Permintaan Ketua DPR RI Puan Maharani agar pemerintah serius menangani pelanggaran kedaulatan negara oleh Tiongkok di Laut Natuna Utara sungguh serius. Laut ini termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang harus dijaga. Sikap cucu Bung Karno tegas: Kita tak boleh membiarkan negara lain terus “mengganggu” wilayah kedaulatan Indonesia.
Harus ada upaya tegas dari pemerintah untuk mengusir kapal-kapal asing dari wilayah Indonesia. Menurut laporan Badan Keamanan Laut (Bakamla) beberapa waktu lalu, bukan hanya kapal coast guard dan kapal perang Tiongkok yang hilir mudik di Laut Natuna Utara. Tapi, juga ada banyak kapal Vietnam berusaha mengambil ikan di perairan kita.
Memang di Natuna sudah ditempatkan empat kapal TNI-AL: KRI Diponegoro-365, KRI Silas Papare-386, KRI Teuku Umar-385, dan KRI Bontang-907. Tugasnya membayangi kapal asing yang masuk teritorial RI, dengan maksud mengusirnya. Namun, empat kapal TNI-AL saja rasanya tidaklah cukup, karena kapal asing yang masuk jumlahnya ribuan.
Pemerintah jelas tak boleh berdiam diri saat negara lain memasuki wilayah NKRI tanpa izin. Alasan Komando Armada I TNI Angkatan Laut RI, yang mengaku pihaknya belum mendapat laporan mengenai kehadiran enam kapal Tiongkok yang dilihat nelayan di Laut Natuna Utara sangat tak masuk akal, karena satelit kita pasti mempunyai rekaman hasil pantauannya.
Rongrongan kapal Tiongkok di Laut Natuna Utara bukan sekali terjadi. Itu sudah berlangsung sekian lama, dan mulai menguat sejak akhir Agustus 2021. Selain enam kapal yang dilihat nelayan, kapal survei Haiyang Dizhi-10 juga berulang kali terpantau satelit melintas zig-zag di Laut Natuna Utara, dengan dikawal sejumlah kapal penjaga pantai Tiongkok.
Kehadiran kapal perusak Tiongkok di Laut Natuna Utara baru kali ini terjadi. Pemerintah Indonesia perlu dengan tegas mempertanyakan maksud Tiongkok mengirim kapal perusak mereka ke Laut Natuna Utara. Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 secara jelas mengatur bahwa kapal militer suatu negara tidak boleh berpatroli di ZEE negara lain.
Agresivitas Tiongkok di Laut Natuna Utara jelas tak hanya mengancam Indonesia, tapi juga negara Asia Tenggara lainnya. Karena itu, masalah ini juga perlu dibawa ke ASEAN High Council. Mereka perlu membahas langkah yang mesti diambil untuk menghadapi ancaman kekuatan militer Tiongkok yang semakin nyata di sekitar mereka.
Pemerintah Indonesia sendiri sudah seharusnya segera menyatakan sikap kepada Tiongkok untuk tidak mengganggu kedaulatan Indonesia. Pemerintah juga perlu menanyakan kepada pemerintah China, apa maksud mereka mengirim kapal perang ke perairan Indonesia.
Presiden Joko Widodo memang pernah terjun langsung ke perairan Natuna sebagai sinyal kepada Tiongkok, bahwa kedaulatan Indonesia tidak bisa diganggu. Tapi, itu saja tak cukup. Pemerintah perlu menyampaikan nota protes ke Tiongkok.
Harus ada komitmen serius dari pemerintah untuk mengatasi persoalan tersebut, sebab kita tidak bisa main-main dengan masalah kedaulatan negara. Ketakutan nelayan untuk melaut bukti bahwa negara kita terancam. Natuna harus dijaga, sebab di sana terdapat sumber daya alam yang harus dipertahankan demi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Diperlukan perbaikan pertahanan negara di wilayah perairan Natuna yang terus bermasalah sebagai buntut Konflik Laut China Selatan. Tiongkok mengklaim sebagian Laut Natuna Utara sebagai bagian dari wilayah tangkap tradisional mereka. Klaim itu dinyatakan Tiongkok dengan mengumumkan zona sembilan garis putus-putus (nine-dash line).
Sebenarnya, klaim Tiongkok yang dituangkan dalam peta sembilan garis putus-putus, telah digugurkan oleh Pengadilan Arbitrase di Belanda, 12 Juli 2016. Alasannya, klaim Tiongkok tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Namun, Tiongkok mengabaikannya dan terus melanjutkan pembangunan di seluruh wilayah itu. Kita tak boleh membiarkan ini terus terjadi. [AT]
Baca juga: