Koran Sulindo – Kepolisian RI telah menangkap sekitar 29 tersangka terorisme yang punya hubungan dengan ISIS. Merujuk kepada keterangan Polri, mereka merencanakan serangan pada 22 Mei 2019, bertepatan dengan pengumuman hasil Pemilihan Presiden 2019.
Seperti yang dilaporkan Bloomberg, sebagian dari tersangka yang berhasil diciduk dalam 2 pekan terakhir merupakan alumni militan ISIS yang berperang beberapa tahun di Suriah dan anggota dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok garis keras dalam negeri.
Kadiv Humas Mabes Polri, Mohammad Iqbal mengatakan, para tersangka ini merencanakan serangan pda 22 Mei nanti karena menilai demokrasi bertentangan dengan ajaran Islam. Sementara itu, berdasarkan informasi yang berkembang di publik, pendukung calon presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno akan menggelar aksi demonstrasi pada hari yang sama.
Meski beberapa hasil telah menunjukkan kemenangan petahana Joko Widodo yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin, Prabowo sebagaimana diketahui umum menolak hasil tersebut termasuk hasil resmi sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU). Prabowo yang acap disebut sebagai dalang penculikan aktivis 1997/1998 menuduh telah terjadi kecurangan dan pemilu serta perhitungan suara oleh KPU.
Untuk mengantisipasi aksi pendukung Prabowo itu, Polri pun waspada. Petugas mereka dikerahkan ke beberapa titik di sekitar Jakarta termasuk menjaga kantor KPU dengan pagar kawat berduri. Suka tidak suka, Indonesia selepas pemilu kini terbelah karena klaim kemenangan dari kedua kandidat.
Pengamat terorisme Asia Tenggara, Sidney Jones mengatakan, ancaman dari kelompok garis keras selalu ada di Indonesia. Mereka tidak pernah benar-benar tumpas. Rencana serangan pada 22 Mei itu sangat nyata, kata Jones. Namun, Polri mampu mencegahnya dengan menangkapi para pemimpinnya.
“Rencana serangan tampaknya tidak akan berpengaruh pada hasil pemilu,” kata Jones.
Kepolisian RI lewat Densus Anti-Teror telah berhasil menangkap sekitar 68 tersangka terorisme sejak awal tahun ini. Kemudian, 8 tersangka tewas ketika kepolisian melakukan penggerebekan atau karena melakukan bom bunuh diri. Karena fakta ini, Iqbal lantas mengimbau masyarakat untuk tidak menggelar aksi demonstrasi pada 22 Mei nanti. Apalagi beberapa tersangka terorisme disebut masih berkeliaran dan tentu saja bisa memanfaatkan momentum demonstrasi untuk melancarkan aksinya.
Peringatan Polri dan pengamatan Jones itu tentu saja tidak bisa diabaikan. Pasalnya, Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta telah mengeluarkan peringatan keamanan terhadap warganya di Indonesia. Dikutip dari situs resminya, Kedutaan Besar AS meminta agar warganya menghindari lokasi-lokasi yang menjadi titik demonstrasi.
Juga mengingatkan agar menghindari tempat-tempat keramaian. Tetap memantau perkembangan informasi dari media massa tentang peristiwa politik di Indonesia dan mewaspadai lingkungan tempat tinggal. Warga negara AS juga diminta untuk mendaftarkan diri ke aplikasi Smart Traveler Enrollment Program (STEP).
Sedikit berbeda dari Jones, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib menilai, penangkapan eks militan ISIS di Suriah oleh Densus di berbagai kota sesungguhnya bukan dampak dari tensi politik yang meninggi usai pencoblosan pada 17 April lalu. Kelompok terorisme yang diciduk polisi tak terkait dengan kubu-kubuan politik saat ini.
Dikatakan Ridlwan, kelompok ini hanya pihak ketiga atau penunggang gelap dalam rencana aksi politik yang sedang meninggi. Argumentasi tersebut, kata Ridlwan, justru merujuk kepada dugaan Mabes Polri terhadap JAD. Soal demonstrasi penolakan atau menerima sebuah hasil pemilu adalah hal yang wajar dan bagian dari dinamika politik.
Kelompok garis keras, kata Ridlwan, justru berupaya memanfaatkan potensi kerusuhan dalam dinamika demokrasi untuk melancarkan aksinya. Terlebih kelompok ini punya konsep dan pemahaman yang disebut sebagai miftahul syiro. “Paham yang menjadi aksi terorisme untuk membuka ruang konflik baru di negara tempat beroperasi. Itu langkah-langkah awal dalam aksi-aksi terorisme di negara damai,” kata Ridlwan seperti dikutip Republika.
Tujuan kelompok ini, lanjut Ridlwan, untuk meningkatkan konflik yang harus diciptakan di negara damai. Dengan demikian, seolah-olah ada alternatif dan pandangan baru dari cita-cita kelompok terorisme itu. Berdasarkan fakta ini, menjadi jelas mereka bukan bagian dari kubu-kubu partai politik saat ini, apalagi partai politik haram bagi mereka.
Oleh karena itu, kubu mana pun yang kalah dalam Pilpres 2019 dan ingin berdemonstrasi menolak hasil pesta demokrasi harus memahami situasi dan pergerakan terorisme. Dan sudah sewajar berterima kasih kepada Kepolisian RI karena telah mampu mencegah aksi-aksi demonstrasi mereka ditunggangi oleh terorisme. [KRG]