Kehebatan Uni Soviet dalam mempertahankan kedaulatannya dan cengkeramannya di Front Timur selama Perang Dunia 2 merupakan hal yang dibanggakan oleh Josef Stalin, khususnya dalam parade May Day.
Pada awal invasi Jerman ke timur dalam Operasi Barbarossa tanggal 22 Juni 1941, Rusia sesungguhnya memiliki kekuatan yang melebihi Jerman di front perang.
Tetapi Hitler yang selalu memandang rendah bangsa-bangsa Eropa Timur termasuk Rusia, begitu percaya diri bahwa militer Jerman yang modern dan terlatih akan mampu menggilas musuh yang lebih besar secara jumlah.
Perbandingan Kekuatan
Menurut Perang Eropa oleh P. K. Ojong, saat Front Timur di sektor Eropa dibuka, jumlah pasukan Soviet dua kali lebih besar daripada Wehrmacht yang datang menyerbu. Begitu pula kendaraan tempur berlapis baja (AFV, armoured fighting vehicle) Rusia lima kali lebih banyak. Angka hampir sama juga ditemui dalam jumlah pesawat terbang.
Tetapi, baik Wehrmacht maupun AU/Luftwaffe Jerman memiliki personel, peralatan, kepemimpinan, dan inisiatif yang lebih superior.
Keunggulan Jerman dengan blitzkrieg-nya terbukti pada awal-awal invasi, ketika pasukan Soviet tergulung mundur dan mundur terus, dengan jumlah korban tewas dan tertawan tak terbilang besarnya, belum lagi hilangnya peralatan perangnya. Wilayah luas dari utara, tengah, hingga selatan cepat dikuasai Jerman, bahkan sampai menjelang gerbang ibu kota Moskwa.
Namun satu hal kurang masuk perhitungan Hitler dan para perancang militernya, yaitu faktor cuaca musim dingin, terbelakangnya prasarana jalanan di Rusia, serta ketangguhan atau daya tahan orang Rusia dalam tekanan serta penderitaan.
Mereka berhasil menghentikan gerak maju Jerman di dekat Moskwa. Bahkan pemimpin Soviet, Josef Stalin pada musim dingin 1941-1942 mampu melancarkan ofensif balasan. Sekalipun ofensif balik ini tidak sepenuhnya mencapai sasaran, namun setidaknya mengakibatkan Jerman mengalami kekalahan pertamanya yang serius, termasuk kehancurannya di Stalingrad.
Bencana di Stalingrad
Tahun 1942 kondisi di front timur agak tenang. Kedua pihak tengah menjilati luka masing-masing serta mengumpulkan kembali kekuatan yang berkurang.
Namun menjelang akhir tahun, dunia dengan tegang mengikuti perkembangan di Stalingrad. Hitler bernafsu sekali merebut kota industri ini, karena dia akan dapat mempermalukan diktator Soviet Josef Stalin, yang namanya dipakai untuk kota tersebut.
Sebaliknya, Stalin juga mati-matian berusaha, jangan sampai kota dengan namanya itu diinjak-injak oleh Jerman Nazi. Karena bila sampai dikuasai Hitler, Stalin tidak tahu mukanya akan disembunyikan di mana lagi.
Salah satu lokasi pertempuran terhebat di Stalingrad adalah di kompleks pabrik traktor, yang beberapa kali berganti tangan. Pertengahan Oktober, pasukan Rusia mulai mengambil inisiatif melancarkan kontra-ofensif. Tetapi, Jerman bertahan tak mau melepaskan cengkeramannya atas kota ini.
Bahkan, Jenderal von Paulus, yang pangkatnya segera dinaikkan menjadi marsekal lapangan, berusaha melakukan serangan balasan. Serangannya mampu berlangsung hingga seminggu, namun tetap tak mampu mengusir pasukan musuh. Gerakan pasukan Jerman pun semakin melemah dan terpecah-pecah oleh para penembak jitu Rusia.
Menjelang akhir November, Marsekal Erich von Manstein mengirim bantuan kekuatan bagi pasukan Jenderal Friedrich von Paulus yang terjebak di Stalingrad. Akhirnya 31 Januari Paulus yang berada di sektor selatan kota terpaksa menyerah juga, dan dua hari kemudian sisa pasukannya di bagian utara kota pun mengibarkan bendera putih.
Jerman kehilangan sekitar 230.000 tentaranya, baik tewas, hilang, maupun tertawan. Kekalahan di Stalingrad sejauh itu merupakan bencana militer terbesar yang dialami Jerman, dan negara pun dinyatakan berkabung resmi selama tiga hari.
Adu Tank di Kursk
Enam bulan kemudian, pada 5 Juli 1943, Hitler menyerang Kursk. Stalin melayani tantangan tersebut sehingga terjadilah apa yang sering disebut sebagai “pertempuran tank terbesar dalam sejarah”.
Sekitar dua juta pasukan dan 6.000 tank dari kedua pihak diterjunkan. Pertempuran tank itu didukung oleh kekuatan udara masing-masing. Setiap kali pasukan dan tank Soviet terdesak, setiap kali pula datang bala bantuan baru yang seolah-olah tak ada habisnya.
Tank baru Jerman seperti jenis Panther dan Elefant ikut diterjunkan walau belum pernah dijajal di medan perang. Namun dengan terus mengalirnya bantuan dari garis belakang Rusia, terutama tank T-34, maka Jerman tidak mengalami kemajuan yang berarti. Bahkan harus kehilangan begitu banyak tanknya.
Para komandan tank Jerman yang biasanya piawai dan banyak berinisiatif tatkala menghadapi lawan, ternyata di Kursk dibuat bingung oleh kondisi medan pertempurannya. Mereka menghadapi cuaca hujan-panas yang berganti-ganti tidak menentu, ditambah duel artileri yang tak ada hentinya. Semuanya ini membuat mereka tak mungkin bermanuver dengan leluasa.
Serbuan besar Jerman terhadap Kursk akhirnya diakui gagal, bahkan menjadi salah satu titik balik terpenting di front timur.
Stalin Menerjang yang Tengah
Walau tahun 1942-1943 sudah terlihat tanda-tanda bahwa Soviet berhasil menahan invasi Jerman, namun kenyataan menunjukkan Jerman tetap bercokol di Eropa Timur serta wilayah amat luas di Rusia.
Sejak musim panas 1944, Hitler harus menghadapi dua front, karena Sekutu sudah mendarat di Normandia Prancis. Stalin bersama para panglimanya sejak pertengahan 1944 merencanakan akan menjajal kekuatan tentara Jerman di bagian tengah.
Front tengah ini oleh Stalin dijadikan sasaran awal “perang pembebasan”-nya.
Ofensif besar ini merupakan rencana strategisnya untuk merebut kembali wilayah Rusia yang diduduki Jerman, sekaligus menguasai Eropa Timur, dan akhirnya memasuki Berlin mendahului pasukan Sekutu dari barat.
Pertengahan 1944, Jerman masih memiliki lebih dari 2,2 juta pasukan di seantero front timur. Namun jumlah ini merupakan yang terendah sejak invasi ke timur lewat Operasi Barbarossa pada pertengahan 1941.
Sebaliknya, Rusia kini mempunyai lebih dari enam juta tentara, jumlah tertinggi yang pernah dimilikinya. Mereka terbagi dalam 500 divisi infanteri, 40 divisi artileri, lebih dari 9.000 tank, dan 16.000 pesawat pengebom dan tempur.
Dari tiga grup tentara Jerman di front timur, maka Grup Tengah memiliki pasukan terbanyak, dengan sekitar 792.000 orang lebih, sedangkan Grup Utara 541.000 dan Grup Selatan 400.500 pasukan. Grup Tengah terdiri dari 42 divisi infanteri, termasuk lima dari Hongaria, empat divisi lapis baja, serta sejumlah divisi independen lainnya.
Untuk menghantam Grup Tengah, Rusia menyiapkan Operasi Bagration, yang diambilkan dari nama Peter Nanovich Bagration, jenderal Rusia yang tewas tatkala melawan invasi Napoleon tahun 1812. Sekitar 2,5 juta pasukan, 6.000 tank, dan 7.000 pesawat disiapkan untuk menyerang lebih dari 790.000 tentara Jerman.
Stalin tampaknya sengaja menunggu sampai Sekutu mendarat lebih dulu di Normandia sebelum memerintahkan ofensifnya ke barat. Dia menyerang pada 22 Juni 1944, tepat tiga tahun sesudah Hitler melancarkan Barbarossa-nya.
Seperti dikhawatirkan sejumlah jenderal Jerman, serangan Rusia memang datang dari beberapa jurusan sekaligus, diawali dengan bombardemen artileri dan roket.
Setelah itu disusul serbuan serentak dari 77 divisi dengan konsentrasi serangannya pada enam pintu masuk ke wilayah Grup Tengah Jerman. Sebagai bandingan, maka setiap zona selebar 1,8 kilometer digedor oleh sekitar 1.200 prajurit Rusia, dan mereka dihadapi oleh hanya sekitar 130 pasukan Jerman di setiap zonanya. Karena itu esok harinya, Rusia pun memperluas wilayah ofensifnya.
Rusia Semakin Profesional
Tatkala Tentara Merah melancarkan serbuannya, Panglima Grup Tengah Marsekal Busch sedang berada di Berghof, pos komando Hitler. Tanpa sempat bertemu dengan bosnya itu, Busch langsung bergegas kembali ke markasnya di kota Minsk. Namun tidak banyak yang dapat dilakukannya untuk menyetop musuh.
Cepatnya gerak maju pasukan Soviet lebih disebabkan mereka kini menerapkan keterampilan taktis dalam bertempur. Sesuatu yang mereka pelajari justru dari Jerman ketika melancarkan invasinya tiga tahun yang lalu.
Bahkan, para jenderal Jerman mengakui, betapa sulitnya kini untuk memisahkan pasukan infanteri Rusia dari pasukan tank mereka. Bantuan serangan udara serta artileri Rusia pun menjadi lebih profesional dan terarah dengan baiknya.
Pihak Jerman melihat sendiri bahwa untuk pertama kalinya sejak perang di front timur pecah, kemampuan dan kinerja taktis Tentara Merah sudah hampir seperti standar yang dimiliki tentara Jerman.
Ofensif Tentara Merah yang cepat ini membuka mata, betapa ironisnya kondisi tentara Jerman sekarang dibandingkan pada saat-saat awal perang, ketika mereka menyandang predikat pasukan dengan mobilitas tertinggi lewat metoda blitzkrieg, perang kilatnya.
Kini tahun 1944, mereka menjadi tentara dengan kecepatan paling lamban. Situasi ini bukan disebabkan oleh kemunduran tentara Jerman, tetapi lebih dikarenakan musuh-musuhnya berhasil menyamai, bahkan melebihinya dalam produksi kendaraan bermotor.
Dalam komposisi AD Jerman pada tahun 1944, jumlah kecabangan pasukan lapis baja/bermotor (panzer dan panzer grenadier) hanyalah 10,8 persen, sedangkan mayoritas divisinya yang lain menyandarkan mobilitas mereka pada tenaga kuda, baik sebagai pengangkut maupun penarik beban.
Sedangkan di pihak Tentara Merah, tahun 1944 menunjukkan mereka memiliki mobilitas tinggi, baik untuk kendaraan lapis baja maupun angkutan. Selain produksi massal sendiri, maka bantuan dari Amerika sungguh luar biasa, terutama yang berupa truk 2,5 ton dan tank Sherman.
Begitu banyaknya pasokan truk Amerika itu lewat program Lend-Lease sehingga sampai bertahun-tahun orang Rusia akan selalu memakai kata Studebaker untuk menyebutkan kendaraan truk. Karena mobilitasnya ini, sering pasukan Rusia mampu bergerak sehingga berada di belakang pasukan Jerman yang mundur. [BP]