Ia bukan orang yang tak berpunya. Namun, garis tangannya membuat dia terlunta-lunta di tanah rantau, sampai harus menjadi pencuri kecil-kecilan: seprai, jaket, sepeda, buku… Kendati begitu, namanya kemudian melambung berkat kepiawaiannya “memasukkan napas baru” ke dalam kata-kata yang ia rangkai menjadi puisi, esai, dan narasi pidato. Wajar bila kemudian tanggal wafatnya, 28 April, dijadikan Hari Puisi Nasional.
Dialah Charil Anwar. Penyair besar berdarah Minang yang lahir dan besar di Medan pada 22 Juli 1922 ini adalah laki-laki satu-satunya dari pasangan Toeloes bin Haji Manan dan Saleha. Toeloes adalah seorang controleur pada masa penjajahan Hindia Belanda, setingkat camat pada masa sekarang.
Di Medan, setelah menamatkan pendidikan dasar di Neutrale Hollands Inlandsche School, Chairil Anwar melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setingkat dengan SLTP.
Namun, hasratnya untuk merantau begitu besar. Baru setahun di MULO, ia pada tahun 1941 merantau ke Batavia. Ia pun melanjutkan pendidikannya di sana. Entah kenapa ia memilih Batavia, bukan bersekolah ke luar negeri seperti kebanyakan orang-orang Sumatera waktu itu, termasuk pamannya yang kelak menjadi Perdana Menteri Indonesia, Sutan Sjahrir.
Di Batavia, Chairil awalnya juga menumpang di rumah Sutan Sjahrir, di Jalan Damrink atau Jalan Latuharhary Nomor 19 sekarang. Ketika itu, Sjahrir baru saja pulang setelah masa pengasingannya oleh pemerintah kolonial Belanda di Sukabumi-Jawa Barat, setelah dibuang ke Banda Neira (Maluku) dan Boven Digoel (Papua).
Di Batavia, dengan mengantungi bekal uang yang lumayan besar dari ayahnya, Chairil langsung membuat jas di penjahit yang terkenal pada masa itu, Djoemala, pemilik Broadway Store di Jalan Kramat Raya. Kelak, Djoemala menjadi bintang film tersohor dan menambahkan gelar “raden” di depan namanya meski bukan seorang priyayi.
Chairil sendiri sempat kesal dengan gaya Djoemala yang berubah setelah menjadi artis. “Heh, dia sekarang mau melagak kepadaku. Biar bagaimanapun juga dia adalah tukang jahitku dulu,” kata Chairil, sebagaimana dikisahkan Sjamsulridwan dalam artikel di Mimbar Indonesia edisi Maret-April 1968, yang bertajuk “Chairil Anwar semendjak Masa Kanak-Kanak”.
Kalau zaman sekarang, Chairil Anwar pada masa itu memang bisa dibilang sebagai pria sosialita, padahal ia baru duduk di bangku kelas 2 MULO. Penampilannya perlente dan suka berpesta dengan kalangan atas. Juga kerap mentraktir para perempuan cantik untuk menonton film atau sandiwara Miss Tjitjih, yang dibintangi S. Roekiah, bintang film yang juga terkenal pada masanya. Malah, Chairil sempat menjalin hubungan yang sangat dekat dengan seorang perempuan berkebangsaan Prancis dan menjadi posesif, sampai-sampai gadis itu tak mau ia perkenalkan kepada seorang temannya yang gagah dan ganteng.
“Aku tidak akan membawa gadis Prancis itu kepadanya,” ujar Chairil kepada Sjamsulridwan.Tapi, gaya hidup yang seperti itu dilakoni Chairil Anwar tak lama. Tentara Pendudukan Jepang masuk ke Tanah Air. Hubungan pos dan telekomunikasi Jawa dengan Sumatera menjadi sangat sulit. Juga keadaan ekonomi pada umumnya. Banyak pelajar dari Sumatera di Jawa dipulangkan ke kampung halamannya oleh Jepang dengan menggunakan kapal, termasuk Asrul Sani dan Sitor Situmorang, yang kelak dikenal sebagai penyair dan insan perfilman terkemuka.
Tapi, Chairil menolak pulang. Ia tetap bertahan di Batavia, meski harus hidup menggelandang karena tak ada kiriman uang dari ayahnya. Kehidupannya pun berubah 180 derajat, sampai-sampai sekolahnya pun terputus, meski ia telah menguasai bahasa Belanda, Inggris, dan Prancis.
Tak ada lagi Chairil yang perlente. Yang ada adalah Chairil yang lusuh, kerap bermata merah karena kurang tidur, sering mencuri kecil-kecilan. Hidupnya dilakoni sebagai “binatang jalang”. Pergaulannya pun lebih banyak di kalangan seniman, dari berbagai bidang. Dan, ia pun kelak menjadi semacam mitos tentang kehidupan seniman: tidak punya pekerjaan tetap, bertingkah menjengkelkan dan seperti orang yang sakit jiwa, tak peduli dengan penampilannya, dan kerap memanjangkan angan-angan.
Namun, ia tetap seorang yang mencintai bahasa, yang kerap kesal dengan penciptaan puisi-puisinya, dan terus gelisah karena ingin menggali kata sampai ke intinya. Pada kartu pos yang ditujukan kepada kritikus H.B. Jassin bertanggal 11 Maret 1944, ia mengatakan, “Kubaca sajak-sajakku semua. Aku kesal, sekesalnya…, jiwaku setiap menit bertukar warna, sehingga tak tahu aku apa…”
Itu juga mungkin yang membuat Chairil Anwar akhirnya berhasil menciptakan puisi-puisi yang cemerlang dan memiliki elan vital, gairah yang menggebu-gebu yang menyiratkan semangat hidup yang tinggi, seperti diakui oleh banyak kritikus sastra. Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang juga penyair terkemuka, Sapardi Djoko Damono, dalam sebuah kesempatan mengatakan, karya-karya Chairil Anwar memiliki nilai yang sangat penting dalam perkembangan puisi modern di Indonesia.
Namun,kata Sapardi juga, banyak yang lupa bahwa sajak-sajak yang ditulis menjelang kematian Cahiril Anwar justru menunjukkan sikap hidup yang matang dan mengendap, meskipun umurnya baru 26 tahun. Chairil wafat di Jakarta pada 28 April 1949, dalam usia 27 tahun, karena serangan kuman TBC. Ia dimakamkan di tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat.
“Kita umumnya lebih suka membayangkan semangat hidup penyair ini seperti yang terungkap dalam sajak-sajaknya ‘Semangat’ dan ‘Kepada Kawan’…” tulis Sapardi pada penutup buku Aku Ini Binatang Jalang (1996).Sapardi juga menilai, benih kematangan perenungan pada puisi-puisi Chairil Anwar sebenarnya itu sudah terlihat sejak dini. “Bahkan pada sajak ‘Nisan’, yang ditulis pada awal kegiatannya sebagai penyair. Perbedaan antara ‘Nisan’ dan ‘Derai-Derai Cemara’ mengungkapkan perubahan yang mendasar: dalam sajak yang ditulisnya tahun 1942 itu rahasia kehidupan diungkapkan dengan teknik yang belum dikuasai sehingga cenderung gelap, sedangkan sajak yang disusun menjelang kematiannya itu menunjukkan teknik persajakan yang sepenuhnya telah dikuasai sehingga terasa jernih,” ungkap Sapardi.
Inilah sajak “Derai-Derai Cemara” itu.
cemara menderai sampai jauh,
terasa hari jadi akan malam,
ada beberapa dahan di tingkap merapuh,
dipukul angin yang terpendam.
aku sekarang orangnya bisa tahan,
sudah berapa waktu bukan kanak lagi,
tapi dulu memang ada suatu bahan,
yang bukan dasar perhitungan kini.
hidup hanya menunda kekalahan,
tambah terasing dari cinta sekolah rendah,
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan,
sebelum pada akhirnya kita menyerah.
Menurut Sapardi, sajak itu merupakan semacam kesimpulan yang diutarakan dengan sikap yang sudah mengendap, yang sepenuhnya menerima proses perubahan dalam diri manusia yang memisahkannya dari gejolak masa lampau. “Pengutaraan sajak ini pun tertib dan tenang: masing-masing bait terdiri dari empat larik yang sepenuhnya mempergunakan rima a-b-a-b. Citraan alam yang dipergunakan Chairil Anwar pun menampilkan ketenangan itu: suara deraian cemara sampai di kejauhan yang menyebabkan hari terasa akan menjadi malam, dan dahan yang di tingkap merapuh itu pun ‘dipukul angin yang terpendam’. Dalam keseluruhan sajak ini, kata ‘dipukul’ jelas merupakan kata yang paling ‘keras’ — mengungkapkan masih adanya sesuatu di dalam yang ‘terpendam’, yang memukul-mukul dahan yang ‘merapuh’. Si aku lirik dalam sajak ini pun menyadari sepenuhnya bahwa hari belum malam, namun terasa ‘jadi akan malam’,” tulis Sapardi. Suasana yang mengendap dan pikiran yang tertib dalam sajak “Derai-Derai Cemara”, lanjut Sapardi, sama sekali berlainan dengan semangat yang teraduk dalam, misalnya, ”Diponegoro” dan “Aku”.
Karena sajak “Aku” itu juga, Chairil dianggap sebagai sosok penyair individualistis. Padahal, kalau dibaca sajak sadurannya yang diberi tajuk “Krawang-Bekasi”, misalnya, kita melihat kepeduliannya terhadap persoalan bangsa dan negara. “Sajak saduran ini ditulis tahun 1948, ketika kita semua berada dalam kesulitan dan kebanyakan pemimpin bangsa menghadapi bahaya. Tahun demi tahun keadaan politik pun bergeser, dan 15 tahun setelah ditulis, dua larik ‘Menjaga Bung Hatta/Menjaga Bung Sjahrir’ itu tidak jarang dihapus dalam pembacaan puisi. Demikianlah, ‘binatang jalang’ yang dahulu hidupnya bohemian itu menjadi tokoh yang diperhitungkan dalam percaturan politik, suatu kenyataan yang tentunya ia sendiri pun tidak menduganya. Perhatiannya terhadap perjuangan bangsanyalah yang telah mendorongnya menyusun sajak saduran itu, dan bukan kecenderungan untuk memihak kelompok politik tertentu,” kata Sapardi. Dorongan itu pulalah, tambahnya, yang telah menghasilkan sajak yang sama sekali tidak mencerminkan sikap individualistis dan jalang, seperti sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”. [PUR]
* Tulisan ini pertama dimuat 29 April 2017