Rekso Rumekso yang menjadi cikal bakal SI diinisiasi oleh para pedagang batik di Lawean.

Koran Sulindo – Menganggap dirinya sebagai klien bangsawan dan priyayi kerajaan, Budi Utomo segera menemukan tempat yang paling cocok di Surakarta. Segera cabang di kota ini tumbuh menjadi cabang paling kuat dan makmur di antara cabang-cabang yang lain.

Bahkan, kepemimpinan pusat Budi Utomo segera jatuh ke tangan para pangeran Kasunanan dan Mangkunegara yang memang berpendidikan Barat dan maju.

Ketika Budi Utomo mengusulkan pembentukan koperasi bumiputra untuk menggalang persatuan melawan para pedagang Tionghoa, segera saja saudagar-saudagar batik di Solo memutuskan bergabung.

Termasuk di antara mereka yang bergabung adalah Haji Samanhudi dari Lawean dan Haji Bakri dari Kauman. Tak hanya bergabung, mereka berdua bahkan membawa sejumlah teman, saudara dan pengikut. Sontak, keanggotaan Budi Utomo langsung membengkak menjadi lebih dari 800 orang.

Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 menulis, was-was dengan saingan mereka orang-orang Tionghoa segera menawarkan Haji Samanhudi untuk bergabung dan meduduki jabatan komisari di perkumpulan ‘tolong-menolong’ mereka Kong Sing. Tawaran itu diterima Samanhudi.

Secara formal Kong Sing adalah perkumpulan tolong menolong untuk pemakaman, namun sejatinya kelompok ini adalah sisa jaringan opium yang pernah sangat kuat. Organisasi ini dibangun berdasarkan model serikat rahasia Cina. Tolong-menolong dalam kelompok ini tidak terbatas pada pemakaman atau pesta, namun juga mencakup perdagangan, pembalasan dendam hingga perkelahian.

Segera setelah Samanhudi bergabung di Kong Sing, keanggotaan Jawa di kelompok itu segera membengkak, dua kali lipat dibanding jumlah anggota Tionghoa. Namun, meski kalah jumlah, anggota-anggota Tionghoa itu tetap memegang kekuasaan di Kong Sing. Di sisi lain, ketika berita revolusi Tiongkok mencapai Hindia mereka mulai bersikap arogan dan memberlakukan anggota Kong Sing ‘Jawa’ secara kurang layak.

Samanhudi yang marah segera memerintahkan beberapa temannya untuk membentuk organisasi serupa yang bertujuan untuk saling melindungi dan membantu ketika pecah perkelahian jalanan. Samanhudi memberi nama kelompok ini sebagai Rekso Rumekso.

Selain untuk menghadapi kelompok Tionghoa, Rekso Rumekso juga dibuat untuk melawan para kecu yang membuat wilayah Lawean tidak aman, khususnya karena pencurian kain batik yang dijemur di halaman. Seperti namanya, Rekso Rumekso mempunyai tugas utama menjaga keamanan di daerah Lawean.

Saat merasa yakin kelompoknya bakal berhasil, Samanhudi memutuskan keluar dari Kong Sing dengan alasan pindah ke Surabaya. Sekembalinya dari Surabaya, ia segera menjadi ketua Rekso Rumekso. Seketika itu juga langsung pecah perkelahian jalanan antara anggota Jawa di Rekso Rumekso melawan anggota Kong Sing.

Permusuhan yang makin sengit dengan Kong Sing bagaimanapun terus memicu perkelahian kecil di jalanan pada bulan-bulan terakhir 1911 hingga awal 1912. Serangkaian perkelahian jalanan itulah yang mengundang penyelidikan polisi atas status Rekso Rumekso. Tanpa status hukum yang jelas, perkumpulan apapun bisa dibubarkan setiap saat atas perintah residen.

Penyelidikan itulah yang mengubah kelompok ronda sederhana menjadi Sarekat Islam.

Dengan kepemimpinan yang terdiri dari para pedagang batik pegawai rendahan dari Kasunanan, soal status hukum ini ternyata sangat memusingkan Rekso Rumekso. Atas dasar inilah, Djojomargoso, seorang pegawai kepatihan dan orang dekat Samanhudi meminta bantuan kepada Martodharsono yang pernah menjabat sebagai redaktur Medan Prijaji. Martodharsono secara pribadi kenal dengan Tirtoadhisoerjo secara pribadi dan mengetahui aktivitasnya saat membentuk i Sarekat Dagang Islamijah atau SDI.

Ketika akhirnya polisi bertanya status hukum Rekso Rumekso, Martodharsono berkelit dengan menyebut bahwa organisasi itu adalah cabang SDI Bogor. Saat polisi memerintahkan Rekso Rumekso menyerahkan anggaran dasarnya, Martodharsono segera menghubungi Tirtoadhisoerjo untuk meminta bantuan.

Tirtoadhisoerjo datang ke Surakarta akhir Januari 1912 untuk menyusun anggaran dasar dan menyerahkannya kepada kepala onderafdeling Lawean sekaligus mengumumkan pembentukan cabang SDI Bogor di Surakarta atau Sarekat Islam (SI) melalui surat kabarnya. Meski berganti nama, bentuk organisasi tetap utuh mengacu pada Rekso Rumekso sebagai perkumpulan ronda.

Seperti dalam anggaran dasarnya, SI terbentuk seperti yang dicantumkan dalam anggaran dasar terdiri dari hoofbestuur yang terdiri dari komisari, sekretaris dan bendahara. Samanhudi menjabat sebagai presiden, Djojomargoso dan Hardjosoemarti sebagai sekretaris pertama dan kedua. Jabatan bendahara dijabat oleh Kartowihardjo sedangkan Tirtoadhisoerjo ditunjuk sebagai adviseur.Kecuali Tirto yang tinggal di Bogor atau Bandung, hampir semua pengurus SI tinggal di Surakarta.

Semula anggota-anggota SI hanya berasal dari Lawean saja. Belakangan, keanggotaan itu meluas hingga keluar Lawean hingga dari para anggota itu ditunjuk sebagai wargo pangarso atau ketua kelompok di setiap kampung. Mereka inilah yang bertanggung jawab untuk mengawasi semua tindakan anggota dan bertindak sebagai penghubung dengan hoofbestuur.

Selain wargo pangarso pengurus juga menunjuk warga rumekso atau ‘penjaga’ yang memiliki tuga menjaga keamanan sekaligsu menjadi pelopor jika pecah perkelahian. Kedua elemen ini –wargo  pangarso dan wargo rumekso- membentuk inti SI. Untuk bergabung menjadi anggota SI, anggota baru mesti membayar ongkos masuk sebesar 30 sen dan dibebaskan dari sumbangan bulanan atau tahunan. Pada saat SI membutuhan uang, barulah sumbangan dikumpulkan.

Setiap anggota baru, diinisiasi dengan sumpah setia kepada SI dan pera pemimpinnya sekaligus dikenalkan pada tanda-tanda rahasia agar bisa mengetahui ‘saudara’ mereka. Karena sebagian besar anggota SI buta huruf, tanda-tanda itu umumnya berupa simbol.

Secarik kain hitam yang diletakkan di pohon atau bangunan menandakan seorang telah dirampok dan membutuhkan bantuan. Atas perintah wargo pangarso, para anggota segera mengumpulkan keterangan atau kadang langsung menangkap si pencuri dan menyerahkannya kepada polisi. Sedangkan tanda secarik kertas kuning berarti seseorang berada dalam kesulitan,  kertas merah menjadi tanda dua anggota sedang bertengkar dan butuh penengah, sedangkan kertas coklat menandakan seseorang mesti diboikot.

Jika melihat tanda-tanda itu, seorang anggota harus segera menemui wargo pangarso untuk mendapat keterangan lebih lanjut. Tanda-tanda juga bisa berarti pengumuman rapat yang harus dihadiri anggota.

Tak hanya mengadopsi kegiatan-kegiatan ronda yang masih tetap penting bagi SI, Tirtoadhisoeryo dan Marthodarsono juga memperkenalkan bentuk baru gerakan yakni boikot. Gerakan ini menjadi balasan setimpal kepada para pedagang Tionghoa yang bersekongkol menekan harga kain batik yang mereka beli dari Lawean.

Dipimpin oleh Martodharsono, pedagang batik di pribumi melakukan boikot atas firma Soe Dhian Ho. Umumnya, boikot diajukan kepada para pedagang Tionghoa yang bertingkah sombong dan berperilaku tidak jujur seperti pemilik rumah gadai sengaja memberi uang palsu atau bertingkah kasar pada pelanggannya.

SI adalah organisasi pertama yang melancarkan boikot dengan metode kekerasan.

Seiring dengan makin kerapnya boikot, jumlah perkelahinan jalanan segera meningkat. Tak hanya perkelahian kecil-kecilan, pada suatu kesempatan perkelahian bahkan melibatkan puluhan tentara dari Legiun Mangkunegaran yang mendobrak Kota Gede dan memukuli orang-orang Tionghoa.

Pemuda-pemuda pribumi segera bergabung di bawah kelompok Soetarsa Moelya dan rutin berkelahi dengan anak-anak Tionghoa.  Ketika keadaaan makin genting, para pemimpin SI bahkan harus membentuk ronda khusus di wilayah-wilayah yang berdekatan dengan pemukiman Tionghoa agar tak pecah keributan yang lebih besar.

Dalam semua kegiatan ini Martodharsono memegang peranan penting. Selain bertindak berpengalaman sebagai jurnalis dan bertindak sebagai wakil SI di depan polisi, ia adalah seorang guru yang berpengaruh yang mengajarkan ilmu kebal kepada anggota-anggota SI. Memiliki ratusan murid, Martodharsono secara pribadi juga memiliki hubungan dengan dunia hitam di Surakarta sekaligus para pangeran di Kasunanan dan Mangkunegaran.

Dalam suasana tegang akibat perkelahian yang meluas itulah, jumlah keanggotaan SI segera meningkat dengan cepat termasuk ketika melantik 2.000 anggota baru pada bulan Juni 1912. Jumlah itu membengkak berkali-kali lipat pada bulan-bulan berikutnya.  Asisten Residen Surakarta memperkirakan anggota SI mencapai 35.000 orang pada awal Agustus.

Dengan semua jumlah penduduk pria di Solo saat itu yang hanya 60.000 sudah termasuk Indo, Eropa, Tionghoa, bahkan bayi laki-laki tidak berlebihan jika disebut semua pria pribumi muslim bergabung dengan SI tanpa memandang usia dan status sosialnya, kecuali para pegawai tinggi Kasunanan dan Mangkunegaran. [TGU]