Kegagalan Perundingan Hoge Veluwe dan Dampaknya

Sutan Sjahrir (kiri) bersama Soekarno (tengah) dan Mohamad Hatta (kanan). FOTO/ist.

Pasca-Proklamasi Kemerdekaan 1945, Indonesia menghadapi tantangan besar untuk mendapatkan pengakuan internasional atas kedaulatannya. Diplomasi menjadi salah satu senjata utama yang digunakan pemerintah Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan di tengah tekanan politik dan militer dari Belanda.

Salah satu upaya penting dalam perjuangan ini adalah Perundingan Hoge Veluwe, yang digelar pada April 1946. Perundingan ini mencerminkan kompleksitas hubungan Indonesia-Belanda, terutama dalam upaya menyelaraskan pandangan tentang status kenegaraan Indonesia.

Artikel ini mengulas latar belakang, jalannya perundingan, serta dampak dari peristiwa penting yang mencerminkan perjuangan diplomasi Indonesia di masa awal kemerdekaan.

Latar Belakang Perundingan

Perundingan Hoge Veluwe adalah salah satu babak penting dalam sejarah diplomasi Indonesia-Belanda pasca-Proklamasi Kemerdekaan 1945. Melansir laman kemdikbud, Perundingan ini digelar pada 14-24 April 1946 di Hoge Veluwe, dekat Den Haag, Belanda.

Perundingan ini bertujuan membahas status kenegaraan, wilayah, dan kedaulatan Indonesia. Namun, upaya ini berakhir dengan kebuntuan, mencerminkan perbedaan visi mendalam antara kedua pihak.

Perundingan ini merupakan tindak lanjut dari diskusi awal antara Perdana Menteri Indonesia, Sutan Sjahrir, dan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda de facto, Hubertus Johannes Van Mook.

Dari diskusi tersebut lahirlah “Batavia Concept” atau Draft Jakarta, yang menjadi dasar pembicaraan di Hoge Veluwe. Draft ini mencakup empat poin utama:

1. Pengakuan de facto atas kekuasaan Republik Indonesia di Jawa dan Sumatra.
2. Kedua belah pihak sepakat untuk memandang masing-masing pihak sebagai “mitra sejajar” dalam perundingan-perundingan selanjutnya
3. Struktur federal bagi bangsa Indonesia di masa mendatang
4. Adanya masa peralihan

Delegasi Indonesia terdiri dari Mr. Suwandi (Menteri Kehakiman), dr. Sudarsono (Menteri Dalam Negeri), dan Mr. Abdul Karim Pringgodigdo (Sekretaris Kabinet). Mereka didampingi diplomat senior Inggris, Sir Archibald Clark Kerr. Sementara itu, delegasi Belanda melibatkan tokoh-tokoh seperti Dr. Van Royen, Prof. van Asbeck, Sultan Hamid II, dan Suryo Santoso.

Jalannya Perundingan

Sejak hari pertama, perbedaan pandangan muncul. Delegasi Indonesia berharap perundingan ini menghasilkan langkah konkret menuju pengakuan kedaulatan, sedangkan Belanda menganggapnya sebagai diskusi pendahuluan semata. Kegagalan perundingan ini semakin nyata karena keberatan Belanda terhadap poin kesetaraan sebagai mitra sejajar.

Bagi Belanda, menerima kesetaraan berarti mengakui Indonesia sebagai negara yang setara di mata dunia internasional. Hal ini bertentangan dengan pandangan Belanda yang masih menganggap dirinya sebagai pemegang kedaulatan atas bekas jajahannya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kegagalan

Kegagalan Hoge Veluwe tidak hanya dipengaruhi oleh perbedaan pandangan antar delegasi tetapi juga situasi politik internal Belanda:

1. Tekanan Politik Dalam Negeri Belanda

– Parlemen Belanda, khususnya Fraksi Partai Katolik (Katholieke Volkspartij), menentang keras gagasan kesetaraan dengan Indonesia. Sikap ini tercermin dalam artikel tajam di Volksrant yang menyebut perundingan sebagai De Week der Schande (Minggu yang Penuh Aib).
– Pemilu pertama pascaperang di Belanda turut menjadi hambatan, karena perundingan ini dianggap dapat memengaruhi hasil pemilu.

2. Strategi Van Mook
Van Mook juga mempunyai andil dalam penolakan penyelenggaraan Hoge Veluwe oleh sebagian besar politisi di parlemen Belanda. Van Mook rupanya sengaja tidak melaporkan rincian draft Jakarta kepada pemerintah Belanda di Den Haag.

Van Mook merasa bahwa penyelesaian masalah Indonesia perlu diselesaikan dengan cepat dan tidak perlu disangkutpautkan dengan pemilu. Perundingan itu seharusnya menjadi kejutan kepada pemerintah Belanda agar bersedia mengambil alih pimpinan dalam penyelesaian masalah Indonesia, dan tidak hanya kepada dirinya Letnan Gubernur Jenderal atau kepala NICA di Indonesia. Sementara itu, pemerintah Belanda tidak mampu melakukannya selama pemilihan umum pascaperang belum diselenggarakan.

Akhir Perundingan dan Dampaknya

Perundingan Hoge Veluwe berakhir dengan deadlock. Pihak Belanda tetap menolak pengakuan sejajar terhadap Republik Indonesia, sedangkan delegasi Indonesia kecewa karena tidak ada langkah nyata menuju pengakuan kedaulatan.

Kegagalan Hoge Veluwe menegaskan betapa sulitnya negosiasi antara Indonesia dan Belanda pada masa awal kemerdekaan. Meski demikian, perundingan ini menjadi bagian penting dari rangkaian upaya diplomasi Indonesia untuk mendapatkan pengakuan internasional atas kemerdekaannya.

Peristiwa ini juga menunjukkan kompleksitas politik Belanda, yang terbagi antara kebutuhan mempertahankan kendali atas Indonesia dan tekanan dari perkembangan domestik pascaperang.

Upaya diplomasi berlanjut dengan perundingan-perundingan berikutnya, termasuk Perundingan Linggajati, yang akhirnya memberikan pengakuan de facto terhadap Republik Indonesia meski dalam batasan tertentu.

Hoge Veluwe, meskipun gagal mencapai kesepakatan, tetap menjadi bukti upaya diplomasi Indonesia untuk memperjuangkan hak kemerdekaannya di tengah tantangan besar. [UN]