Sapardi juga menilai, benih kematangan perenungan pada puisi-puisi Chairil Anwar sebenarnya itu sudah terlihat sejak dini. “Bahkan pada sajak ‘Nisan’, yang ditulis pada awal kegiatannya sebagai penyair. Perbedaan antara ‘Nisan’ dan ‘Derai-Derai Cemara’ mengungkapkan perubahan yang mendasar: dalam sajak yang ditulisnya tahun 1942 itu rahasia kehidupan diungkapkan dengan teknik yang belum dikuasai sehingga cenderung gelap, sedangkan sajak yang disusun menjelang kematiannya itu menunjukkan teknik persajakan yang sepenuhnya telah dikuasai sehingga terasa jernih,” ungkap Sapardi.

Inilah sajak “Derai-Derai Cemara” itu.

cemara menderai sampai jauh,
terasa hari jadi akan malam,
ada beberapa dahan di tingkap merapuh,
dipukul angin yang terpendam.

aku sekarang orangnya bisa tahan,
sudah berapa waktu bukan kanak lagi,
tapi dulu memang ada suatu bahan,
yang bukan dasar perhitungan kini.
 
hidup hanya menunda kekalahan,
tambah terasing dari cinta sekolah rendah,
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan,
sebelum pada akhirnya kita menyerah.

Menurut Sapardi, sajak itu merupakan semacam kesimpulan yang diutarakan dengan sikap yang sudah mengendap, yang sepenuhnya menerima proses perubahan dalam diri manusia yang memisahkannya dari gejolak masa lampau. “Pengutaraan sajak ini pun tertib dan tenang: masing-masing bait terdiri dari empat larik yang sepenuhnya mempergunakan rima a-b-a-b. Citraan alam yang dipergunakan Chairil Anwar pun menampilkan ketenangan itu: suara deraian cemara sampai di kejauhan yang menyebabkan hari terasa akan menjadi malam, dan dahan yang di tingkap merapuh itu pun ‘dipukul angin yang terpendam’. Dalam keseluruhan sajak ini, kata ‘dipukul’ jelas merupakan kata yang paling ‘keras’ — mengungkapkan masih adanya sesuatu di dalam yang ‘terpendam’, yang memukul-mukul dahan yang ‘merapuh’. Si aku lirik dalam sajak ini pun menyadari sepenuhnya bahwa hari belum malam, namun terasa ‘jadi akan malam’,” tulis Sapardi. Suasana yang mengendap dan pikiran yang tertib dalam sajak “Derai-Derai Cemara”, lanjut Sapardi, sama sekali berlainan dengan semangat yang teraduk dalam, misalnya, ”Diponegoro” dan “Aku”.

Karena sajak “Aku” itu juga, Chairil dianggap sebagai sosok penyair individualistis. Padahal, kalau dibaca sajak sadurannya yang diberi tajuk “Krawang-Bekasi”, misalnya, kita melihat kepeduliannya terhadap persoalan bangsa dan negara. “Sajak saduran ini ditulis tahun 1948, ketika kita semua berada dalam kesulitan dan kebanyakan pemimpin bangsa menghadapi bahaya. Tahun demi tahun keadaan politik pun bergeser, dan 15 tahun setelah ditulis, dua larik ‘Menjaga Bung Hatta/Menjaga Bung Sjahrir’ itu tidak jarang dihapus dalam pembacaan puisi. Demikianlah, ‘binatang jalang’ yang dahulu hidupnya bohemian itu menjadi tokoh yang diperhitungkan dalam percaturan politik, suatu kenyataan yang tentunya ia sendiri pun tidak menduganya. Perhatiannya terhadap perjuangan bangsanyalah yang telah mendorongnya menyusun sajak saduran itu, dan bukan kecenderungan untuk memihak kelompok politik tertentu,” kata Sapardi. Dorongan itu pulalah, tambahnya, yang telah menghasilkan sajak yang sama sekali tidak mencerminkan sikap individualistis dan jalang, seperti sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”. [PUR]

* Tulisan ini pertama dimuat 29 April 2017