Sesuai namanya, Raden Saleh dilahirkan dari keluarga bangsawan di Semarang, Jawa Tengah pada 1811 M, putra Sayyid Husin Bin Yahya. Ia meninggal dunia pada 23 April 1880, dan dimakamkan di Tanah Pasundan, di gang sempit Kota Bogor, Jawa Barat.
Makam maestro itu tepatnya berada di Gang Raden Saleh, Jalan Pahlawan, Kelurahan Empang, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. “Raden Saleh bukan orang Sunda. Dia keponakan Bupati Semarang pada masa kolonial Belanda, Raden Sjarif Bustaman,” jelas Candra, juru kunci makam.
Pada 1829 Raden Saleh dikirim ke Belanda oleh pemerintah untuk melukis dan dijadikan pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Sepuluh tahun kemudian, pada 1839 ia meminta agar diberi kesempatan melakukan perjalanan keliling Eropa sebelum kembali ke Indonesia. Dan ia pun menikah dengan Constancia von Manfeldt, seorang wanita bangsawan Eropa, pada 1854, di Semarang,
Raden Saleh dikenal sebagai pelukis Indonesia beretnis Arab-Jawa yang menjadi pionir seni modern Indonesia. Lukisannya merupakan perpaduan romantisme yang sedang populer di Eropa saat itu dengan elemen-elemen yang menunjukkan latar belakang Jawa.
Dia memiliki “chemistry” dan ikatan batin yang kuat dengan tanah Bogor. Daerah ini pada masa silam merupakan lokasi utama Ibu Kota Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran di bawah kepemimpinan maharaja tersohor di dunia, Prabu Siliwangi.
Raden Saleh lama tinggal di Kota Bogor. Bekas rumahnya sekarang menjadi kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor. Tepatnya, itu terletak di Jalan Juanda No 64, Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor.
Saat masih hidup Raden Saleh berwasiat kepada keluarganya jika meninggal dunia agar dimakamkan di pintu gerbang benteng keraton Kerajaan Pakuan Pajajaran, kawasan Empang, Kota Bogor. Berdasar wasiat ini, jenazahnya dikebumikan pada sebidang tanah yang diyakininya sebagai pintu gerbang keraton Kerajaan Pakuan Pajajaran, bersama istri keduanya, Raden Ayu Danoeredjo.
Ketua Bidang Infokom Dewan Adat Sunda Langgeng Wisesa, Ki Ahmad Fahir mengatakan, Raden Saleh Sjarif Bustaman merupakan sosok yang sangat menghormati dan mencintai kearifan lokal. Ia begitu mencintai Kerajaan Pakuan Pajajaran, hingga berwasiat dimakamkan di gerbang benteng keraton warisan Prabu Siliwangi.
“Raden Sjarif Bustaman bukan ningrat Pajajaran, bukan ‘eweu siwi’ Prabu Siliwangi atau berdarah Sunda. Ia bahkan tidak dilahirkan di Tanah Pasundan. Namun sangat mencintai Kerajaan Pakuan Pajajaran,” katanya.
Situs makam Raden Saleh Sjarif Bustaman menambah panjang daftar lokasi dan titik bersejarah di Bogor. Hal ini kian memperkuat status Bogor yang disebutnya “tanah sejuta legenda” di mana setiap jengkalnya terdapat situs bersejarah.
Situs Makam Raden Saleh merupakan salah satu cagar budaya yang harus dilindungi bersama, sebagai warisan cagar budaya dunia. Selain menjadi makam maestro lukis dunia, lokasi peristirahatannya juga sebagai lokasi penting eks gerbang benteng Kerajaan Pakuan Pajajaran. Lahannya hanya ratusan meter dan berada di gang sempit perkampungan padat penduduk.
Ulama besar nasional Rais Am Jamiyah Ahlit Thoriqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyyah, Mualana Habib Luthfi Bin Yahya, bersedia turun gunung melestarikan situs ini. Bahkan, Habib Luthfi yang melakukan revitalisasi dan pemugaran kompleks makam sang maestro lukis dunia.
Saat meresmikan Kanzus Sholawat Cabang Bogor di Pesantren Al-Ghazaly, Kota Bogor pada Senin 25 November 2019, Habib Luthfi mengulas tentang sejarah dan kiprah perjuangan Raden Saleh Sjarif Bustaman. Raden Saleh disebutnya memiliki nasionalisme sangat tinggi dan selalu mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan bangsa.
Menurut Habib Luthfi yang juga Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Jokowi 2019-2024, Raden Saleh merupakan sosok pahlawan nasional yang patut diteladani oleh generasi masa kini. Ia merupakan permata sangat berharga yang dimiliki bangsa Indonesia yang ada di Tanah Bogor sehingga Habib Luthfi berharap semua pihak bisa menjaga dan merawat sejarah itu.
Kini, dengan warisan sejarah besar itu, menjadi tugas bersama pemangku kepentingan untuk menjawab harapan tadi. Dengan demikian, kita dapat membuktikan bahwa Indonesia memang tetap dalam posisi bangsa yang besar adalah yang bisa menghargai pahlawannya. [AT]