Petani, Tulang Punggung Masyarakat Jawa Kuno

Koran Sulindo – Salah satu penggambaran relief di Candi Borobudur menceritakan seorang laki-laki tang tengah membakar sesuatu.

Bukan bakar-bakaran biasa, karena asapnya diarahkan ke sebuah ladang yang tengah di serang tikus. Ya, ia tengah menghalau tikus-tikus yang mengganggu ladangnya.

Mengusir tikus dengan cara itu disebut dengan emposan, yakni menggunakan daun kelapa blarak yang dibakar dan dimanfaatkan asapnya untuk mengusir tikus.

Penggambaran pada relief Karmawibhangga di Candi Borobudur itu jelas menunjukkan bagaimana pertanian dan teknologinya menjadi bagian sehari-hari rakyat Jawa di masa itu.

Data arkeologis menyajikan kemajuan pertanian Majapahit dan beras merupakan komoditi utama yang diproduksi. Sementara kitab sastra Negarakertagama juga mengisahkan, persawahan menjadi tulang punggung perekonomian Majapahit.

Sebabnya sederhana, menurut Sartonokartodirjo hanya sawahlah yang dapat menjamin persediaan pangan secara teratur. Konsep masyarakat hidrolik ini tercermin pada fakta, bahwa justru di daerah inti Majapahit telah dibangun suatu irigasi yang luas dan canggih.

Majapahit juga menciptakan kebijaksanaan khusus pertanian melalui aturan perundang-undangan. Dalam Kuntara Manawa, Majapahit memerintahkan agar kaum Waisya harus pandai menyebar benih, maupun penguasaan pembedaan antara tanah yang subur dan gersang, sekaligus mempergunakan timbangan dan cara menyimpan barang serta pengaturan jual-beli.

Meningkatnya produksi  itulah yang membuat Majapahit sanggup menarik bagi pedagang dari berbagai kawasan seperti Jambudwipa, Kamboja, Cina, Yamana, Campa, Karnata, Goda dan Siam.

Lalu bagaimana kehidupan petani Jawa di masa itu? Tak ada penjelasan detail mengenai hal-hal tersebut. Prasasti hanya mencatat peristiwa tanpa menerangkan bagaimana keseharian petani Jawa di masa lalu.

Di masa seribu tahun setelah pembuatan relief di Borobudur itu, Thomas Stamford Rafles dalam The History of Java menulis dengan lebih detail.

Meski tak disebutkan sumber-sumbernya, Raffles tentu saja mengutip tulisan-tulisan sebelumnya.

Kecil tapi nyaman

Menurutnya, rumah-rumah petani di Jawa kuno umumnya berbentuk limas dan oleh karenanya kemudian disebut dengan nama limasan. Seperti tumah-rumah petani India, rumah petani di Jawa juga dibangun di atas tanah.

Sedangkan untuk mencegah tiang kayu bersentuhan langsung dengan tanah yang membuat kayu cepat lapuk, umumnya petani meletakkan tiang di sebuah batu yang ditanam ke tanah.

Rumah bentuk limasan ini biasanya terdiri dari delapan tiang utama atau yang disebut dengan saka.

Tempat tidur umumnya terletak sedikit lebih tinggi dari tanah dan bentuknya sangat sederhana. Petani menyebutnya sebagai amben atau dipan.

Dinding rumah biasanya terbuat dari anyaman bambu yang disebut dengan gedek atau tabag begitu juga sekat-sekat yang membagi rumah menjadi beberapa ruang.

Untuk atap biasanya petani Jawa memanfaatkan rumput panjang, daun-daun nipah atau bambu sirap.

Bentuk dan ukuran setiap pondok umumnya berbeda-beda antara satu petani dengan petani lainnya dan benar-benar sesuai selera masing-masing.

Di Jawa bagian timur di mana penduduknya lebih padat dan lebih banyak lahan yang diolah, kekurangan bahan baku untuk membuat rumah lazim terjadi di banding wilayah barat sehingga pondok mereka lebih kecil dan sederhana.

Di wilayah barat, pondok terbuat dari kayu, bukan bambu, dan bagian dalamnya sama dengan beranda. Ruanganya terbagi dua, yaitu satu untuk orang tua dan satu lagi untuk anak-anak dan tak ada jendela di kamar-kamarnya.

Dengan cahaya hanya mengandalkan dari pintu, pekerjaan rumah tangga umumnya dikerjakan di luar rumah di mana terdapat cahaya matahari. Sementara para wanita biasa menjahit atau memintal benang di beranda rumah yang terhalang matahari oleh bagian atap yang menjuntai ke depan.

Di beberapa daerah pegunungan, di mana sering terjadi hujan lebat penduduk lazim memperkuat rumah mereka dengan memasang jalinan bambu di antara atap dan tiang-tiang rumah mereka.

Secara keseluruhan para petani yang tinggal di Jawa meskipun memiliki rumah yang sederhana dan kecil, namun menyediakan kenyamanan kepada penghuninya, tak seperti tempat tinggal petani di sebagian besar India.

Rumah-rumah petani itu jarang yang berdiri sendiri dan selalu berkumpul dakan sebuah desa kecil atau besar tergantung tingkat kesuburan tanah. Di beberapa wilayah, satu desa biasanya terdiri dari 200 penduduk meski ada juga yang kurang dari 50 penduduk.

Desa baru

Di Jawa, pada awal pembentukan sebuah desa sudah lazim penduduk mempersiapkan sendiri daerah yang akan didiaminya dan mempersiapkan kebutuhan keluarganya.

Lahan yang diolah merupakan hak petani itu, dan luasnya lahan tergantung kontribusi atau beban yang harus ditanggungnya.

Beberapa desa di Kedu misalnya, para petani menanam sayuran yang bisa dimakan dan juga pohon yang bisa diharapkan buahnya. Tak ada yang ditanam petani tak memberikan guna, semua benar-benar bermanfaat.

Rumah-rumah petani biasanya mendapat sinar matahari dan juga terlindung di antara pepohonan besar sehingga dari kejauhan hanya nampak hanya seperti gerombol pepohonan. Mereka menyebutnya sebagai grumbul yang mengacu pada kumpulan beberapa rumah.

Seiring dengan berlalunya waktu dengan meningkatnya jumlah penduduk, luas lahan yang dimiliki perorangan makin lama makin berkurang. Jika di sekitar desa masih tersedia lahan kosong, beberapa keluarga umumnya memutuskan untuk membuka lahan untuk membangun desa baru.

Di masa-masa awal desa-desa baru itu tetap tergantung kepada desa induk dan begitu berlanjut seterusnya. Desa baru akan menjadi desa induk bagi desa-desa yang dibangun sesudahnya.

Di setiap desa petani memiliki komunitasnya sendiri yang terdiri dari pamong desa atau pemuka agama. Mereka dianggap lebih tinggi kedudukannya dibanding petani biasa. Untuk beberapa desa besar dibangun tempat ibadah sebagai pusat kegiatan agama.

Perabotan yang dimiliki petani umumnya sangat sederhana dan terdiri dari beberapa barang saja. Tempat tidur seperti berupa tikar dengan beberapa bantal dan semacam kelambu.

Mereka juga tak menggunakan meja atau kursi dengan kanan ditaruh begitu saja di atas nampan dengan beberapa peralatan makan dari keramik.

Petani makan bersama dengan duduk bersila dan menggunakan tangan kanan untuk muluk atau memasukan makanan ke mulut. Sendok hanya digunakan untuk makanan-makanan berair.

Petani Jawa adalah salah satu golongan masyarakat yang rajin dan senang bekerja. Mereka terbiasa bangun pagi saat fajar dan berangkat ke ladang atau sawah pada pukul setengah tujuh. Di sawah atau ladang mereka mempekerjakan kerbau atau sapi hingga pukul 10 atau 11 untuk pulang ke rumah untuk mandi atau menyegarkan diri.

Sepanjang siang yang panas mereka akan beristirahat di dalam rumah atau di bawah pohon sembari mengerjakan pekerjaan ringan memperbaiki alat-alat pertanian, membuat keranjang, memperbaiki kandang ternak atau mengerjakan hal-hal penting lainnya.

Mereka kembali ke sawah sekitar pukul 2-3 tanpa ternak untuk melanjutkan pekerjaan mereka dan kembali ke rumah menjelang gelap, makan malam dan menghabiskan waktu menjelang tidur pukul 8-9 malam dengan sedikit hiburan atau bincang-bincang.

Sirkulasi kerja dan istirahat petani itu berlangsung terus menerus  sepanjang tahun dengan pengecualian musim tanam dan musim panen. Di masa-masa ini pekerjaan mereka bertambah berat.[TGU]