Kejatuhan Rezim Suharto setelah lebih dari tiga dekade berkuasa pada Mei 1998, menandai sebuah era baru dalam sejarah Indonesia yaitu era reformasi yang dipandang sebagai awal periode demokrasi sesungguhnya dengan sistem perpolitikan lebih terbuka.
Keterbukaan politik di era reformasi diharapkan lahir sebagai antitesis dari politik orde baru yang dikenal sebagai negara otoriter birokratik dengan ciri terpusat, militeristik dan memberangus hak demokrasi rakyat. Pasca 1998 berbagai kebijakan politik baru bernuansa reformasi dihadirkan, seperti kebebasan membangun partai, otonomi daerah juga pemilihan presiden atau kepala daerah secara terbuka dan langsung.
Perubahan sistem politik ini bertujuan membangun demokrasi yang lebih bermakna bagi rakyat dengan melibatkan partisipasi aktif semua kalangan tanpa ada pembatasan. Pasca reformasi ratusan partai bermunculan, suara politik yang beragam diperbolehkan, rakyat pun memilih pemimpinnya secara terbuka. Secara umum simbol-simbol demokrasi mulai dipulihkan setelah adanya reformasi 1998 melalui berbagai kebijakan dan peraturan perundangan. Otonomi juga diberikan kepada daerah untuk dapat mengatur daerahnya sendiri tidak lagi dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat.
Akan tetapi perubahan format politik Indonesia dinilai belum final atau berakhir ini ditandai dengan berbagai gejolak politik disetiap pergantian kekuasaan.
Menurut salah seorang peneliti Universitas Diponegoro (Undip), Purwoko, masa setelah Reformasi 1998, sesungguhnya merupakan kelanjutan pencarian format atau model sistem politik ideal Indonesia. Model atau format sistem politik ideal seperti apa yang sesungguhnya diharapkan?
Pertama, menjamin adanya sistem politik demokratis, di mana setiap orang atau kelompok memiliki kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam proses politik, mengambil bagian dalam merumuskan kebijakan publik, dan berperan serta dalam memilih pejabat-pejabat publik (baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif).
Kedua, format politik yang demokratis tersebut memiliki stabilitas jangka panjang. Stabilitas yang dibutuhkan di sini berdurasi lama untuk menjaga agar pencapaian-pencapaian di segala aspek dapat dipertahankan serta tidak setiap saat mengalami pasang surut jika terjadi perubahan-perubahan politik. Ketiga, sistem yang demokratis dan stabil dalam jangka panjang itu idealnya membuat kehidupan ekonomi mengalami kemajuan atau perkembangan positif.
Orientasi kekuasaan
Setelah lebih dari dua dekade reformasi bergulir sistem politik Indonesia justru dinilai mengalami kemunduran, pasalnya hampir semua partai ataupun tokoh politik masih berorientasi kekuasaan. Hal ini tercermin dari tingginya politik uang dan aroma bagi-bagi kekuasaan dalam setiap pemilihan umum.
Fenomena bagi-bagi kekuasaan ini mulai terasa ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi Presiden RI. Selama dua periode pemerintahannya (2004-2014) Presiden SBY menjalankan pemerintahan dengan membangun koalisi “gemuk”, untuk mengakomodasi sebagian besar partai ke dalam kabinetnya. Di satu sisi SBY mampu membentengi pemerintahannya, di sisi lain ia menciptakan situasi dan pendidikan politik yang buruk.
Dengan diakomodasinya partai-partai yang notabene kalah pemilu, maka partai-partai politik Indonesia tidak lagi takut kalah pemilu. Padahal, sejatinya, pemilu adalah mahkamah rakyat untuk menghukum partai politik yang dianggap tidak berkinerja baik dengan cara tidak memilihnya dan mengalihkan dukungan pada partai lain.
Karena akomodasi yang diberikan SBY, partai politik terputus hubungan akuntabilitasnya dari para pemilih karena walaupun kalah pemilu tetap mendapat porsi kekuasaan dalam kabinet SBY.
Hal serupa terjadi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), formasi Kabinet Indonesia Maju masih mencerminkan pembagian kekuasaan untuk koalisi pendukung dan tim sukses saat pemilihan presiden lalu.
Budaya politik kuno
Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa demokrasi tidak selalu sejalan dengan kemajuan budaya politik. Walaupun struktur dan fungsi-fungsi sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari era yang satu ke era selanjutnya, namun tidak demikian dengan budaya politiknya. Budaya politik yang berkembang pada era reformasi dinilai lebih berorientasi pada kekuasaan terutama di kalangan elite politik.
Menurut Professor Karl D. Jackson, peneliti kawasan Asia dari Johns Hopkins University, budaya Jawa mempunyai peran yang cukup besar dalam mempengaruhi budaya politik di Indonesia. Relasi antara pemimpin dan pengikutnya pun menciptakan pola hubungan patron-klien (bercorak patrimonial).
Masyarakat dalam struktur negara modern adalah raja yang harus dilayani oleh para pejabat atau penguasa, bukan sebaliknya, pelayan yang harus melayani segala kebutuhan penguasa seperti dalam hierarki sistem politik kuno. Kekuatan orientasi individu yang berkembang untuk meraih kekuasaan dibandingkan sebagai pelayan publik di kalangan elite merupakan salah satu pengaruh budaya politik Jawa yang kuat.
Budaya Politik berorientasi pada kekuasaan telah membuat struktur politik demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Budaya bagi-bagi kursi dan mahar politik setiap momentum pemilu tidak lagi tabu dalam politik Indonesia. Transaksi tersebut bahkan membudaya setiap proses pemilihan legislatif dan eksekutif.
Budaya politik semacam ini dapat berdampak buruk karena akan melanggengkan budaya korupsi, menormalisasi bargaining politik sehingga memungkinkan bagi donatur politik memuluskan bisnisnya serta mendapat tempat strategis dalam pemerintahan. Akhirnya demokrasi hanya dijadikan sebagai simbol saja, sedangkan kekuasaan dipegang oleh sekelompok orang yang kemudian membangun oligarki kekuasaan. [DES]