Bagi masyarakat Jakarta, terutama yang tinggal di Jakarta Timur, nama Condet mungkin sudah tidak asing lagi. Wilayah ini kaya akan budaya Betawi dan memiliki keunikan dalam adat dan tradisinya.
Namun, Condet bukan hanya sekadar tempat dengan raga budaya, tetapi juga merupakan bagian penting dari sejarah yang melahirkan sosok legendaris. Salah satu tokoh yang hingga kini dikenang adalah Entong Gendut, seorang pendekar yang dikenal bukan hanya karena kesaktiannya, tetapi juga karena keberaniannya dalam melawan penindasan kolonial.
Di tengah hiruk-pikuk masyarakat Condet pada masa penjajahan, Entong Gendut muncul sebagai lambang perjuangan melawan ketidakadilan. Siapakah sosok ini sebenarnya? Apa yang membuat namanya terus abadi dalam ingatan warga Betawi? Artikel ini akan menelusuri perjalanan hidup, legenda, dan warisan perjuangan Entong Gendut, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Condet.
Kisah Hidup dan Kesaktian Entong Gendut
Entong Gendut adalah seorang pendekar Betawi yang lahir di Condet dan diperkirakan hidup pada masa penjajahan kolonial Belanda. Meskipun rincian kelahirannya tidak diketahui dengan pasti, ia dikenal sebagai seorang pembela kaum tani yang terhormat, bahkan ada yang menyebutnya sebagai mantan polisi yang tak tega melihat perlakuan kejam tuan tanah terhadap penduduk lokal.
Dengan prinsip yang kuat, Entong Gendut tak pernah mundur dari perlawanan terhadap penindasan. Pada tahun 1916, ia memimpin perjuangan melawan penjajah di Batavia, khususnya untuk membela petani-petani Condet yang tertindas akibat kebijakan yang menindas dari para tuan tanah.
Nama Entong Gendut sangat dihormati lantaran reputasinya sebagai jawara dengan “kesaktian” luar biasa. Melansir beberapa sumber, ia dikatakan menguasai ilmu kebal, yang dikenal sebagai Ilmu Mupus, yang membuatnya tahan terhadap senjata tajam atau benda tumpul, meskipun tidak dapat melawan peluru. Selain itu, ia dipercaya dapat muncul sebagai hantu yang berpindah tempat dalam sekejap.
Konon, ilmu kebalnya hanya berlaku di dalam kawasan Condet; saat ia keluar dari wilayah tersebut, segala kemampuannya yang tidak berhubungan dengan seni bela diri akan sirna. Ia juga memiliki golok sakti sepanjang 50 cm yang kini tersimpan oleh keturunannya, menjadi simbol keberanian dan perjuangannya.
Perlawanan terhadap Penindasan Kolonial
Pada masa kolonial, sebagian besar tanah di Condet dikuasai oleh tuan tanah dan penjajah, membuat petani terpaksa membayar pajak yang memberatkan dan sering kali dipaksa kerja rodi.
Ketegangan ini memuncak pada tahun 1916 ketika seorang petani bernama Taba dari Batu Ampar difonis bersalah di pengadilan yang dipimpin oleh Mr. Cornelis, yang mengguncang masyarakat setempat.
Kondisi ini menimbulkan kesedihan mendalam bagi paguyuban pencak silat yang dipimpin oleh Entong Gendut di Batu Ampar, yang bertekad untuk membela para petani serta melindungi rumah dan tanah mereka dari penyitaan.
Peristiwa tersebut mendorong Entong Gendut dan tokoh masyarakat lainnya, seperti H. Asmat Wahab dan H. Maliki, untuk mengambil tindakan.
Puncaknya terjadi pada tanggal 5 April 1916, ketika Entong Gendut memimpin ratusan penduduk menyerang kediaman seorang tuan tanah bernama Lady Lollinson di Villa Nova, yang saat itu sedang mengadakan pesta tari topeng.
Tindakan ini dianggap sebagai pemberontakan besar oleh pihak kolonial, yang kemudian memerintahkan Meester Cornelis untuk mengepung rumah Entong Gendut di Batu Ampar.
Dalam pengepungan itu, Entong Gendut menunjukkan keberanian yang luar biasa dalam menghadapi serangan pasukan Belanda. Dengan keris terhunus di tangannya, ia meneriakkan, “Aye gedruk tanah, maka ini tanah bakal jadi laut! ” Bersama para pengikutnya, Entong Gendut melancarkan perlawanan gigih dan berhasil menangkap Meester Cornelis.
Di hadapan Meester Cornelis, Entong Gendut menobatkan dirinya sebagai raja. Para pengikut setianya, yang terdiri dari Ja, Tipis, Raidi, Sibi bin Jimin, Logod, Tipe, Gutar, dan Usup, diangkat sebagai patih. Selain itu, Talun sebagai mantri, Gani sebagai sekretaris, dan dua orang perekrut massa, Majar serta Djaimin, juga mendapat pangkat.
Mendengar kegagalan operasi penangkapan Entong Gendut dan kelompoknya, Asisten Residen Meester Cornelis segera mengirimkan pasukan bantuan militer. Pengepungan ini dipimpin langsung oleh asisten residen pada tanggal 10 April 1916.
Tragisnya, dalam peristiwa tersebut, Entong Gendut tertembak saat mencoba menyeberangi kali di Condet Batuampar. Bersama dua pengikutnya yang terluka, ia segera dilarikan ke Stovia.
Namun, dokter merujuk mereka ke rumah sakit Stadsverband di Glodok. Malangnya, dalam perjalanan, Entong Gendut meninggal dunia akibat dua luka tembakan di dadanya pada 11 April 1916.
Bagi pemerintah kolonial Belanda, Entong Gendut mungkin hanya dianggap sebagai pengacau. Namun, bagi masyarakat Betawi, ia merupakan pahlawan yang berani melawan ketidakadilan. Hingga hari ini, namanya dikenang sebagai simbol perlawanan rakyat kecil terhadap penindasan.
Kisah Entong Gendut mengingatkan kita akan keberanian dan semangat perjuangan masyarakat Condet, serta bagaimana lokalitas dapat menjadi basis perlawanan terhadap kolonialisme. Warisannya terus hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Betawi, menginspirasi untuk terus berjuang melawan ketidakadilan di mana pun. [UN]