Koran Sulindo – Sejumlah pilot Boeing menyatakan menemukan permasalahan ketika melakukan uji terbang Boeing 737 MAX-8 jauh sebelum pesawat itu dioperasikan Lion Air dan jatuh di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat, bulan lalu.
Untuk mengurangi masalah tersebut, Boeing memperkenalkan sistem baru untuk kontrol penerbangan, sebuah sistem yang disebut Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS), namun tidak memberitahu para pilot dan maskapai yang menggunakannya.
“Saya tidak menyadari bahwa MCAS telah dipasang dan tidak pernah diinstruksikan tentang cara menggunakannya,” kata seorang pilot, yang berpengalaman 200 jam terbang dengan MAX-8, dan sekarang masih menjadi pilot sebuah maskapai, seperti dikutip Aviation Week.
Laporan Aviation Week itu juga menyatakan MCAS itulah yang menjadi pusat penyelidikan kecelakaan Lion Air JT 610 yang jatuh di Laut Jawa, dan menewaskan semua penumpang dan awaknya di dalamnya.
Pesawat baru itu ternyata sulit ditangani ketika kecepatannya turun ke titik yang memicu bahaya kegagalan aerodinamis dan pilot kehilangan kontrol.
Demikianlah yang terjadi dengan pilot Lion Air yang jatuh itu.
Masalah-masalah yang terungkap dalam penerbangan uji muncul dari adopsi mesin baru untuk seri MAX 737, yang lebih besar, lebih berat dan lebih kuat daripada model jet sebelumnya.
Menempatkan mesin baru ini ke sayap 737 yang didesain pada 1960-an adalah masalah baru bagi para insinyur Boeing, apalagi pesawat dan landing gear tetap tidak berubah selama beberapa dekade.
Pesawat 737 lebih rendah dibanding jet Boeing lainnya karena para perancangnya menginginkan bagasi dan kargo bisa dinaikkan tanpa bantuan mesin kargo. Pesawat memang didesain untuk membawa layanan jet untuk pertama kalinya ke bandara-bandara kecil, yang nayoritas tak mempunyai fasilitas mesin kargo.
Inovasi yang ternyata sia-sia dan segera kehilangan fungsinya, karena banyak bandara kecil kini telah mengoperasikan mesin kargo. Tapi Boeing 737 sudah mencetak sejarah sebagai pesawat jet lorong-tunggal terlaris dalam sejarah Boeing.
Ukuran mesin MAX, dibuat oleh General Electric dan perusahaan Prancis, Safran, khususnya diameter bilah kipas besar di bagian depan, hampir 70 inci, dibandingkan dengan 61 inci pada mesin yang lebih tua, dan mereka memiliki berat 849 pound lebih. Untuk memasang mesin baru dan masih mendapatkan jarak aman dengan permukaan tanah, Boeing memperpanjang roda hidung sebesar 9,5 inci dan yang terpenting, harus memindahkan mesin, di dalam nacelles menggembung, lebih jauh ke depan dari sayap.
Perubahan dalam karakteristik penanganan kecepatan rendah 737 dihasilkan dari pergeseran bobot mesin ini, serta efek dari peningkatan daya. Biasanya pengaturan aerodinamis diindikasikan dengan “tongkat goyang” – joystick, yang mulai bergetar dan pilot dilatih untuk secara naluri meningkatkan kecepatan dan mendorong hidung ke bawah untuk memulihkan stabilitas.
Sebagai hasil dari penerbangan uji coba, Boeing memutuskan pesawat itu dapat mengatasinya melalui sistem manajemen penerbangan otomatis tadi, dengan cara memindahkan penstabil horizontal untuk menekan hidung.
Yang tak diantispasi adalah ada kemungkinan pesan yang salah dari sistem lain, misalnya sensor angle of attack (nada dari sayap), dapat memulai tindakan oleh MCAS, yang tidak diketahui oleh pilot.
Banyak detil dari sistem otomasi jet modern yang terkubur dalam arsitektur yang tidak perlu dipahami atau diketahui oleh pilot-pilot baru. Dan Boieng tidak memberitahu mereka ada permasalahan pada pesawat jet yang mereka kendarai. [DAS]