Kenaikan harga kedelai dan minyak goreng berdampak besar pada penghidupan masyarakat Indonesia, karena kedua bahan pangan itu digunakan oleh sebagian besar masyarakat sehari-hari. Kenyataan ini juga menguak bagaimana rentannya persoalan pangan di negeri agraris seperti Indonesia sehingga dapat dipermainkan oleh harga pasar internasional.
Kenaikan harga minyak goreng sejak paruh kedua tahun 2021 ini sangat terasa bagi masyarakat, terutama rumah tangga sederhana dan miskin. Harga minyak goreng telah jauh melampaui harga eceran tertinggi (HET) Rp.11.000 per liter, masyarakat harus membeli seharga 18 – 20 ribu rupiah. Akibatnya biaya hidup harian rumah tangga rakyat ikut meningkat.
Menurut Kementerian Perdagangan (Kemendag) penyebab pertama adalah naiknya harga CPO dunia menjadi US$ 1.365 per metrik ton dari harga sebelumnya US$ 500-600. Penyebab kedua, kebanyakan entitas (perusahaan) produsen minyak goreng dan CPO berbeda sehingga produsen minyak goreng dalam negeri harus membeli CPO sesuai dengan harga pasar lelang dalam negeri mengacu pada harga lelang KPBN Dumai, yang juga terkorelasi dengan harga pasar internasional.
Tidak seperti yang disampaikan Kemendag, jika ditinjau lebih seksama, pemilik kebun sawit, produsen CPO dan produsen minyak goreng adalah grup usaha yang sama misalnya Wilmar, Sinarmas Group, Musimas atau Salim Ivomas. Perusahaan perkebunan besar itu secara bersama menguasai lahan puluhan juta hektar (Ha) bahkan lebih luas dari areal sawah Indonesia yang hanya 10,6 juta hektar. Minyak goreng kemasan yang beredar seperti merek Filma, Bimoli, Sunco atau Sania juga diproduksi grup usaha yang sama.
Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), pada tahun 2020 produksi minyak sawit atau CPO Indonesia mencapai 51 juta ton, di antaranya 34 juta di ekspor dan 17,35 juta ton untuk konsumsi dalam negeri. Dengan produksi sebesar itu, Indonesia menjadi produsen terbesar minyak sawit dunia dengan market share mencapai 55 persen.
Tingginya harga minyak sawit dunia saat ini tentu menguntungkan bagi perusahaan pengekspor CPO. Selain itu pemerintah juga mendapat keuntungan besar dari pungutan ekspor CPO yang nilainya mencapai US$ 155 per ton berdasar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76/PMK.05/2021. Tentunya pemerintah lebih menyukai peningkatan ekspor CPO dan tingginya harga dibanding pemenuhan kebutuhan domestik, sebab ekspor akan memperbesar pemasukan kas negara.
Kasus kedelai
Kenaikan harga kedelai sejak akhir tahun 2021 semakin tidak terkendali, akibatnya banyak perajin yang berhenti berproduksi dan gulung tikar. Harga kedelai sebagai bahan baku utama kini telah naik lebih dari 20 persen, dari semula 9 ribu rupiah naik menjadi 11 ribu rupiah.
Saat ini harga kedelai di kisaran Rp 11.000 per kg, harga tersebut merupakan harga rata-rata yang ditetapkan untuk menjaga harga kedelai di tingkat importir sebesar Rp 10.500 – 11.500 per kg. Harga tersebut akan ditinjau kembali setiap akhir bulan berdasarkan perkembangan harga kedelai dunia.
Karena harga terus naik, jutaan perajin tahu tempe memutuskan akan melakukan aksi mogok produksi selama tiga hari mulai 21-23 Februari 2022. Aksi ini dapat dimaknai sebagai bentuk protes dan desakan kepada pemerintah untuk mengendalikan harga.
Menurut BPS kebutuhan kedelai secara nasional saat ini mencapai 2,8 juta ton per tahun, sekitar 70 persen kedelai dialokasikan untuk produksi tempe, 25 persen untuk produksi tahu, dan sisanya untuk produk lain. Kedelai kebutuhan dalam negeri sebagian didatangkan dari luar negeri (hampir 2 juta ton) terutama dari Amerika Serikat (AS).
Indonesia sebenarnya pernah mengalami swasembada kedelai pada tahun 1992 yang mana saat itu produksi kedelai dalam negeri mencapai 1,8 juta ton. Namun dibukanya kran impor sebagai kesepakatan dalam organisasi perdagangan dunia (WTO) maka secara drastis pertanian kedelai Indonesia dilibas dan hancur tergilas permainan harga dunia yang saat itu lebih murah dibanding harga kedelai lokal.
Penguasaan AS atas produksi dan harga kedelai Indonesia tak lain karena adanya praktik perdagangan monopoli. Dengan kemampuan ekonominya, AS melakukan subsidi harga jual komoditi kedelai yang sangat mematikan. Selain itu dengan menggunakan WTO dan IMF mereka mampu memaksa negara miskin atau berkembang seperti Indonesia untuk mengapus tarif impor menjadi nol persen dengan dalih perdagangan bebas atau sebagai syarat mendapatkan kucuran utang.
Masalah lain adalah penggunaan rekayasa genetik oleh AS sehingga meningkatkan produktifitas pertanian kedelai mereka dibanding pertanian kedelai Indonesia. Kedelai hasil rekayasa genetik ini berbahaya bagi kesehatan dan telah ditentang selama puluhan tahun termasuk oleh petani Indonesia.
Kedaulatan pangan
Kedaulatan pangan tidak hanya bicara soal ketersediaan pangan bagi rakyat agar tidak kelaparan. Jauh lebih dalam kedaulatan pangan adalah kebebasan dan kekuasaan rakyat serta komunitasnya untuk menuntut dan mewujudkan hak untuk mendapatkan dan memproduksi pangan secara mandiri dan tindakan berlawan terhadap kekuasaan perusahaan-perusahaan serta kekuatan lainnya yang merusak sistem produksi pangan rakyat melalui penguasaan lahan, perdagangan, investasi, serta alat dan kebijakan lainnya.
Kedaulatan pangan menuntut hak rakyat atas pangan, yang menurut Food and Agriculture Organization (FAO) merupakan hak untuk memiliki pangan secara teratur, permanen dan bisa mendapatkannya secara bebas, baik secara cuma-uma maupun membeli dengan jumlah dan mutu yang mencukupi, serta cocok dengan tradisi-tadisi kebudayaan rakyat yang mengkonsumsinya. Menjamin pemenuhan hak rakyat untuk menjalani hidup yang bebas dari rasa takut dan bermartabat, baik secara fisik maupun mental, secara individu maupun kolektif.
Akan tetapi kedaulatan pangan telah diputar balikkan dan hanya sebatas pernyataan lembaga-lembaga pemerintah dan antar-pemerintah saja, sementara pelaksanaan dan tanggungjawab untuk mewujudkan ketahanan pangan telah didefinisikan kembali yaitu dialihkan dari urusan negara menjadi urusan pasar.
Rekonseptualisasi ketahanan pangan ini pada akhirnya hanya menguntungkan negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang paling kuat yang terlibat dalam perdagangan dan investasi pangan juga agribisnis. Kebijakan perdagangan neoliberal ini menekankan bahwa mengimpor pangan murah adalah jalan terbaik bagi negara-negara miskin untuk mencapai ketahanan pangan dari pada memproduksi pangannya sendiri. Bank Dunia bahkan menegaskan bahwa perdagangan bebas sangat penting bagi ketahanan pangan, dengannya pemanfaatan sumber daya di dunia lebih efesien.
Kebijakan-kebijakan neoliberal ini merusak kedaulatan pangan karena lebih mementingkan perdagangan internasional daripada hak-hak rakyat atas pangan. Kaum tani dan rakyat di pedesaan lainnya telah membuktikan bahwa kebijakan-kebijakan neoliberal ini tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengurangi
masalah pangan. Kebijakan-kebijakan ini justru hanya meningkatkan ketergantungan rakyat pada impor agrikultural dan mengintensifkan peng-korporatisasian pertanian.
Ketika perdapatan kaum tani mengalami kemerosotan, baik karena tingginya biaya produksi di satu sisi dan melimpah-ruahnya impor secara yang memaksa jatuhnya harga produk lokal, harga konsumen justru bergerak naik. Gambaran ini menunjukkan fakta bahwa kekuatan utama di balik naiknya harga sarana-sarana pertanian dan turunnya harga komoditi pertanian lokal yang juga menyebabkan tingginya harga pangan adalah adanya kontrol secara monopoli dari perusahaan-perusahaan besar transnasional juga perusahaan besar nasional .
Monopoli tanah dan reforma agraria
Indonesia dengan luas daratan 1,91 juta kilometer persegi (km2) atau setara dengan 191 juta hektar dan tanah yang subur sejak lama menjadi incaran dunia karena kekayaan alamnya. Dengan pengolahan sederhana sekalipun tanah negeri ini bisa menghasilkan tanaman dan bahan pangan berlimpah. Sangat berbeda dengan keadaan di belahan dunia lain seperti eropa, Amerika atau Afrika yang kondisi tanahnya memerlukan banyak pengolahan juga obat-obatan khusus agar tanaman dapat tumbuh baik.
Selain itu Indonesia memiliki Iklim tropis yang memiliki dua musim yaitu musim hujan dan kemarau. Indonesia juga berada di garis khatulistiwa sehingga berlimpah sinar matahari untuk mempercepat tanaman tumbuh. Hampir semua jenis tanaman bisa tumbuh di Indonesia karena itu pula Indonesia sempat disebut sebagai salah satu negara agraris terbesar dan lumbung pangan dunia.
Karena kekayaan alamnya Indonesia menjadi incaran bangsa bangsa di dunia, kedatangan Portugis, Inggris, Kolonialis Belanda, Fasis Jepang hingga Amerika Serikat tak lain untuk menikmati kekuasaan atas tanah air dan memperbudak rakyat Indonesia. Hal ini terbukti dengan naiknya pamor Kerajaan Belanda di dunia karena kekayaan berlimpah atas hasil menjajah Indonesia selama tiga setengah abad lamanya. Kolonial Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Indonesia dan memanfaatkannya untuk kemakmuran negerinya melalui monopoli tanah, perbudakan dan monopoli perdagangan hasil alam.
Pasca kemerdekaan Agustus 1945, sempat ada kemajuan di bawah pemerintahan Presiden Soekarno melalui program nasionalisasi atas usaha juga perkebunan Belanda dan adanya program reforma agraria dengan lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) no.5 tahun 1960.
Dasar dari lahirnya UUPA adalah untuk menghapus hukum agraria kolonial; menghancurkan monopoli penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria di tangan segelintir orang; serta menjadi pondasi pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial – yang diawali dengan distribusi tanah secara adil untuk kaum tani. Keadilan distribusi tanah itu kemudian lazim dikenal dengan istilah Land Reform, Reforma Agraria atau dibahasakan dalam slogan ‘tanah untuk rakyat’.
Akan tetapi, sejak Presiden Soekarno tidak lagi berkuasa, semangat UUPA tidak pernah berwujud dalam sejarah pembangunan Indonesia. Penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria mengabdi pada kepentingan investasi asing maupun dalam negeri, baik di bidang pertambangan, perkebunan sawit, dan bisnis di bidang kehutanan. Semua itu bersandar pada praktik monopoli penguasaan tanah yang tentunya ditopang oleh berbagai produk hukum negara yang bertentangan dengan mandat UUPA.
Monopoli tanah dan sumber agraria merupakan penyebab utama lahirnya ketimpangan penguasaan sumber penghidupan bagi kaum tani. Di Provinsi Jambi, misalnya. Dari 5,1 juta hektar luas total Provinsi Jambi, hanya sekitar delapan persen (8%) luas daratan yang tidak terisolasi oleh kepentingan korporasi. Sementara jutaan hektar lainnya sudah dikuasai oleh kawasan hutan negara, perusahaan perkebunan kelapa sawit, taman nasional, dan kawasan pertambangan. Hal ini mengakibatkan diskriminasi hak kaum tani dan tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh korporasi, sampai dengan hilangnya nyawa petani.
Dampak lainnya, tidak ada kedaulatan bagi kaum tani dalam penentuan harga produk yang mereka tanam. Kaum tani berada dalam masalah monopoli harga baik itu komoditas kelapa sawit, kedelai atau karet sepanjang waktu. Di beberapa tempat, petani justru memilih untuk mengganti kebun mereka dengan jenis tanaman lain – di saat tidak juga ada dukungan apa pun dari negara.
Dampak monopoli tanah oleh perkebunan besar yang tidak kalah serius adalah kerusakan lingkungan yang tidak terkendali. Tahun 2015 lalu, jutaan rakyat mengalami gangguan pernapasan, hingga meninggal dunia akibat kepulan asap yang berasal dari perusahaan-perusahaan besar yang terbakar. Ironisnya, tidak ada penegakan hukum secara tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang membakar.
Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), Reforma Agraria menjadi salah satu program unggulan. Namun secara hakikat, sangat bertentangan dengan semangat ‘tanah untuk rakyat’ karena kenyataannya tidak ada upaya mengurangi monopoli tanah. Tidak ada upaya pengurangan jutaan hektar tanah yang dikuasai perusahaan-perusahaan besar.
Selama penguasaan tanah dan sumber agraria masih ditangan perkebunan besar, ketika tidak ada program untuk membangun pertanian mandiri tidak bergantung impor, maka masalah kenaikan harga pangan akan sulit teratasi. Indonesia yang sejahtera hanya bisa dicapai dengan jalan berdikari dan melibatkan seluruh rakyat, kaum marhaen terutama kaum tani Indonesia dalam kepemilikan tanah, produksi dan pembangunan. [PTM]