Koran Sulindo – Kebijakan pemerintah mengimpor sejumlah kebutuhan pokok dinilai membuat petani frustasi. Pasalnya, kebijakan impor kebutuhan pangan itu dianggap tidak mendukung program swasembada pangan sebagaimana yang dicita-citakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagyo, misalnya, mengaku kesal atas tindakan pemerintah tersebut. Ia karena itu menjadi kesal karena pada saat bersamaan Kementerian Pertanian berupaya menjaga kualitas produk pertanian kita sehingga tentu saja mampu bersaing dengan produk luar negeri.
“Tapi, di sisi lain saya menyayangkan lintas kementerian tidak mendukung Kementerian Pertanian, malah terus-terusan impor yang membuat petani frustasi,” kata Firman dalam keterangan resminya pada Minggu (1/4).
Dikatakan Firman, kebutuhan pangan adalah masalah dasar dan merupakan bagian hidup petani. Akan tetapi, pemerintah sama sekali tidak menanggapi masalah mendasar itu dan cenderung mengabaikannya. Mengutip data resmi PBB, Firman mengatakan, kenaikan jumlah penduduk dunia pada 2050 diperkirakan mencapai 9,6 miliar jiwa.
Tentu saja Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat populasi terbanyak di dunia sehingga menghadapi tantangan berat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok dan energi. Firman karena itu mengingatkan pemerintah agar memerhatikan serta mendorong pertanian lokal untuk maju sehingga mampu bersaing.
“Tantangannya adalah meningkatkan kebutuhan bahan pangan pokok agar bisa dilirik oleh negara lain. Dengan demikian kita tidak terlalu tergantung kepada impor,” kata Firman.
Kebijakan impor untuk kebutuhan pangan selama dua tahun terakhir mendapat kritikan keras dari publik. Kinerja impor Kementerian Perdagangan di bawah Enggartiasto Lukita dinilai untuk kepentingan tertentu. Peningkatan impor nonmigas dari US$ 116,93 miliar pada 2016 meningkat menjadi US$ 132,60 miliar atau naik sekitar 13%.
Beberapa kebijakan impor Enggar selaku Menteri Perdagangan yang menuai kontroversi adalah impor daging kerbau asal India sejumlah sekitar 51,7 ribu ton antara April 2017 hingga Desember 2017. Kebijakan mendapat protes karena menekan harga ternak lokal. Kemudian, Enggar juga mengeluarkan kebijakan impor garam pada Juli 2017 sebanyak 75 ribu ton. Impor ini disebut karena kelangkaan garam konsumsi di pasaran.
Selanjutnya, kebijakan impor beras khusus sebanyak 500 ribu ton yang dilakukan pada awal tahun ini. Kebijakan ini tentu saja menuai protes karena importasi dilakukan pada saat petani lokal melakukan panen raya. Juga karena Kementerian Pertanian menyebutkan Indonesia mampu berswasembada beras pada 2016.
Kebijakan impor lainnya yang menuai kritik adalah izin impor jagung sekitar 172 ribu ton. Kementerian Pertanian protes karena importasi dilakukan menjelang panen raya jagung. [KRG]