Koran Sulindo – Warga Kendeng berduka. Bukan saja karena tuntutan mereka belum dipenuhi pemerintah, juga karena seorang perempuan pejuang petani Kendeng, Patmi, 48 tahun berpulang ketika dalam perjalanan menuju Rumah Sakit St. Corolus, Jakarta pada 21 Maret 2017.
Patmi merupakan salah satu dari 55 warga Kendeng sekitarnya yang mencor kakinya di seberang Istana Negara sebagai tanda penolakan terhadap pabrik semen PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah. Ini merupakan kali kedua warga beraksi setelah aksi pertama pada pertengahan tahun lalu.
Patmi bersama puluhan warga lainnya sejak awal bersepakat aksi #DipasungSemen2 akan didampingi dan diawasi oleh tim dokter yang siaga di YLBHI Jakarta dan Istana Negara. Aksi yang dilakukan sejak pertengahan bulan ini berlangsung setiap hari. Mulai dari pagi hingga sore yang dilengkapi fasilitas sanitasi dan peneduh. Selesai aksi, peserta akan kembali ke kantor YLBHI, tempat mereka menginap.
Patmi mengikuti aksi ini setelah mendapat izin dari suami. Ia bahkan ditemani kakak dan adiknya. Pada Senin (20/3) sore, perwakilan warga ditemui Kepala Kantor Staf Presiden Teten Masduki. Dialog antara kedua pihak berlangsung alot. Pada pokoknya: warga menolak skema penyelesaian konflik yang bergantung pada hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Penolakan warga itu tentu saja memiliki alasan yang kuat. Pasalnya, KLHS tertutup sama sekali dan tidak mengikutsertakan warga yang menolak pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia. Setelah pertemuan itu, pada malam hari, warga memutuskan untuk melanjutkan aksi dengan mengganti strategi. Aksi akan dilanjutkan oleh sembilan orang, dan sisanya akan pulang kampung. Patmi termasuk yang akan pulang sehingga cor di kakinya dibuka pada malam itu.
Ia bahkan dinyatakan sehat oleh dokter. Akan tetapi pada Selasa dini hari, setelah mandi, Patmi mengeluhkan kondisi tubuhnya yang tidak sehat. Ia kejang-kejang dan muntah. Dokter yang bertugas segera membawa Patmi ke RS St. Carolus, Salemba. Namun, nasib berkata lain, sebelum tiba di rumah sakit, Patmi menghembuskan napas terakhir. Dugaan sementara ia mengalami serangan jantung. Jenazahnya akan dibawa pulang ke Desa Larangan, Kecamatan Tambakromo, Pati, Jawa Tengah.
Patmi, Pahlawan Sejati
Menanggapi situasi ini, Front Perjuangan Rakyat (FPR) ikut berduka sembari menuntut agar pemerintah segera mencabut izin pertambangan PT Semen Indonesia di Kendeng. Presiden Joko Widodo disebut sesungguhnya anti-petani dan anti-rakyat.
Menurut Koordinator FPR Rudi HB Daman, itu terlihat dari sikap Presiden Jokowi yang membiarkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengeluarkan izin baru tambang pada 23 Februari 2017. Pemerintah dituding tidak mau melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) yang diterbitkan pada 5 Oktober 2016 yang memerintahkan pencabutan izin lingkungan penambangan.
“Pemerintah sesungguhnya hanya berpihak pada pengusaha komprador yang mengeruk kekayaan alam, ambil untung bagi perusahaan, dan memberikan kesengsaraan rakyat yakni hilangnya tanah buat kehidupan, polusi, dan hancurnya lingkungan,” kata Rudi melalui keterangan resmi di Jakarta, Selasa (21/3).
Rudi menuturkan, sikap pemerintah dalam pembangunan pabrik semen di Rembang sesungguhnya tidak jelas. Tarik ulur. Kadang menolak, kadang memberi izin pertambangan. Kali ini pemerintah meminta agar menunggu hasil KLHS. Padahal, kata Rudi, keberadaan pabrik semen nyata-nyata menghancurkan lingkungan, merampas tanah dan meningkatkan kemiskinan.
Pemerintah juga selalu meneror aksi-aksi perlawanan kaum tani, mengadu domba dan mengintimidasinya. Cara-cara itu, kata Rudi, menunjukkan ciri rezim fasis. Patmi merupakan perempuan petani pejuang yang ikut berjuang melawan itu semua. FPR karena itu memberi penghormatan setinggi-tingginya kepada almarhumah Patmi sebagai pahlawan rakyat sesungguhnya.
Rakyat karena itu, kata Rudi, harus menyatukan barisan dan bersatu dengan kaum tani Kendeng melawan tindakan semena-mena pemerintah yang kian menindas. Rakyat harus bersatu dan bersama-sama menuntut pelaksanaan reforma agraria sejati untuk membangun industri nasional yang mandiri. [KRG]