Pihak keluarga korban penghilangan paksa 1997-1998, Paian Siahaan dan Hardingga melayangkan gugatan terhadap Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta dan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Jumat, (1/4). Gugatan ini terkait dengan pengangkatan Panglima Kodam Jaya Untung Budiharto.
Paian Siahaan adalah ayah dari Ucok Munandar Siahaan, mahasiswa Perbanas, salah satu korban penculikan aktivis 1997-1998 yang hingga kini tak diketahui nasibnya. Sedangkan Hardingga adalah anak dari Yani Afri salah seorang simpatisan PDI Perjuangan yang hilang pada 26 April 1997. Keluarga korban melayangkan gugatan bersama Koalisi Masyarakat Sipil sebagai kuasa hukum.
“Gugatan ini dilayangkan atas Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/5/I/2022 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan TNI tertanggal 4 Januari 2022 yang berisi pengangkatan Mayjen TNI Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam Jaya,” kata Julius Ibrani, salah satu perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, melalui keterangan tertulis.
Gugatan itu diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta dan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta yang terdaftar dengan nomor perkara 87/G/2020/PTUNJKT.
Para penggugat memilih PTUN dan Pengadilan Militer Tinggi II sebagai tempat mencari keadilan karena tidak ada konstruksi hukum yang memadai saat ini untuk menguji objek keputusan Panglima tersebut dalam tenggang waktu 90 hari yang terbatas.
Menurut penggugat, ada tiga alasan gugatan tersebut dilayangkan; pertama, pengangkatan pelaku kejahatan sebagai pejabat dinilai dapat menciptakan preseden buruk, yakni dengan diapresiasi dan diberikannya posisi penting terhadap orang yang tidak memiliki integritas untuk melayani masyarakat Indonesia.
Kedua, pengangkatan tersebut dinilai mencederai perjuangan keluarga korban yang hingga kini masih kehilangan sebab sebagian korban nyatanya masih belum ditemukan.
Kemudian yang ketiga, pengangkatan Pangdam Untung disebut berpotensi mengganggu penegakan hukum dan HAM di wilayah Kodam Jaya. Sebab, ST tersebut dinilai membuat gerak para penegak hukum menjadi terbatas.
Sementara, di negara hukum tidak boleh ada unsur-unsur yang tidak dapat tersentuh oleh hukum dan menimbulkan eksklusivitas bahkan kekebalan.
Untung merupakan lulusan Akademi Militer 1988. Karier militernya dimulai sebagai Komando Pasukan Khusus. Untung juga tergabung dalam tim kecil Kopassus, Tim Mawar, bentukan Mayjen Prabowo Subianto (kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan Kabinet Indonesia Maju).
Dalam vonis Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta No. PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999. Untung bersama 10 anggota Tim Mawar dinyatakan bersalah atas upaya penghilangan paksa sejumlah aktivis prodemokrasi di era Presiden Soeharto. Kala itu Untung berpangkat Kapten Infanteri.
Hakim memvonis Untung dengan 20 bulan penjara dan pemecatan sebagai anggota TNI. Namun 11 anggota Tim Mawar mengajukan banding dan mengubah bobot sanksi bagi 4 terpidana.
“Sikap Untung dan Tim Mawar yang tidak pernah membuka kepada aparat hukum atau proses hukum mengenai keberadaan korban yang lain, menunjukkan bahwa anggota Tim Mawar hingga sekarang, meskipun telah memegang berbagai jabatan publik yang penting, tapi tidak sungguh-sungguh menyesali perbuatannya, atau berterus terang atas yang sesungguhnya terjadi dalam penculikan tersebut,” tutur Julius salah seorang anggota koalisi masyarakat sipil. [PAR]