Kehidupan Buruh Pelabuhan di Masa Kolonial

Pelabuhan Tanjung Perang tahun 1910 [surabayarantau.blogspot.com]

Koran Sulindo – Pada awal abad ke-20 Pulau Jawa memiliki tiga pelabuhan utama yakni di Batavia, Semarang dan Surabaya.  Selain ketiga pelabuhan itu beberapa lainnya yang lebih kecil namun penting khususnya terkait dengan industry gula adalah Pekalongan, Tegal dan Probolinggo.

Dari semua pelabuhan yang berserak dari ujung barat pulau sampai di timur itu hanya sebagian kecil buruh-buruhnya dipekerjakan pelabuhan. Sebagian besar buruh justru diupah perusahaan-perusahaan dagang baik milik Cina maupun Eropa yang bergerak di bidang derek kapal dan bongkar muat.

Umumnya, buruh pelabuhan itu tidak dipekerjakan secara langsung oleh perusahaan yang menempatkan kantornya di sana. Mereka secara tidak langsung diawasi oleh mandor yang memang ditunjuk perusahaan.

Sama seperti para buruhnya, banyak mandor dilahirkan di pedesaan. Pada beberapa kasus kalaupun lahir di kota, para mandor-mandor itu tetap mempertahankan hubungan dengan desa atau kampung halaman keluarga mereka. Ketika mereka mencari pekerja mandor-mandor itu umumnya bakal mencari di desa atau daerah asalnya.

Di Surabaya, sebagian besar dari 10.000 buruh di Tanjung Perak adalah orang-orang Madura sementara untuk Pelabuhan Semarang tenaga kerja datang dari daerah sekitar seperti Demak, Kudus atau Juwana. Semua wilayah-wilayah itu terhubung dengan Semarang melalui jalur kereta api yang mempengaruhi arus penampungan tenaga kerja di kota itu.

Penempatan tenaga kerja lepas pantai di Semarang menjadi contoh tipikal dari hampir semua pelabuhan di Jawa pada masa kolonial. Muatan kapal pengangkut yang tertambat di laut lepas diisi dan dibongkar menggunakan sekitar 100 perahu yang didayung laut.

Manajer perusahaan perahu berkebangsaan Eropa, memilih kepala mandor yang ditugaskan untuk mengawasi buruh-buruh pribumi. Mereka inilah yang kemudian menetapkan beberapa juru mudi bagi setiap perahu yang mempekerjakan sembilan atau lebih awak untuk menjalankan perahu-perahu itu.

Umumnya mandor akan memilih juru mudi yang berasal dari daerah yang sama dengan si mandor. Pada gilirannya juru mudi juga memilih buruh-buruh dari desa mereka sendiri.

Mandor, juru mudi dan sejumlah pekerja terampil yang menjalankan mesin di kapal-kapal derek menjadi bagian mereka yang menjadi pekerja tetap di pelabuhan.

Mandor lazim menjalankan pekerjaan layaknya pengusaha yang membayar buruh-buruhnya dengan upah borongan yang kemudian dibagi berdasarkan tingkat upah yang ditetapkan pelabuhan.

Dalam beberapa kasus, mandor sebagai pekerja tetap di perusahaan pelayaran dan pengangkutan dengan upah mingguan atau harian. Mereka juga mendapat bonus terkait produktivitas tenaga kerja yang berada di bawah pengawasannya.

Pembayaran yang ditetapkan kepada mandor biasanya didasarkan pada jumlah karung beras, gula, kopi atau komoditas lain yang diangkut ke sebuah kapal, gudang atau kereta.

Buruh-buruh dengan upah harian menerima pembayaran secara tidak langsung melalui mandor  setelah mengambil komisi yang besarnya kadang bahkan mencapai 20 persen.  Baru pada awal tahun 1920-an mulai berkembang pembayaran upah langsung untuk mengurangi kekuasaan dan hak para mandor.

Bagaimanapun buruh pelabuhan di masa itu ternyata dibayar dengan upah yang lebih baik atau dua kali lipat daripada awak kapal meski dengan jumlah jam kerja yang sama. Upah lebih besar itu didapat karena buruh di dermaga dianggap melakukan pekerjaan lebih berat secara fisik.

Tahun 1921 tercatat buruh dermaga bekerja selama 7 jam sehari dengan jam istirahat yang lebih banyak dibanding pekerja lain yang mencapai 10-14 jam kerja perhari. Di sisi lain pekerjaan berat dengan pemukiman dan asupan nutrisi yang buruk terbukti telah mengorbankan kesehatan buruh.

Pada hari-hari tertentu para majikan acapkali harus menghadapi hanya sepertiga jumlah buruh yang harus datang bekerja. Pekerjaan berat, panas yang tidak menyenangkan membuat para buruh membutuhkan lebih banyak waktu istirahat untuk memulihkan kekuatan mereka.

Banyak di antara mereka yang kemudian memilih mencari pekerjaan lain sekalipun dengan bayaran yang lebih kecil selama tidak bekerja di pelabuhan. Penyakit juga menjadi penyumbang terbesar ketidakhadiran buruh yang tinggi.

Di sisi lain dengan ketersediaan pekerjaan di pelabuhan yang berubah-ubah, waktu paling sibuk yang dihadapi buruh adalah musim penggilingan gula antara bulan Juni hingga September. Pada periode itu pelabuhan-pelabuhan bakal penuh dengan kapal-kapal yang menunggu diisi muatan gula olahan sebagai barang ekspor.

Tingkat upah satu pelabuhan dengan pelabuhan yang lain umumnya sangat bervariasi sekaligus mencerminkan tingkat biaya hidup setempat dan kekuatan serapan tenaga kerja. Upah buruh menjadi sangat tinggi selama bulan Agustus dan September setiap tahun, ketika permintaan tenaga kerja berada di puncaknya sementara persediaan terbatas.

Faktor lain yang membuat upah buruh naik adalah hari-hari besar ketika buruh kembali ke desa seperti saat Lebaran atau musim panen. Pengusaha kapal saling berlomba mengalahkan dalam tawar-menawar atas persediaan tenaga kerja yang terabatas itu.

Hampir semua pekerja pelabuhan merupakan penduduk yang berpindah-pindah atau sirkuler. Meraka ini mencakup hingga 30-40 persen seluruh tenaga kerja di perkotaan.

Membanjirnya tenaga kerja ke kota itu dipicu kebutuhan pendapatan tunai akibat tertekannya lahan pertanian di pedesaan sejak 1870. Mereka lazim datang ke kota setelah hanya untuk beberapa bulan, khususnya pada bulan-bulan sebelum panen.

Ketika sumber makanan dan pendapatan di pedesaan berada pada tingkat rendah, laki-laki desa meninggalkan keluarganya pergi ke kota dan kembali pada musim panen atau hari-hari besar.

Mereka mencari pekerjaan untuk membayar pajak tanah atau utang yang didapat dari pedangan setempat atau rentenir. Di kota mereka menerima pekerjaan apa saja yang dapat ditemukan sebagai mata pencaharian dan menyimpan uangnya dengan hati-hati sampai saatnya kembali ke desa.[TGU]