Video viral pendakwah muda asal Kediri, Gus Elham Yahya, yang memperlihatkan dirinya mencium seorang anak kecil hingga memicu kritik luas di media sosial, kembali membuka perbincangan lebih besar tentang arah dakwah Nahdlatul Ulama. Polemik yang berujung pada permintaan maaf berulang tersebut bukan semata soal tindakan personal, tetapi membuat kami bertanya kemana dua lentera dan jantung dakwah Nahdlatul Ulama selama 4 tahun kepengurusan ini.
PBNU tentu saja tidak bisa menjatuhkan sanksi sebab Elham memang bukan pengurus dan tidak terafiliasi resmi sebagai anggota NU. Meski teguran, nasihat, dan arahan tentu saja sudah diberikan agar kejadian serupa tidak terulang.
Dua lentera itu adalah Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI-PBNU) dan Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU). Jantung yang seyogianya mampu menjadi wadah perbaikan dakwah di tubuh pesantren-NU dan mengubur habis mitos lembaga sebagai panggung formalitas dan simbol seremonial belaka.
Tidur panjang dan kesunyian dua pilar penting NU ini harus segera diatasi. Kami menginginkan lembaga-lembaga ini mau menjalankan peran utamanya sebagai “tali pengikat” yang mampu mengkonsolidasikan dan mengarahkan kekuatan dakwah di pondok pesantren menjadi lebih baik.
Tidak lagi “menyiram air” di tengah “api polemik” yang sudah berkobar, seperti yang terjadi dalam kasus Elham Yahya. Absennya RMI-PBNU dan LDNU selama ini menimbulkan pertanyaan besar, kemanakah kemudi dua lembaga ini dilayarkan?Kasus belakangan ini idealnya kembali menyadarkan fungsi dan visi kelembagaan untuk kembali berlayar.
AISNUsantara mengajak dan menyerukan agar LDNU dan RMI-PBNU segera mengambil peran menjadi “penyaring/filter” melalui labelisasi, sertifikasi, atau mekanisme monitoring yang sistematis. Sehingga ada menara pengawas yang mawas, mampu memitigasi dan melindungi serta mengarahkan seluruh ekosistem dakwah di bawah payung besar Nahdlatul Ulama.

