Kekhawatiran Pengungsi Suriah Setelah 6 Tahun di Thailand

Pemerintah Hungaria memasang pagar berduri cegah pengungsi Suriah untuk masuk ke negaranya [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Kengerian perang di Suriah memaksa ratusan warganya mengungsi ke tempat-tempat yang sama sekali asing bagi mereka. Sebagian bahkan menggunakan visa turis untuk tiba di suatu tempat dan kini berusaha menghindari penangkapan dari aparat setempat karena visanya telah habis.

Itulah yang dihadapi Ibrahim bersama keluarganya di Thailand. Kepada Al Jazera, ia bercerita, sekitar 6 tahun lalu, perang Suriah berkecamuk dengan sengit. Setelah menunaikan ujian sekolah menengahnya, Ibrahim bersama keluarganya meninggalkan Suriah menuju Lebanon. Dan dari sana, ia sekeluarga pergi ke Thailand dengan menggunakan visa turis.

Akan tetapi, visa mereka berakhir. Mereka sekeluarga kini sebagai pengunjung tanpa dokumen. “Kami awalnya hanya ingin menjadikan Thailand sebagai tempat singgah. Kami akan tinggal sekitar 1 atau 2 tahun. Namun, setelah 6 tahun kami terjebak karena nasib yang kurang beruntung,” tutur Ibrahim seperti dikutip Al Jazeera pada Selasa (13/11).

Setelah situasi ini, Ibrahim bersama keluarga mencoba untuk mengajukan suaka politik ke Amerika Serikat (AS). Namun, 2 tahun berselang, tak ada jawaban apapun. Mereka lalu mencobanya ke Kanada walau harus memulainya dari awal lagi. Di Bangkok untuk mengurus dokumen pengajuan suaka politik bisa menghabiskan 3 hingga 4 tahun sehingga kadang membuat para pengungsi rentan frustasi.

Seperti Indonesia, Thailand juga termasuk negara yang belum menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 sehingga orang-orang termasuk pengungsi dan pencari suaka dianggap tidak berdokumen. UNHCR kepada Al Jazeera menyebutkan, Thailand menjadi tempat 103 ribu pengungsi dengan sekitar 6.000 pengungsi berasal dari Pakistan, Somalia, Vietnam, Kamboja, Irak dan Suriah.

Seperti Ibrahim, Mirvat juga tiba di Thailand setelah lulus dari Universitas Damaskus pada 2012. Enam tahun kemudian, ia tetap tinggal di Bangkok dengan 4 anak namun masih tetap menganggur. Hal yang paling sulit dihadapi Mirvat adalah tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya dan tidak mampu mendapatkan pekerjaan.

Kekhawatiran terbesar yang dihadapi para pengungsi adalah ketika aparat menangkap mereka sehingga membuat mereka tidak mau keluar dari rumah. “Kami merasa takut sehingga kami tidak bisa lagi pergi ke pasar dan takut untuk pergi ke rumah sakit,” kata Mivrat.

Kekhawatiran pengungsi kian menjadi-jadi. Terlebih pada Oktober lalu kepolisian Thailand meningkatkan razia terhadap para pengungsi. Dan kelak tertangkap, maka para pengungsi dan orang-orang yang tidak berdokumen itu dipastikan akan meringkuk di penjara. [KRG]