Koran Sulindo – Baru-baru ini Indonesia Corruption Watch (ICW) meluncurkan laporan mereka tentang kinerja penegak hukum dalam hal pemberantasan korupsi sepanjang 2020. Hasilnya jauh dari menggembirakan. Seluruh penegak hukum seperti Kepolisian RI, Kejaksaan RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya diganjar nilai E. mengapa?
Menurut ICW kinerja penindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum sepanjang 2020 hanya mencapai 20% dari target penindakan kasus korupsi yakni 2.225 kasus. Khusus Kejaksaan, ICW mengganjar lembaga ini dengan nilai C alias cukup. Meski menangani kasus-kasus kakap, tampaknya itu tidak cukup membuat kinerja Kejaksaan dalam hal pemberantasan korupsi menjadi memuaskan.
Data ICW menunjukkan, secara kuantitas Kejaksaan menangani target penanganan sebanyak 566 kasus dengan anggaran yang dikelola sekitar Rp 75,3 miliar. Hingga akhir 2020, Kejaksaan menangani sebanyak 259 kasus.
Secara kualitas, kasus yang ditangani Kejaksaan pada umumnya kasus baru atau sekitar 222 kasus. Sementara pengembangan kasus sebanyak 34 dan operasi tangkap tangan sebanyak 3 kasus. Kejaksaan paling sering menangani kasus korupsi yang terjadi di badan usaha milik negara (BUMN) yaitu sebanyak 16 dari 22 kasus yang disidik oleh penegak hukum.
ICW juga menyoroti profesionalisme Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi. Diduga terdapat sejumlah Kejaksaan yang tidak menangani kasus korupsi. Dengan demikian, Kejaksaan RI perlu mengevaluasi kinerja setiap Kejaksaan yang terbukti tidak bekerja. Kejaksaan RI juga dinilai tidak profesional ketika menangani kasus suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung yang melibatkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari dan Joko Tjandra, sehingga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Sebelum ICW menerbitkan laporannya itu, Presiden Joko Widodo pada akhir 2020 sudah mengingatkan Kejaksaan RI agar menjadi lembaga yang bersih dan menjadi penegak hukum yang profesional. Itu sebabnya perlu adanya pembenahan secara internal termasuk dalam hal promosi yang transparan.
Menurut Jokowi, Kejaksaan yang tidak bersih akan membuat fondasi pembangunan nasional akan rapuh. Apalagi kiprah Kejaksaan menjadi wajah pemerintah dan wajah kepastian hukum di mata rakyat Indonesia dan di mata internasional. Kemudian, Kejaksaan diminta untuk bekerja keras menyelamatkan aset-aset negara. Dan jangan pula penegakan hukum itu menimbulkan ketakutan yang pada akhirnya menghambat percepatan serta inovasi.
Dari berbagai survei, tingkat kepuasaan masyarakat terhadap kinerja Kejaksaan persis seperti penilaian ICW: cukup. Pada pertengahan 2020, misalnya, survei Charta Politika dari bulan Mei hingga Juli menunjukkan, kepercayaan publik terhadap seluruh lembaga penegak hukum di Indonesia mengalami penurunan. Khusus untuk Kejaksaan RI, angka kepercayaan publik hanya 60%. Angka ini disebut lebih rendah dibandingkan bulan Mei dan Juni 2020.
Demikian pula dengan survei Alvara Research Center yang dirilis pada akhir 2020 di mana tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Kejaksaan Agung hanya sebesar 63,6%. Meski meningkat, angka kepuasan masyarakat itu hanya naik tipis jika dibandingkan dengan hasil survei pada Mei hingga Juli 2020.
Hasil survei yang sama ditunjukkan Indonesia Political Review (IPR) yang merilis hasil survei tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintahan, dan pemimpin kementerian lembaga kepresidenan 2020. Tingkat kepuasan publik terhadap Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin hanya 44,0%.
Berbeda dengan hasil survei Indikator Politik Indonesia yang menyebutkan kepercayaan publik terhadap kinerja Kejaksaan RI mengalami peningkatan menjadi 71,3% pada Oktober 2020 dari 68% di Juli 2020. Sementara itu, survei Libang Kompas pada Oktober 2020 tentang setahun pemerintahan Joko Widodo di periode kedua khususnya di bidang penegakan hukum separuh lebih responden yakni 54,4% mengaku tidak puas atas kinerja pemerintah. Bahkan 10,2% responden mengaku sangat tidak puas. Yang mengaku puas hanya 30,2% dan sangat puas hanya 2,1%.
Khusus mengenai kepuasan kinerja Kejaksaan, survei Litbang Kompas itu menunjukkan 72,7% responden tidak puas pada pemberantasan korupsi; 56,2% tidak puas pada penuntutan perkara; 66,1% tidak puas pada penegakan hukum; 56,2% tidak puas dalam hal penyidikan.
Survei itu juga menyoroti ketidakpuasan responden terkait keseriusan Kejaksaan menanangani kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Sekitar 46% menilai Kejaksaan tidak serius dan hanya 18,8% yang menyebut Kejaksaan serius menangani masalah pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dari berbagai hasil survei dan penelitian ICW itu, pertanyaannya: apakah kinerja Kejaksaan yang pas-pasan itu juga menjadi wajah dari pemerintah kita saat ini? [Kristian Ginting]