Kebijakan Gunting Syafruddin: Langkah Berani di Tengah Krisis Ekonomi Indonesia Tahun 1950

Contoh uang pada masa kebijakan Syafruddin (sumber: informasibelajar.com)

Koran Sulindo – Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, salah satu kebijakan ekonomi yang paling bersejarah dan kontroversial adalah Gunting Syafruddin. Kebijakan ini diambil oleh Syafruddin Prawiranegara saat menjabat sebagai Menteri Keuangan pada Kabinet Hatta II.

Kebijakan tersebut dikeluarkan sebagai respons terhadap tantangan ekonomi yang dihadapi Indonesia setelah dua agresi militer Belanda pada 1947 dan 1949, yang memperburuk kondisi ekonomi nasional dan menyebabkan defisit anggaran negara mencapai 5,1 miliar rupiah.

Latar Belakang Gunting Syafruddin

Dilansir dari berbagai sumber, pasca-agresi militer Belanda kondisi perekonomian Indonesia saat itu dalam keadaan terpuruk. Salah satu penyebab utamanya adalah ketidakseimbangan antara jumlah uang yang beredar dengan jumlah barang yang ada.

Dengan uang yang beredar begitu banyak dan produksi barang yang belum mampu memenuhi permintaan, inflasi menjadi ancaman serius.

Syafruddin Prawiranegara, melalui kebijakan moneter ini, berupaya untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menyeimbangkan kembali perekonomian. Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan RIS Nomor PU I, pada 20 Maret 1950 pukul 20.00 WIB, kebijakan ini mulai diberlakukan dan mengejutkan banyak pihak karena dampaknya yang begitu luas.

Apa Itu Kebijakan Gunting Syafruddin?

Gunting Syafruddin tidak hanya mengurangi nilai uang secara drastis, tetapi juga secara harfiah “memotong” uang kertas menjadi dua bagian. Kebijakan ini diterapkan pada mata uang NICA (Netherlands Indies Civil Administration) dan uang terbitan “de Javasche Bank” dengan nominal 5 gulden ke atas.

Potongan uang dibagi menjadi dua: bagian kiri tetap dapat digunakan sebagai alat pembayaran yang sah, sedangkan bagian kanan ditukar dengan obligasi negara.

Obligasi yang diterima sebagai pengganti bagian kanan uang ini bernilai setengah dari nominal aslinya. Misalnya, uang kertas 5 gulden yang dipotong akan memberikan obligasi senilai 2,5 gulden.

Obligasi tersebut dijanjikan akan dibayar oleh negara dalam jangka waktu 30 tahun dengan bunga sebesar 3 persen per tahun. Pada periode 22 Maret hingga 16 April 1950, masyarakat diwajibkan menukarkan bagian kiri uang kertas dengan uang baru di bank-bank atau tempat penukaran yang ditunjuk.

Setelah melewati batas waktu tersebut, bagian kiri uang yang tidak ditukar tidak lagi berlaku sebagai alat pembayaran.

Dampak Kebijakan Terhadap Masyarakat

Kebijakan ini secara khusus menargetkan masyarakat kelas menengah ke atas, karena mereka yang memiliki uang pecahan 5 gulden ke atas adalah golongan ini. Rakyat kecil yang jarang memegang uang dalam nominal besar, relatif tidak terdampak oleh kebijakan tersebut.

Selain itu, kebijakan ini bertujuan untuk mengontrol jumlah uang yang beredar, sehingga diharapkan dapat menstabilkan harga-harga barang dan menekan inflasi.

Ki Agus Ahmad Badaruddin, seorang mantan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan, menyatakan bahwa kebijakan ini juga menyasar pada penggantian mata uang lama dengan mata uang baru, guna memberikan stabilitas dan kepercayaan pada sistem moneter Indonesia yang sedang berkembang.

Tujuan dan Relevansi Gunting Syafruddin

Kebijakan Gunting Syafruddin bertujuan untuk menyeimbangkan jumlah uang beredar dengan jumlah barang di pasar, mengurangi potensi inflasi, serta mengatur kembali sistem moneter negara yang baru saja merdeka.

Dengan memangkas nilai uang dan menukarkannya dengan obligasi, pemerintah mencoba mengurangi tekanan defisit anggaran yang mengganggu kestabilan ekonomi. Selain itu, kebijakan ini juga merupakan langkah untuk memperkenalkan dan menguatkan mata uang baru Indonesia pasca penjajahan Belanda.

Gunting Syafruddin menjadi salah satu tonggak sejarah kebijakan ekonomi Indonesia yang menunjukkan upaya keras pemerintah dalam menanggulangi krisis ekonomi di era awal kemerdekaan.

Meski mengejutkan dan menimbulkan kontroversi, kebijakan ini memiliki tujuan strategis untuk menyeimbangkan ekonomi negara dan menekan inflasi. Kebijakan ini juga menjadi bukti keberanian Syafruddin Prawiranegara dalam menghadapi tantangan ekonomi yang sulit demi memulihkan perekonomian Indonesia pasca agresi militer dan menjaga stabilitas moneter di masa depan. [UN]