Mantan Ketua KPK bersama dengan Anas Urbaningrum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni 2013.

Koran Sulindo – MESKI telah berlalu relatif lama, kasus yang menimpa mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar masih sering dibicarakan orang. Bukan hanya karena Antasari dijerat hukum ketika sedang berada di puncak popularitasnya sebagai Ketua KPK yang berwibawa dan berani, bukan juga semata karena adanya libatan dengan besan presiden kala itu, tapi karena ada sejumlah kejanggalan dalam kasusnya.

Antasari juga menilai seperti itu, sehingga dia yakin ada rekayasa dalam kasusnya. Setidaknya ada tiga kejanggalan yang diingat Antasari.Pertama, Antasari menilai ada dua tim eksekutor dalam penembakan yang menewaskan Nasrudin Zulkarnaen. Tim kedua yang menembak dan mengeksekusi pembunuhan hingga saat ini tidak pernah terungkap ke publik.”Yang dipenjara 17 tahun itu cuma menodong pistol. Yang menembak yang di belakang. Saya tahu semua, Allah yang akan buka,” kata Antasari dalam acara Mata Najwa yang ditayangkan Metro TV, 24 Agustus 2016 lalu.

Soal kehadiran adanya dua tim eksekutor itu sudah dibantah Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Muhamad Iriawan, yang ketika itu masih berpangkat Komisaris Besar.

Kejanggalan kedua, menurut Antasari, terkait keterangan WilliardiWizard dalam persidangan.Williardimembantah semua keterangan dalam berita acara pemeriksaan.Williardi juga dalam persidangan menyebut rekayasa itu dibuat dengan Antasari sebagai sasaran.

Kejanggalan ketiga adalah soal barang bukti peluru yang digunakan dalam penembakan. Peluru yang ditemukan adalah 9 milimeter, sedangkan barang bukti yang diajukan dalam pengadilan adalah kaliber 38.

“Mana bisa masuk?” kata Antasari.

Dalam persidangan, ahli forensik Dokter Mun’im Idris juga mengatakan, ada pihak yang mendatangi dirinya dan meminta mengubah keterangan soal peluru yang ditemukan. Ini juga diungkap pengacara Antasari, Maqdir Ismail.”Tidak menyebut nama, tapi dia menyebut pangkat,kombes,” kata Maqdir dalam acara Mata Najwa itu.

Pada tahun 2011 silam, Maqdir juga pernah mengungkapkan, setidaknya ada 10 kejanggalan yang ditemukan selama proses persidangan di tingkat pertama, baik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan maupun di Pengadilan Negeri Tanggerang.

Pertama terkait penyitaan celana jins. Menurut Maqdir, terkait barang bukti berupa celana jins milik Nasrudin dan anak peluru, penyidik tak menyita baju korban. Pemeriksaan forensik juga dilakukan hanya terhadap anak peluru, tapi tidak terhadap mobil Nasrudin.

Dalam persidangan juga tak dapat ditunjukkan baju yang dikenakan Nasrudin ketika ditembak. Padahal, baju itu sudah diminta berkali-kali, karena sangat penting untuk menunjukkan peluru yang membunuh Nasrudin berasal dari senjata yang selama ini disita kepolisian atau bukan.

Kedua terkait luka tembak. berdasarkan hasil visum, peluru pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri, sementara peluru kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri. Diameter kedua anak peluru tersebut sembilan milimeter dengan ulir ke kanan.”Hal ini menjadi ganjil kalau dihubungkan dengan fakta bahwa bekas peluru pada kaca mobil almarhum yang hampir sejajar dan tidak ada bekas peluru dari belakang. Dalam kesaksian Suparmin, almarhum roboh ke kanan,” kata Maqdir ketika itu.

Ketiga terkait barang bukti senjata api.Berdasarkan keterangan Dokter Abdul Mun’im Idries, peluru di kepala korban berdiameter 9 mm dan berasal dari senjata yang baik.Namun, keterangan ahli senjata Roy Harianto, bukti yang ditunjukkan adalah jenis Revolver 038 spesial dan kondisi senjata rusak lantaran salah satu silindernya macet.Keterangan penjual senjata, Teguh Minarto, senjata ditemukan terapung dekat asrama Polri di Aceh sesudah tsunami.”Menurut ahli senjata, menembak dengan satu tangan dari kendaraan dan sasaran bergerak terlalu sulit untuk amatir. Penembakan seperti itu bisa dilakukan setelah latihan dengan 3.000-4.000 peluru,” tutur Maqdir lagi. Hakim juga tidak memasukkan pertimbangan ahli forensik Mun’im Idris tersebut.

Keempat terkait Jeffrey Lumampouw dan Etza Imelda Fitri. Menurut Maqdir, ada ketidakjelasan kepentingan dan hubungan Jeffrey Lumampouw dan Etza Imelda Fitri saat bersaksi mengenai pesan singkat atau SMS bernada ancaman kepada Nasrudin. Keduanya menyebut dalam SMS tertulis nama Antasari.

Keterangan kedua saksi itu, ungkap Maqdir, rekaan dan hasil pemikiran. Selain itu, ada 2005 SMS ke nomor ponsel milik Nasrudin yang tidak jelas pengirimnya. Kemudian ada 35 SMS ke nomor ponsel milik Antasari yang juga tidak jelas sumbernya.”Ada satu SMS yang dikirim dan diterima oleh HP Antasari dan lima SMS yang diterima dan dikirim ke HP Sigit Haryo Wibisono. Ahli IT Doktor Agung Harsoyo menduga, pengiriman SMS itu dilakukan melalui web server,” tuturnya. Ahli dari Institut Teknologi Bandung itu dengan tegas mengatakan, nomor telepon genggam Antasari tidak pernah mengirim SMS ke Nasrudinseperti yang jaksa tuduhkan. Ia juga memaparkan, chip telepon genggam Nasrudin yang berisi SMS ancaman itu rusak, ternyata tidak bisa dibuka.

Antasari sendiri pernah mempraperadilankan Polri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait SMS gelap yang diterima Nasrudin Zulkarnaen. Dalam sidang praperadilan pada 2013 lalu itu, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, juga menjadi saksi. “Saya datang ke sini karena bersimpati dengan perjuangan Antasari Azhar yang mencari keadilan,” kata Anas menjelang persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 10 Juni 2013. Anas mengatakan, dirinya datang ke pengadilan atas permintaan kuasa hukum Antasari. Karena, Anas dikabarkan sempat bertemu dengan Nasrudin di Bandung sehari sebelum Nasrudin terbunuh.

Namun, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan yang diajukan Antasari. Berdasarkan bukti-bukti, kata hakim, permohonan Antasari dinyatakan tidak kuat secara hukum.”Berdasarkan bukti, menyatakan eksepsi pemohon tidak dapat dapat diterima. Bahwa terhadap amar putusan, menyatakan permohonan yang diajukan pemohon tidak dapat diterima,” ujar Hakim Suprapto dalam sidang, 18 November 2014.

Kejanggalan kelima: adanya perbedaan kualifikasi eksekutor, yakni antara Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo dan Hendrikus dalam keputusan di Pengadilan Negeri Tangerang dan di Jakarta Selatan. Dalam pertimbangan di Pengadilan Negeri Tangerang,keduanya hanya sebagai penganjur. Namun, dalam pertimbangan keputusan terdakwa Antasari Azhar, Sigit, dan Wiliardi Wizard di Pengadilan NegeriJakarta Selatan, kata Maqdir, mereka sebagai pelaku dan penganjur.

Keenam terkait pertimbangan majelis hakim. ada pertimbangan majelis hakim dalam putusan Antasari yang tak jelas asalnya. Dalam berkas putusan halaman 175 , hakim menyatakan, “Menimbang bahwa Hendrikus mengikuti korban dalam waktu cukup lama, sampai akhirnya, sebagaimana keterangan saksi Parmin dipersidangan…”. Diduga Maqdir, pernyataan tersebut dikutip dari pertimbangan perkara lain.

Ketujuh terkaitruang kerja Antasari. Ada penyitaan barang bukti dari ruang kerja Antasari di KPK yang tidak berkaitan dengan perkara dan tidak dilakukan konfirmasi kepada Antasari. Bukti yang disita itu dikembalikan kepada Chesna F. Anwar.

Kejanggalan kedelapan terkait penjagaan berlebihan. Ada penjagaan yang berlebihan oleh polisi terhadap Rani Juliani sejak diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan hingga bersaksi di persidangan. Menurut dia, hakim dalam mempertimbangkan keterangan Rani telah mengabaikan Pasal 185 ayat 6 huruf d KUHP, yaitu cara hidup dan kesusilaan saksi.

Kesembilan berhubungan dengan pengakuan Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo. Menurut pengakuan Edo, ia diperiksa dengan cara dianiaya di luar lingkungan Polda Metro Jaya. Sementara itu, Rani mengaku diperiksa di hotel, restoran, dan apartemen.

Kejanggalan kesepuluh terkait pemeriksaan penyidik. Hakim mengizinkan pemeriksaan penyidik di persidangan setelah Williardi mencabut pengakuan adanya keterlibatan Antasari dalam pembunuhan Nasrudin.”Cara paling mudah untuk membuka adanya ‘rekayasa’ terhadap perkara Antasari ini adalah dengan menguak pengirim SMS ancaman terhadap Nasrudin dan mencari pengirim SMS serta penelpon ancaman dan cerita tidak benar terhadap keluarga Antasari,” tutur Maqdir.

Pada 13 April 2011, Komisi Yudisial juga memberikan kesimpulan sementara: adanya indikasi pelanggaran profesionalitas hakim yang menangani persidangan Antasari Azhar karena mengabaikan bukti.”Kesimpulan sementaranya adalah ada potensi pelanggaran perilaku hakim, terutama dalam hal profesionalitas karena mengabaikan bukti-bukti kuat,” kata Juru Bicara Komisi Yudisial Asep Rahmat Fajar di Jakarta ketika itu.

Dinyatakan juga, hakim kasus Antasari mengabaikan keterangan ahli yang terkait senjata atau peluru serta terkait dengan teknologi informasi. “Teknologi informasi ini terkait SMS dari Antasari,” ujar Asep. [Purwadi Sadim]