan senjata dengan Irak.

Meski Iran memiliki populasi tak terhitung dari pemuda model ‘anak-anak kaya di Teheran’ negara itu tetaplah dijalankan oleh mereka yang mengalami perang, deprivasi, dan isolasi.

Sebut saja, Qassem Suleimani, Komandan Garda Revolusi Iran dan salah satu orang paling berpengaruh. Ia adalah langang kaum nasionalis yang bersemangat memperjuangkan Revolusi Iran saat muda. Suleimani jelas tak mungkin dihentikan hanya oleh kesulitan ekonomi akibat sanksi Barat.

Juga Presiden Hassan Rouhani dan menteri luar negerinya sekaligus juru rundingnya, Mohammad Javad Zarif yang menyetujui JCPOA tanpa oposisi domestik dan kecurigaan Amerika.

Untuk kesediaan itu, Javad Zarif oleh AS justru mendapat ‘hadiah’ berupa larangan perjalanan yang memberlakukan dirinya mirip teroris dan penarikan sepihak AS dari kesepakatan nuklir bulan Mei silam.

Jika Rouhani setuju dengan tawaran ‘tanpa syarat’ Trump, politik domestik Iran jelas bakalan mengecamnya sebagai penjilat, seperti Shah Qatar yang menjual negaranya kepada Inggris dan Rusia seabad yang lalu.

Bahkan kalaupun masih ada setitik saja kepercayaan Rouhani pada AS, ia juga tak bakalan memiliki ruang untuk melakukannya.

Bagi AS, menarik diri keluar dari JCPOA dan bersikeras masih memiliki kesempatan membuat kesepakatan yang lebih baik adalah sebuah fantasi.

Bagi AS, syarat untuk negosiasi dengan Iran seperti ditegaskan oleh Sekretaris Negara Mike Pompeo adalah maksimal, meskipun Trump justru mengatakan sebaliknya.

Bukan benar-benar tanpa syarat, tapi lebih merupakan seruan untuk kesediaan bertekuk lutut Iran lebih dulu sebelum duduk di meja perundingan. Tuntutan Pompeo ini mirip dengan ultimatum Austria pada Serbia tahun 1914.

Siapapun musuh-musuh AS yang berniat melakukan negosiasi dengan negara itu bakal terus mengingat ‘model Libya’.

Bagaimanapun sifat permusuhannya, dipelopori AS dan Eropa perselisihan bisa langsung dicairkan. Tapi jika pertentangan internal dan masalah ‘kemanusiaan’ membayang di kepala mereka, dalam semalam pujian Barat bisa berubah menjadi bom.

Kontras bisa disimpulkan antara nasib Gaddafi dengan Bashar Al-Assad yang justru bertahan karena tak mau bekerjasama.

Bagi Trump dan orang-orangnya, tatanan geopolitik tak lebih dari panggung realitas.

Mereka bisa semau-maunya sendiri berpindah satu alur ke alur lain penuh kepura-puraan atau tiba-tiba memproduksi sekaligus menghentikan ‘drama’ bahkan jika itu tanpa hasil apapun.[TGU]