Koran Sulindo – Tingkat kebebasan pers di Indonesia kembali menjadi sorotan internasional. Pasalnya, Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Runtung Sitepu membubarkan dan membredel sebuah tulisan yang dimuat oleh Suarausu.co. Tulisan fiksi tersebut mengangkat kisah diskriminasi terhadap kelompok LGBTI.
Sikap Runtung Sitepu itu lantas menuai kecaman dari berbagai pihak, terutama mahasiswa USU dan termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang merupakan anggota International of Federation Journalist (IFJ). Mereka mengecam sikap Runtung karena membatasi kebebasan berekspresi dan pers.
Mulanya kasus ini muncul setelah Suarausu.co menerbitkan sebuah tulisan fiksi pada 12 Maret lalu yang menyoroti diskriminasi terhadap kaum LGBTI. Sepekan setelahnya, tulisan itu dibagikan lewat media sosial secara luas. Keesokannya, Runtung Sitepu meminta pertemuan dengan pengurus redaksi Suarausu.co.
Dalam pertemuan itu, Runtung Sitepu meminta pengurus redaksi untuk mencabut tulisan yang memuat kisah diskriminasi kaum LGBTI itu. Juga melarang untuk menerbitkan tulisan-tulisan dengan isi yang serupa. Runtung justru menginginkan agar redaksi Suarausu.co mengangkat kisah-kisah prestasi mahasiswa ketimbang acap mengkritik kampus.
Pertemuan selanjutnya dilakukan pada 25 Maret 2019. Namun, sehari sebelumnya pihak pimpinan USU melarang redaksi dan pengurus Suarausu.co membawa telepon pintar mereka. Seperti sebelumnya, pihak rektorat kembali menegaskan untuk mencabut tulisan yang mengangkat isu LGBTI dan pornografi.
Pada akhir pertemuan, Runtung Sitepu mengatakan, pihaknya telah memutuskan untuk membubarkan pers mahasiswa Suarausu.co. Ia memerintahkan agar ruangan yang dipakai Suarausu.co sebagai kantor redaksinya untuk dikosongkan pada 28 Maret 2019. Runtung memastikan akan memilih tim redaksi Suarausu.co yang sesuai dengan arahannya.
Suarausu.co merupakan lembaga pers mahasiswa USU yang telah berdiri sejak 1995. Dan lembaga ini menjadi satu-satunya lembaga pers di kampus USU. AJI lantas mengecam sikap Runtung itu. Mengutip salah satu pasal dalam UU Pendidikan Tinggi, AJI menyebutkan mengelola universitas harus dilakukan secara demokratis dan tidak diskriminasi serta menghargai hak asasi manusia.
“Rektor harus menghentikan intervensi dan memastikan intimidasi serupa tidak akan terjadi lagi di masa mendatang,” tulis AJI dalam keterangan resminya. Sedangkan IFJ mengingatkan lembaga pers mahasiswa memiliki peran penting dalam pengembangan jurnalisme di masa mendatang. Dan dalam sejarah negeri ini, mahasiswa punya peran dalam menumbangkan rezim fasis militer Soeharto pada 1998.
Karena itu, IFJ bersama AJI ikut mengecam tindakan rektor USU dan mendesak agar USU melindungi kebebasan berpendapat, proses demokrasi dan keragaman pemikiran.
Indeks Kebebasan Pers
Reporters Without Borders lembaga yang mengamati tingkat kebebasan pers di suatu negara pernah merilis Indeks Kebebasan Pers Indonesia 2018 yang berada di posisi 124 dari 180 negara. Salah satu alasan lembaga ini menempatkan Indeks Kebebasan Pers di Indonesia dengan posisi tersebut karena Presiden Joko Widodo tidak menepati janji kampanyenya.
Masa kepemimpinannya ditandai dengan banyak pelanggaran kebebasan pers yang serius, terutama membatasi akses media ke Papua dan Papua Barat. Di kedua provinsi itu, tingkat kekerasan terhadap wartawan terus meningkat. Wartawan asing bahkan bisa ditangkap apabila ketahuan mendokumentasikan pelanggaran tentara terhadap warga Papua.
Kemudian, di samping UU Informasi Transaksi Elektronik, pemerintah dan DPR juga sedang membahas aturan yang termuat dalam Rancangan KUHP yang setidaknya memuat sekitar 16 beleid dan mengancam kebebasan pers serta kebebasan berekspresi masyarakat. Salah satunya tentang membocorkan rahasia negara. Melalui aturan demikian, maka para wartawan rentan masuk penjara karena pasal karet itu.
Wartawan bisa dijerat secara hukum jika memberitakan informasi atau dokumen yang dianggap sebagai rahasia negara. Padahal dalam rangka kerja jurnalistik, memberitakan dokumen tersebut agar informasi yang diberitakan itu akurat dan mendekati kebenaran. [KRG]