Yuk Budayakan Berkebaya Sebagai ‘Fashion’ (Dulu dan Kini)

(foto: Wastra Indonesia)

Suluh Indonesia – Kebaya merupakan salah satu jenis blus dengan ciri khusus pada bagian kerah dengan bagian belakang yang berdiri. Ada pula belahan untuk membuka dan menutup di bagian depan.

Nama kebaya sebagai pakaian tertentu telah dicatat oleh Portugis saat mendarat di Indonesia. Kebaya dikaitkan dengan jenis blus yang dikenakan oleh wanita Indonesia di abad ke-15 atau 16. Sebelum tahun 1600, kebaya di pulau Jawa dianggap sebagai pakaian khusus yang hanya untuk dikenakan oleh keluarga kerajaan, bangsawan dan priyayi.

Kemudian, kebaya juga diadopsi oleh masyarakat umum, khususnya para petani wanita di Jawa. Hingga hari ini di desa-desa pertanian di Jawa, para petani wanita masih menggunakan kebaya sederhana, khususnya di kalangan wanita tua. Kebaya sehari-hari yang dikenakan oleh petani terbuat dari bahan sederhana dan dikancingkan dengan jarum sederhana atau peniti.

Kebaya perlahan-lahan menyebar ke daerah-daerah tetangga melalui perdagangan, diplomasi, dan interaksi sosial ke Malaka, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kesultanan Sulu dam Mindanao.

Baca juga Perjalanan Panjang Kebaya

Kebaya Jawa seperti yang ada sekarang telah dicatat oleh Thomas Stamford Bingley Raffles  pada tahun 1819, sebagai sutra, brokat dan beludru, dengan pembukaan pusat dari blus diikat oleh bros, bukan tombol dan tombol-lubang di atas batang tubuh bungkus kemben, kainnya — pembungkus tanpa jahitan yang panjangnya beberapa meter, yang dijahit untuk membentuk tabung, seperti pakaian Barat.

Bukti fotografi paling awal tentang kebaya yang dikenal saat ini berasal dari tahun 1857 yang bergaya Jawa,  Peranakan dan Oriental. Lalu pada kuartal terakhir abad ke-19, kebaya telah diadopsi sebagai busana yang disukai wanita di Hindia Belanda yang beriklim tropis, baik dikenakan oleh pribumi Jawa, kolonial Europa dan orang Indo serta Tionghoa Peranakan.

Gadis-gadis Peranakan Berkebaya (foto: elink.io)

Rens Heringa dalam tulisan “Batik Pasisir as Mestizo Costume” mengajukan teori bahwa kebaya berasal dari kata cambay, yang mengacu pada kota Cambay di India. Mereka memakai baju berupa blus longgar dengan bukaan depan. Laki-laki dan perempuan memakainya. Orang Persia juga menyebut baju tersebut dengan nama cabay.

Namun Heringa juga mengajukan satu teori lagi, yaitu kebaya adalah modifikasi baju bei-zi dari Cina. Baju bei-zi berupa baju longgar dengan lengan panjang berbuka depan. Baju ini dipakai perempuan Cina dari kalangan sosial bawah pada masa Dinasti Ming (abad ke-15 – 17). Namun, bei-zi populer juga di dinasti sebelumnya, yaitu Dinasti Song (960-1279). Dikatakan, perempuan pada era Majapahit telah memakai baju atasan mirip bei-zi ini. Hanya saja lebih simpel dan tipis daripada aslinya, karena iklim tropis mempengaruhi perubahan gaya pakaian.

Busana masyarakat Jawa (mungkin nusantara), pada abad ke-15 digambarkan di buku Tomes Pires. Jauh sebelum itu bisa dilihat di relief candi, yaitu terbuka bagian atas. Tubuh hanya dibalut dengan secarik kain (batik). Jadi bisa dikatakan bahwa pada masa pra Islam, seperti itulah pakaian orang Indonesia pada umumnya. Tak menampik, ada daerah lain yang berbeda. Sekali lagi, karena demikianlah Indonesia dengan ragam budayanya.

Baca juga Inilah Batik!

Menurut akademisi tata busana, Suciati, kebaya memiliki pangkal lengan lurus dan harus lengan panjang. Siluet samping berkurva sampai sepanggul atau pertengahan antara panggul dan lutut yang bernama kebaya panjang.

Kebaya merujuk salah satu jenis garmen blus. Pada bagian bawah memakai kain tradisional Indonesia. Selebihnya ada pula pemakaian sanggul, penataan rambut yang ditekuk, selendang, selop, ‘longtorso’, dan ‘hand bag’,” kata Suciati.

Suciati juga menyebut terdapat beberapa jalur kebaya. Sebut saja Kebaya Adat, dengan struktur tata busana yang dipakai untuk acara adat ditiap daerah dengan detail khusus yang merujuk pada daerah tersebut. Lalu ada Kebaya Etnik Nusantara, kebaya sehari-hari dengan beragam model. Intinya pada detail model kerah depan, panjang pendek atau panjangnya tergantung ciri dari daerah mana. Ada pula Kebaya Nasional dengan pakem secara nasional dan Kebaya Kontemporer yang padu padan tidak lagi mengikuti standar kebaya klasik. Pemakaian kebaya kontemporer biasanya dilengkapi dengan aksesori tertentu.

Jika kebaya etnik lebih merujuk pada aturan daerahnya masing-masing, sedangkan kontemporer bukan lagi busana tradisi tetapi lebih ke fashion, dan sudah bukan lagi berdasarkan aturan baku atau pakem.

Melestarikan Kebaya Sebagai Budaya Bangsa

Dengan berkebaya kita menampilkan keunikan sebagai bangsa. Berkebaya juga salah satu langkah menghidupkan budaya. Living culture di Indonesia itu pada kenyataannya memang banyak sekali.

Perempuan Indonesia dan Kebaya (foto: wikiwand.com)

Berkebaya tidak hanya menghidupkan budaya, namun juga memberikan manfaat pada sektor ekonomi karena mendorong pergerakan sentra kerajinan, termasuk munculnya para perajin kebaya.

Ketika kita memakai kebaya, berarti kita menghidupkan budaya. Sehingga ini menjadi budaya yang hidup, bukan hanya budaya yang kita lihat di museum,” demikian, Yenny Wahid.

Kebaya yang konon sempat ditinggalkan oleh masyarakat karena dianggap ruwet dalam pemakaiannya dan tergeser dengan mode pakaian lain, tampaknya kini kembali merekah dan menyeruak menjadi pusat perhatian para perempuan di Indonesia.

Yuk perempuan Indonesia, marilah berkebaya! [NoE]