Koran Sulindo – Ketika warga Indonesia ramai membahas kostum presiden pada sidang tahunan MPR/DPR RI 2021, yuk kita bahas mengenai suku pemilik kostum tersebut.
Kita masih sering loh melihat warga Suku Baduy (Suku Badui) melintas di pinggir jalan, tanpa alas kaki, mengenakan baju kain sederhana berwarna hitam atau putih, berikut ikat kepala biru. Kalau ditanya mau kemana, mereka pasti menjawab hendak menjual madu atau mengunjungi saudara di kota.
Orang Baduy menyebut diri mereka Urang Kanekes atau Orang Kanekes. Sedangkan kata ‘baduy’ merupakan sebutan dari peneliti Belanda, mengacu pada kesamaan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang gemar berpindah-pindah.
Suku ini tinggal di kawasan Cagar Budaya Pegunungan Kendeng pada lahan seluas 5.101,85 hektare di kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Permukiman mereka berjarak sekitar 40 km dari Rangkasbitung, pusat kota di Lebak, Banten.
Urang Kanekes atau suku Baduy merupakan suku asli Sunda Banten. Ada tiga lapis suku pada budaya Baduy yakni Baduy Dangka, Baduy Luar, dan Baduy Dalam. Warga Baduy Dangka sudah tinggal di luar tanah adat. Mereka sudah tidak lagi terikat oleh aturan atau kepercayaan animisme Sunda Wiwitan yang dianut masyarakat Suku Baduy. Mereka juga sudah mengenyam pendidikan dan paham teknologi.
Lalu warga Baduy Luar yang tinggal di dalam tanah adat. Mereka masih menjunjung kepercayaan Sunda Wiwitan. Di tengah kehidupan yang masih tradisional, mereka sudah melek pendidikan dan teknologi. Ciri khas mereka terlihat dari pakaian serba hitam dan ikat kepala biru.
Yang terakhir merupakan warga Baduy Dalam atau Baduy Jero. Mereka bermukim di pelosok tanah adat. Pakaian mereka serba putih. Kepercayaan Sunda Wiwitan mereka pun masih kental. Warga di sini juga dianggap memiliki kedekatan dengan leluhur. Mereka tidak mengenyam pendidikan, tidak melek teknologi, bahkan tidak beralas kaki, karena hidup apa adanya dirasa sebagai cara untuk tetap dekat dengan Yang Maha Esa.
Baca Juga Go Tik Swan: Legenda Budaya Jawa
Sistem Pemerintahan
Suku Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat.
Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, warga dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat tertinggi, yaitu pu’un.
Jabatan pu’un berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan pu’un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Sebagai tanda kepatuhan kepada penguasa, Suku Baduy secara rutin melaksanakan tradisi Seba ke Kesultanan Banten. Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa penghantaran hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur, melalui Bupati.
Baca Juga Limpa yang Besar Membuat Suku Bajau Kuat Menyelam di Laut Dalam
Bahasa
Penduduk Asli yang hidup di Provinsi Banten berbicara menggunakan dialek yang merupakan turunan dari bahasa Sunda Kuno. Dialek tersebut dikelompokkan sebagai bahasa kasar dalam bahasa Sunda modern, yang memiliki beberapa tingkatan dari tingkat halus sampai tingkat kasar (informal), yang awalnya tercipta pada masa Kesultanan Mataram menguasai Priangan (bagian tenggara Provinsi Jawa Barat).
Kepercayaan
Menurut kepercayaan yang mereka anut, Suku Baduy mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama.
Adam dan keturunannya, termasuk Suku Baduy, mempunyai tugas bertapa demi menjaga harmoni dunia. Oleh sebab itu Suku Baduy sangat menjaga kelestarian lingkungannya dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta. Tidak ada eksploitasi air dan tanah yang berlebihan bagi mereka. Cukup adalah batasannya.
Objek kepercayaan terpenting bagi Suku Baduy adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Suku Baduy mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima. Hanya pu’un (ketua adat tertinggi) dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang boleh mengikuti rombongan pemujaan tersebut.
Dalam kebersahajaanya Suku Baduy mampu menjaga tata adat istiadat mereka. Bukankah ini bisa dijadikan contoh pertahanan budaya yang seharusnya bisa dilakukan secara luas bagi masyarakat Indonesia pada umumnya? [Nora E]