Koran Sulindo – Kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) memasuki babak baru. Setelah menghukum Hendrisman Rahim (mantan Dirut Jiwasraya), Hary Prasetyo (mantan Direktur Keuangan Jiwasraya), Syahmirwan (mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya), Joko Hartono Tirto (Direktur PT Maxima Integra), Benny Tjokrosaputro (PT Hanson International Tbk) dan Heru Hidayat (PT PT Trada Minera Tbk) dengan beragam hukuman, kini ada 13 perusahaan reksa dana yang disidangkan di Pengadilan Tipikor DKI Jakarta.
Seperti persidangan keenam terdakwa sebelumnya, persidangan terhadap 13 manajer investasi itu pun dinilai janggal. Salah satu kuasa hukum perusahaan reksa dana itu yakni Hotman Paris Hutapea menilai tidak ada perbuatan pidana yang terjadi dalam investasi yang dilakukan Jiwasraya di pasar modal.
Hotman Paris berpendapat, kejanggalan itu kian menjadi-jadi lantaran tidak ada satu pun undang undang di Indonesia yang menyatakan bahwa kerugian berinvestasi di pasar modal merupakan tindak pidana. Terlebih semua saham-saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) sah dan tidak dilakukan di pasar gelap. Kerugian merupakan risiko bisnis dan itu merupakan lazim terjadi ketika berinvestasi.
Hotma Paris karena itu menilai upaya penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan RI dengan menempuh jalur pidana adalah acara untuk menutup kerugian yang dialami Jiwasraya. Celakanya lagi upaya sita yang dilakukan Kejaksaan telah mencapai triliunan dan apabila dibebankan lagi kepada 13 manajer investasi, maka sesungguhnya akan meraup keuntungan dari proses hukum ini. Dan ini menjadi janggal, bukan?
Sebelum Hotman Paris berpendapat demikian, itu pula yang dialami Benny Tjokro dan Heru Hidayat dalam perkara ini. Benny Tjokro, misalnya, pernah beberapa kali menuliskan surat protes kepada Kejaksaan karena menilai proses hukum dalam kasus Jiwasraya tidak adil.
Dalam perenungannya, Benny Tjokro menilai, awal perkara ini bermula dari laporan audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di mana salah satu auditornya diperintahkan untuk menghubungkan dirinya dengan salah satu terdakwa lainnya dalam kasus tersebut tanpa pembuktian.
Auditor BPK tersebut melaporkan bahwa hubungan MYRX (kode PT Hanson) dengan Jiwasraya hanya berkaitan dengan transaksi repurchase agreement (REPO) yang sesungguhnya transaksinya sudah dibayar lunas oleh Benny Tjokro. Akan tetapi, auditor BPK tersebut diduga diarahkan berkali-kali oleh pimpinannya bahwa saham-saham yang dituduhkan itu dikendalikan oleh Benny Tjokro. Dan tuduhan itu diminta tak perlu dibuktikan.
Karena itu pula, Benny Tjokro menilai baik dakwaan maupun tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) merupakan konspirasi untuk menjeratnya sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang terjadi di Jiwasraya. Dengan kata lain, Benny Tjokro merupakan korban konspirasi dari pihak-pihak tertentu yang justru bertanggung jawab atas kerugian negara ini.
Di samping pendapat Benny Tjokro, salinan laporan hasil pemeriksaan atau yang lebih dikenal sebagai audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk Jiwasraya dalam gambaran umumnya menyebutkan Jiwasraya pada Maret 2009 berada dalam kondisi insolvent.
Pada posisi 31 Desember 2008 disebut terdapat kekurangan penghitungan dan pencadangan kewajiban perusahaan kepada pemegang polis senilai Rp 6,7 triliun. Menteri BUMN pada waktu itu lantas mengusulkan upaya penyehatan kepada menteri keuangan dengan penambahan modal sekitar Rp 6 triliun obligasi tanpa bunga (zero coupon bond) dan kas untuk mencapai tingkat solvabilitas minimum (RBC) 120%. Namun usulan tersebut tidak terlaksana.
Masih berdasarkan hasil audit tersebut, pada periode 2008 hingga 2017, Jiwasraya disebut membukukan keuntungan. Namun, pada 2018 dan 2019 membukukan kerugian (unaudited) masing-masing senilai Rp 15,83 triliun dan Rp 18,51 triliun sehingga menyebabkan terjadinya ekuitas negatif per 31 Desember 2019 senilai Rp 28,78 triliun.
Dari uraian audit BPK itu, yang terasa janggal adalah ketika periode 2008 hingga 2017, kinerja keuangan Jiwasraya disebut membukukan keuntungan. Periode kerugiannya hanya terjadi pada 2018 dan 2019. Pertanyaannya: lantas di mana letak tindak pidana korupsi dalam kasus ini? [Kristian Ginting]