Kenapa 29 Juli Diperingati Sebagai Hari Bakti TNI AU? Ini Sejarah Lengkapnya

Para kadet penerbang dan penembak pada operasi pemboman pertama Angkatan Udara RI pada 29 Juli 1947. (TNI Angkatan Udara)

Sejarah bangsa tak pernah lepas dari perjuangan para pahlawan yang rela mengorbankan segalanya demi tegaknya kemerdekaan. Salah satu babak penting dalam perjuangan itu terjadi di langit Nusantara, ketika TNI Angkatan Udara baru saja berdiri dan langsung menghadapi ujian berat dalam mempertahankan kedaulatan udara Indonesia.

Peristiwa 29 Juli 1947 menjadi saksi bisu keberanian dan pengorbanan para pionir AURI dalam menghadapi agresi militer Belanda. Sebuah kisah tentang patriotisme, strategi, dan tragedi yang mengubah arah sejarah kekuatan udara Indonesia.

Setiap tahun, bangsa Indonesia memperingati Hari Bakti TNI Angkatan Udara (AU) pada tanggal 29 Juli. Melansir berbagai sumber termasuk laman resmi Tentara Nasional Indonesia, berikut jejak sejarah yang melatarbelakanginya.

Latar Belakang

Peristiwa bersejarah ini bermula dari kegagalan Belanda mematuhi Perjanjian Linggarjati, yang telah disepakati bersama Pemerintah Republik Indonesia.

Pada 21 Juli 1947, Belanda secara sepihak melancarkan Agresi Militer I, menyerang sejumlah wilayah Indonesia termasuk berbagai pangkalan udara strategis. Serangan ini menjadi bentuk nyata pengkhianatan terhadap kesepakatan damai yang telah disusun.

Salah satu sasaran utama Belanda adalah Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta, yang kini dikenal sebagai Bandara Adisutjipto. Serangan ke Maguwo awalnya gagal akibat cuaca buruk.

Namun, Belanda tak menyerah; mereka mengalihkan serangan ke berbagai pangkalan udara lain seperti Panasan Solo, Maospati Madiun, Bugis Malang, Pandanwangi Lumajang, Gorda Banten, Kalijati Subang, Cibeureum Tasikmalaya, hingga Gadut di Sumatra Barat.

Tindakan agresif Belanda menyulut amarah pimpinan TNI AU. Maka disusunlah operasi udara balasan. Pada malam tanggal 28 Juli 1947, empat kadet penerbang yang terdiri dari Suharnoko Harbani, Mulyono, Bambang Saptoadji, dan Sutardjo Sigit dipanggil secara rahasia untuk menghadap Komodor Udara Suryadi Suryadarma dan Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma. Mereka menerima mandat penting yaitu menyerang posisi Belanda di wilayah strategis.

Esok paginya, pada 29 Juli 1947 pukul 05.00, tiga pesawat AURI terdiri dari satu pesawat Guntei dan dua pesawat Churen lepas landas dari Maguwo.

Pesawat Guntei dikemudikan oleh Mulyono, dengan Dulrachman sebagai penembak udara. Pesawat Churen kedua diterbangkan oleh Sutardjo Sigit, didampingi penembak Sutardjo. Pesawat terakhir dikemudikan Suharnoko Harbani, dengan Kaput sebagai air-gunner.

Ketiganya mengebom sasaran militer Belanda di Semarang, Salatiga, dan Ambarawa. Operasi ini menjadi salah satu serangan udara berani pertama TNI AU, yang seluruhnya sukses mendarat kembali di Maguwo sebelum pukul enam pagi.

Pesawat Dakota Ditembak Jatuh

Namun, semangat juang itu dibalas oleh Belanda dengan kekejaman. Sore harinya, dua pesawat tempur P-40 Kitty Hawk milik Belanda menembak jatuh pesawat Dakota VT-CLA, yang sebenarnya tengah membawa bantuan kemanusiaan berupa obat-obatan dari Palang Merah Malaya untuk Palang Merah Indonesia.

Pesawat tersebut, yang terbang dari Singapura pada pukul 13.00, hendak mendarat di Maguwo. Tapi sesaat sebelum mendarat, dua pesawat tempur Belanda menghadangnya dan melepaskan tembakan. Mesin kiri pesawat terkena tembakan dan akhirnya jatuh di persawahan Desa Ngoto, Bantul, di selatan Yogyakarta.

Akibatnya, sebagian besar penumpang dan awak gugur, yaitu Alexander Noel Constantine (pilot asal Australia) dan istrinya, Roy Hazelhurst (co-pilot), Bhida Ram (juru teknik), Komodor Muda Udara Adisutjipto, Komodor Muda Udara Abdulrachman Saleh, Opsir Muda Udara Adi Soemarmo Wirjokusumo dan Zainal Arifin. Hanya satu penumpang yang selamat, yakni Abdulgani Handonotjokro.

Dari Hari Berkabung ke Hari Bakti

Peristiwa gugurnya tiga perintis TNI AU dalam pesawat Dakota itulah yang menjadi latar belakang peringatan Hari Bakti TNI AU. Awalnya diperingati sebagai Hari Berkabung TNI AU mulai 29 Juli 1955, kemudian secara resmi diubah menjadi Hari Bhakti TNI AU pada 29 Juli 1962.

Untuk mengenang jasa mereka, lokasi jatuhnya pesawat di Ngoto kini diabadikan sebagai Monumen Perjuangan TNI AU, sesuai Keputusan Kasau Nomor: Skep/78/VII/2000.

Jenazah para pahlawan seperti Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh juga dipindahkan dari TPU Kuncen ke pemakaman TNI AU di Ngoto, menegaskan tempat itu sebagai titik ziarah dan penghormatan sejarah.

Tahun ini, Hari Bakti TNI AU ke-78 mengusung tema: “Dengan Meneladani Semangat Juang Para Pendahulu, TNI AU Siap Mewujudkan Angkatan Udara yang Adaptif, Modern, Profesional, Unggul, dan Humanis Menuju Indonesia Maju.”

Tema tersebut menjadi pengingat bahwa perjuangan dan pengorbanan para pelopor TNI AU bukan sekadar sejarah, tetapi warisan nilai yang harus terus dijaga dan dijadikan inspirasi oleh generasi penerus Angkatan Udara Indonesia. [UN]