Tapi, gaya hidup yang seperti itu dilakoni Chairil Anwar tak lama. Tentara Pendudukan Jepang masuk ke Tanah Air. Hubungan pos dan telekomunikasi Jawa dengan Sumatera menjadi sangat sulit. Juga keadaan ekonomi pada umumnya. Banyak pelajar dari Sumatera di Jawa dipulangkan ke kampung halamannya oleh Jepang dengan menggunakan kapal, termasuk Asrul Sani dan Sitor Situmorang, yang kelak dikenal sebagai penyair dan insan perfilman terkemuka.
Tapi, Chairil menolak pulang. Ia tetap bertahan di Batavia, meski harus hidup menggelandang karena tak ada kiriman uang dari ayahnya. Kehidupannya pun berubah 180 derajat, sampai-sampai sekolahnya pun terputus, meski ia telah menguasai bahasa Belanda, Inggris, dan Prancis.
Tak ada lagi Chairil yang perlente. Yang ada adalah Chairil yang lusuh, kerap bermata merah karena kurang tidur, sering mencuri kecil-kecilan. Hidupnya dilakoni sebagai “binatang jalang”. Pergaulannya pun lebih banyak di kalangan seniman, dari berbagai bidang. Dan, ia pun kelak menjadi semacam mitos tentang kehidupan seniman: tidak punya pekerjaan tetap, bertingkah menjengkelkan dan seperti orang yang sakit jiwa, tak peduli dengan penampilannya, dan kerap memanjangkan angan-angan.
Namun, ia tetap seorang yang mencintai bahasa, yang kerap kesal dengan penciptaan puisi-puisinya, dan terus gelisah karena ingin menggali kata sampai ke intinya. Pada kartu pos yang ditujukan kepada kritikus H.B. Jassin bertanggal 11 Maret 1944, ia mengatakan, “Kubaca sajak-sajakku semua. Aku kesal, sekesalnya…, jiwaku setiap menit bertukar warna, sehingga tak tahu aku apa…”
Itu juga mungkin yang membuat Chairil Anwar akhirnya berhasil menciptakan puisi-puisi yang cemerlang dan memiliki elan vital, gairah yang menggebu-gebu yang menyiratkan semangat hidup yang tinggi, seperti diakui oleh banyak kritikus sastra. Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang juga penyair terkemuka, Sapardi Djoko Damono, dalam sebuah kesempatan mengatakan, karya-karya Chairil Anwar memiliki nilai yang sangat penting dalam perkembangan puisi modern di Indonesia.
Namun,kata Sapardi juga, banyak yang lupa bahwa sajak-sajak yang ditulis menjelang kematian Cahiril Anwar justru menunjukkan sikap hidup yang matang dan mengendap, meskipun umurnya baru 26 tahun. Chairil wafat di Jakarta pada 28 April 1949, dalam usia 27 tahun, karena serangan kuman TBC. Ia dimakamkan di tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat.
“Kita umumnya lebih suka membayangkan semangat hidup penyair ini seperti yang terungkap dalam sajak-sajaknya ‘Semangat’ dan ‘Kepada Kawan’…” tulis Sapardi pada penutup buku Aku Ini Binatang Jalang (1996).