Kerugian negara akibat kasus korupsi terus naik, tercatat pada tahun 2021 mencapai Rp 62,9 triliun. Angka tersebut melampaui tahun sebelumnya dengan jumlah kerugian sebesar Rp 56,7 triliun.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) kerugian negara sangat besar, namun sayangnya hanya Rp 1,4 triliun yang berhasil dikembalikan kepada negara atau hanya sekitar 2,2 persennya.
Salah satu penyebab minimnya pengembalian uang negara dinilai ICW karena minimnya terdakwa korupsi yang juga dijerat dengan pidana pencucian uang. Dari total 1.403 terdakwa sepanjang 2021, hanya 12 orang di antaranya yang oleh penegak hukum dituntut dengan pasal pencucian uang.
Dari jumlah tersebut, KPK menangani perkara yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp802 miliar.
“KPK praktis hanya menangani sekitar 1 persen dari total kerugian keuangan negara yang timbul sepanjang tahun 2021. Ini semakin memperlihatkan ketiadaan perspektif asset recovery dari KPK,” ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Minggu (22/5).
Kurnia menyebut pengembalian kerugian negara banyak disumbang Kejaksaan baik Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksan Negeri.
“Ini menjadi kritik kepada KPK agar fokus juga terhadap kasus-kasus yang memiliki irisan dengan kerugian keuangan negara,” ujar Ramadhana.
ICW berharap agar penindakan perkara korupsi semestinya tidak hanya terpaku dengan pemenjaraan pelaku, namun juga menyentuh asset recovery, salah satunya melalui Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Selain itu vonis terdakwa kasus korupsi dengan UU TPPU dinilai masih sangat sedikit, praktis hanya 12 orang saja yang didakwa dengan UU TPPU. Selain itu, pasal yang dominan pun hanya pelaku aktif, tanpa ada satu pun pelaku pasif (Pasal 5 UU TPPU). Bahkan, pada 2021 menurun drastis penjeratan dengan aturan anti pencucian uang yang jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Vonis Ringan
Selain persoalan pengemnbalian kerugian negara, vonis terdakwa kasus korupsi sepanjang 2021 banyak ditemukan vonis ringan berdasar hasil pemantauan persidangan perkara korupsi.
Data itu menjelaskan ada 929 terdakwa divonis ringan, 319 terdakwa divonis sedang, dan 13 terdakwa divonis di atas 10 tahun penjara atau masuk kategori berat.
“Rata-rata vonis sepanjang tahun 2021 hanya 3 tahun 5 bulan penjara. Meskipun mengalami kenaikan jika dibandingkan tahun sebelumnya, namun hukuman tersebut sudah barang tentu tidak menimbulkan efek jera terhadap pelaku,” ujar Kurnia Ramadhana.
Terdakwa berlatar belakang pekerjaan sebagai perangkat desa paling banyak dihukum ringan (291 orang). Secara persentase, 80 persen dari klaster perangkat desa dihukum di bawah 4 tahun penjara. Sedangkan ASN sendiri yang diganjar hukuman ringan sebanyak 243 orang atau 70 persen dari total keseluruhan. Untuk legislatif dan kepala daerah ganjaran hukuman ringan didapatkan lebih dari setengah jumlah pelaku klaster tersebut.
Dari hasil pantauan ICW, sejumlah putusan pemenjaraan ini bertolak belakang dengan jumlah kerugian keuangan negara. “Sejumlah putusan yang konstruksi perkaranya memiliki irisan kerugian keuangan negara besar, akan tetapi hanya divonis ringan,” ujar Kurnia.
ICW juga mencatat setidaknya 107 terdakwa divonis bebas dan lepas. Dibandingkan dengan 2020, ICW mencatat vonis bebas dan lepas hanya dijatuhkan kepada 66 terdakwa.
Pengadilan Tipikor Makassar dan Aceh diketahui paling sering memvonis bebas pelaku korupsi dengan jumlah sekitar 12 orang. Jika ditotal, kata Kurnia, terdakwa-terdakwa dengan vonis bebas maupun lepas telah menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 256,3 miliar, sedangkan suap sebesar Rp 6 miliar.
“Disparitas hukuman dari sejumlah tindak pidana korupsi, seperti kerugian keuangan negara maupun suap, masih marak terjadi pada 2021 lalu sekalipun MA telah memiliki Pedoman Pemidanaan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2020,” ujarnya.
Dengan temuan ini, ICW meminta Mahkamah Agung tegas dan mengevaluasi para hakimnya.
“MA harus mencermati tren hukuman ringan kepada pelaku korupsi, salah satunya dengan mengidentifikasi hakim-hakim yang kerap melakukan hal tersebut. Jika ditemukan adanya kekeliruan, Mahkamah Agung harus mengevaluasi kinerjanya dengan tolak ukur objektif,” kata Ramadhana. [PAR]