Pemerintah berencana menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai awal tahun 2025. Hal ini bertujuan memaksimalkan pendapatan negara demi pembiayaan anggaran. Namun rencana kenaikan PPN dirasa berat karena saat ini perekonomian rakyat tidak sedang baik-baik saja.
Rencana kenaikan PPN telah dituangkan pemerintah dalam UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam UU HPP pajak pertambahan nilai yang semula 10 persen dinaikan secara bertahap. Kenaikan pertama dilakukan pemerintah pada bulan April 2022, sejak saat itu PPN yang berlaku adalah 11 persen. Kemudian UU HPP juga menetapkan kenaikan menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025.
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mengaku masih mengkaji mengenai kenaikan PPN tersebut dengan beberapa pertimbangan diantaranya kondisi perekonomian. Namun pemerintah terkesan optimis PPN 12 persen akan bisa diterapkan pada awal 2025.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan perubahan pemimpin negara mulai Oktober 2024 mendatang tak akan mempengaruhi rencana yang sudah disusun.
“Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya keberlanjutan. Tetap kalau berkelanjutan berbagai program yang dicanangkan pemerintah tetap akan dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN,” kata Airlangga pada awal Maret lalu.
Selama ini penerimaan pajak memang jadi andalan pemerintah untuk membiayai anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN). Sepanjang tahun 2023 saja pemerintah berhasil meraup penerimaan pajak sebesar Rp2.016,9 triliun dari total penerimaan negara sebesar 2.443,6 triliun. Dari angka total penerimaan pajak, porsi penerimaan dari PPN bahkan mencapai lebih dari 40 persen. Maka wajar jika pemerintah menginginkan ada kenaikan PPN yang lebih besar lagi.
Namun dilain sisi, situasi ekonomi dalam negeri baik itu pelaku industri maupun masyarakat pada umumnya merasa kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN akan meningkatkan beban akibat naiknya harga. Apalagi saat ini perekonomian sedang dalam kondisi terpuruk yang ditandai dengan penurunan daya beli masyarakat serta banyaknya industri tutup akibat menurunnya permintaan.
Keresahan akan rencana kenaikan PPN itu juga disuarakan oleh kalangan pengusaha. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani meminta kepada presiden terpilih Prabowo Subianto untuk mengevaluasi pemberlakuan kenaikan tarif PPN sebesar 12 persen.
Shinta menjelaskan bahwa PPN 12 persen yang akan diterapkan pada 1 Januari 2025 bukanlah kebijakan yang mendadak. Oleh karena itu perlu ada persiapan, termasuk mengantisipasi kondisi perekonomian global.
“Yang harus menjadi perhatian adalah kedayaan beli. Jelas, dengan kondisi seperti ini, dengan kenaikan nanti 12 persen itu kan dibebankan ke konsumen. Jadi, nanti yang akan merasakan kenaikan itu konsumennya,” jelas Shinta.
Dampak kenaikan PPN jadi 12 persen
PPN merupakan pungutan yang dikenakan ada setiap transaksi jual beli barang dan jasa di wilayah Indonesia. Pemungutannya dikenakan pada wajib pajak orang pribadi, badan usaha dan pemerintah. Ini merupakan jenis pajak tidak langsung, serta bersifat objektif dan non kumulatif.
PPN tidaklah dibayarkan oleh pelaku usaha yang memproduksi barang/jasa, melainkan oleh konsumen yang menggunakan atau mengkonsumsi barang/jasa. Akan tetapi PPN tidak langsung disetorkan konsumen ke negara, melainkan melalui perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan penjual barang dan jasa tertentu sebagai perantara akan mengenakan PPN 12 persen ke konsumen akhir dan menyetorkannya kepada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Kenaikan PPN tentu akan langsung berdampak pada harga barang dan jasa yang kena pajak. Sehingga konsumen harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk mendapatkan suatu barang atau jasa yang kena pajak.
Permasalahannya saat ini kondisi ekonomi rakyat sudah mengalami ketidakstabilan, terutama harga-harga kebutuhan pokok seperti beras dan minyak goreng yang telah naik secara signifikan. Kenaikan PPN tentunya akan menjadi pukulan yang semakin memperburuk perekonomian terutama bagi golongan menengah ke bawah.
Dampak langsung jika PPN dinaikkan adalah menurunnya kemampuan masyarakat memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Apalagi selama ini masih banyak masyarakat yang pendapatannya dibawah UMR, bahkan untuk menyambung hidup masih mengandalkan berbagai bantuan sosial dari pemerintah.
Selain itu kenaikan PPN ini juga akan berdampak terhadap penurunan penyerapan tenaga kerja dan pendapatan negara karena akan banyak industri mengalami penurunan permintaan. Dampak lain adalah akan terjadi lonjakan impor, karena produk luar negeri menjadi jauh lebih murah.
Belum saatnya
Perlu disadari hingga kini pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di Indonesia banyak disumbang oleh konsumsi rumah tangga. Dengan naiknya PPN maka harga akan naik sehingga konsumsi masyarakat akan berkurang. Maka penurunan konsumsi akan berkontribusi pada perlambatan ekonomi Indonesia.
Pada 2023 saja, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mengalami perlambatan menjadi 5,03 persen dibandingkan 2022 yang tercatat 5,31 persen. Apalagi jika PPN naik, diperkirakan perkenomian nasional akan semakin tersendat atau bahkan mengalami kemunduran.
Perlambatan ekonomi juga akan memiliki dampak turunan pada rendahnya penerimaan negara. Hal itu disebabkan semakin menurunnya transaksi ekonomi dan pendapatan pelaku usaha yang semakin menurun. Otomatis pendapatan perpajakan yang diharapkan akan naik malah menjadi berkurang.
Dengan kondisi ini maka pemerintah perlu memformulasi ulang kebijakan perpajakan tidak sekedar memikirkan kepentingan jangka pendek. Masih banyak cara dan upaya lain yang bisa dilakukan pemerintah guna menaikkan penerimaan negara, misalnya pembenahan administrasi data perpajakan, memperluas wajib pajak, termasuk mendorong transformasi shadow economy masuk menjadi ekonomi formal agar bisa terjangkau pajak, termasuk sektor digital yang tumbuh pesat namun selama ini lepas dari jangkauan pajak.
Mengingat kondisi perekonomian nasional dan global, kenaikan PPN menjadi 12 persen dinilai belum tepat. Kenaikan PPN malah bisa menjadi bumerang bagi ekonomi dalam negeri yang sedang dirundung banyak permasalahan. Diharapkan pemerintah mempertimbangkan kembali rencana tersebut. [PAR]