Situs makam Troloyo di pusat kekuasaan Majapahit .

Koran Sulindo – Penghargaan terhadap perbedaan keyakinan yang dan kehidupan harmoni antar penganut agama tak hanya terjadi di era Mataram Kuno saja.

Penghormatan pada perbedaan juga dilanjutkan pada masa-masa berikutnya.

Di puncak kejayaannya, Majapahit berkembang menjadi sebuah metropolitan yang menjadi tempat bagi beragam budaya dan agama bertemu dan membentuk kehidupan kota yang toleran.

Negara sebagai pemegang otoritas kekuasaan secara mutlak mengorganisir dan mengelola pemerintahan tak terkecuali soal-soal keagamaan.

Raja-raja di Majapahit, khususnya Hayam Wuruk atau Rajasanagara mempunyai kebijakan untuk mengatur kehidupan multiagama.

Salah satu di antara tujuan utama pengaturan tersebut adalah saling menghargai antar agama, mencegah konflik sosial-agama serta mengelola manajemen konflik, dan sekaligus menunjukkan sifat toleransi yang menghargai perbedaan.

Sementara Majapahit dikenal sebagai kerajaan bercorak Hindu, negara justru membebaskan masyarakat memilih agama mereka sendiri.

Tak semata-mata menjadi nilai ideal, toleransi yang diusung Majapahit itu bahkan dicontohkan langsung oleh elit-elit kekuasaan. Fakta menunjukkan meski Hayam Wuruk beragama Hindu Syiwa, Gajah Mada yang merupakan tangan kanannya justru merupakan pemeluk Buddha.

Untuk mewujudkan harmoni antar pemeluk keyakinan yang berbeda dalam masyarakat raja mengangkat pejabat keagaamaan.

Di masa-masa awal Majapahit, Raden Wijaya mengangkat lima pejabat Syiwa yang disebut dengan Dharmapapati atau Dharmadikarana. Jumlah itu di era Tribhuwana Tunggadewi ditambah dengan dua orang pejabat dari agama Budha.

Pada masa Hayam Wuruk pejabat keagamaan disebut dengan istilah Dharmadyaksa. Ia mengangkat tiga pejabat tinggi yakni Dharmadyaksa Kasaiwan yang mengurus agama Syiwa, Dharmadhyaksa Kasogatan mengurus agama Budha, dan Menteri Herhaji yang mengurusi Karesian.

Dalam  menjalankan tugas, masing-masing Dharmadyaksa dibantu  oleh pejabat  keagamaan yang diberi sebutan Sang Pamegat.

Pejabat-pejabat tersebut juga bertanggung jawab atas bangunan-bangunan suci yang dikelola oleh kerajaan yakni Dharma Haji atau bangunan suci bagi raja dan keluarganya, dan Dharma Ipas yang merupakan bangunan suci pemberian raja.

Mpu Prapanca dalam KakawinNagarakertagama menggambarkan suburnya beragam budaya yang tumbuh di masa pemerintahan Hayam Wuruk menulis, “Itulah sebabnya berduyun-duyun tamu asing datang berkunjung dari Jumbudwipa, Kamboja, Cina, Yamana, Campa, dan Goda, serta  Saim. Mereka mengarungi lautan bersama para pedagang, resi, dan pendeta, semua merasa puas, menatap dengan senang.”

Kakawin itu juga menyebut Hayam Wuruk menempatkan rumah ibadah yang membentuk tata kota Majapahit dengan sisi timur untuk Siwa, sedangkan sebelah Barat bagi penganut Buddha.

Sementara untuk menjaga hegemoni kekuasaanya, setiap tahun Hayam Wuruk berkeliling ke tempat-tempat yang berbeda, dari mulai kota pelabuhan hingga tempat pertapaan para pendeta Siwa yang terletak di gunung-gunung.

Bhineka

Tak hanya kepada keyakinan mayoritas, pada pemeluk agama minoritas seperti Islam Majapahit juga memberi ruang seluas-luasanya. Ini dibuktikan dengan penerimaan mereka terhadap para pedagang Muslim yang juga diberikan tempat tinggal khusus di Troloyo yang terletak di pusat ibukota Trowulan.

Bagi Majapahit –dan kerajaan-kerajaan di Jawa sebelumnya- agama sebagai alat legitimasi kekuasaan menjadi faktor sekunder setelah kekuasaan politik.

Majapahit menarik contoh dari masa lalu dari pembangunan Kamulan Bhumisambhara atau letak Siwagrha dan Manjusrighra atau Candi Sewu yang berdampingan.

Termasuk mencontoh sikap raja-raja terdahulu yang menganut agama rangkap yakni Syiwa-Budha seperti Airlangga. Hal Padahal di negeri asalnya kedua agama ini jelas saling bersaing dan berseteru sengit.

Di sisi lain, dalam konteks Hindu-Kejawen dibanding golongan pendeta, para priyayi atau ksatria justu lebih dominan yang dibuktikan dengan istitusi politik menjadi kekuasaan tertinggi sementara agama tampil sebagai pelengkap.

Menurut Denys Lombard tradisi kekuasaan yang dipertahankan Majapahit di masa kejayaannya ditandai oleh hubungan-hubungan sosial agraris yang bersifat terpusat, dimana raja berdiri pada puncak piramida.

Kekuasaan tersebut makin bertambah kuat karena mendapat legitimasi religius dari para agamawan. Di sisi lain, sebagai imbalannya raja memberikan tanah garapan yang tidak dikenai pajak kerajaan. Lombard juga menyebut para agamawan juga berperan sebagai pejabat administrasi kerajaan.

Selain tampil sebagai sarana legitimasi, agama juga berfungsi sebagai sarana integrasi. Secarapolitis, penempatan tokoh-tokoh agama di dalam birokrasi pemerintahan merupakan suatu bentuk nyata dari usaha untuk mempersatukan perbedaan.

Integrasi keragaman itu juga tampak jelas dari bangunan-bangunan keagamaan yang memiliki sifat dari dua atau lebih kelompok agama. Di masa Hayam Wuruk, pembangunan atau pemugaran Candi Jago, Candi Jawi, Candi Panataran dan beberapa candi lain yang memiliki ciri ganda.

Pujangga keraton Mpu Tantular dalam Kekawin Sutasoma menuliskan pengakuan dan akomodasian berbagai agama itu memunculkan semboyan yang dikenal dengan Bhineka Tunggal Ika.

Meskipun Mpu Tantular merupakan penganut Buddha yang taat, namun ia merupakan orang berpikirian terbuka terhadap agama lainnya, terutama kepada Hindu Siwa dengan dua kakawin yang paling ternama yakni Arjunawijaya dan Sutasoma.

Merujuk namanya, Tantular berasal dari kata tan yang berarti ‘tidak’ dan tular yang bermakna ‘terpengaruh’. Ia adalah orangnya ‘teguh’ dalam pendirian meskipun disebut sebagai bhratratmaja atau keponakan raja.

Pada Sutasoma, Mpu Tantular menulis tentang toleransi kehidupan beragama dengan menempatkan agama Hindu dan agama Buddha hidup bersama dengan rukun. Kedua ajaran hidup beriringan di bawah payung kerajaan dalam pemerintahan Hayam Wuruk.

Pada bait 5 pupuh 139 Mpu Tantular menulis “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina dan Siwa adalahTunggal.”

Menurut Mpu Tantular, meskipun Hindu dan Buddha merupakan dua substansi yang berbeda, namun perbedaan itu tidak menimbulkan perpecahan, karena kebenaran Hindu dan Buddha bermuara pada yang ‘Satu’.

Hindu dan Buddha memang berbeda tetapi sesungguhnya satu jenis karena tidak ada perbedaan dalam kebenaran.

Dengan akar budaya yang sangat panjang dan kompleks, pada akhirnya tradisi dominan yang dianut masyarakat Jawa adalah sikap kompromistis. Termasuk dengan mencampur budaya-budaya yang sudah mapan dengan budaya-budaya lokal.

Tak hanya pada tradisi Hindu dan Buddha, keyakinan lain yang berkembang di Majapahit adalah Islam dan kepercayaan asli atau agama nenek moyang.

Sementara Hindu terdiri dari tiga aliran utama yakni Wisnu, Syiwa, dan Brahma, aliran agama Buddha yang dominan adalah Mahayana. Di sisi lain, Islam yang berkembang di Majapahit dibawa orang-orang Arab dan Cina yang berprofesi sebagai pedagang.[TGU]