OPINI – Generasi Z tampaknya sangat akrab dengan derasnya arus informasi dan tren perkembangan teknologi. Namun, generasi yang lahir antara tahun 1997-2012 ini rentan mengalami isu kesehatan mental.
Tanpa disadari, Gen Z terbentuk menjadi pribadi yang terbuka sekaligus kritis. Hasil survei kolaborasi IDN Research Institute dengan Advisia dalam Indonesia Gen-Z Report 2024 menunjukkan bahwa kesenjangan sosial dan kesehatan mental menjadi dua concern utama Gen Z.
Jumlah populasi Gen Z di Indonesia mencapai 74,93 juta, lebih besar dibandingkan milenial. Artinya, Gen Z berada pada usia produktif dengan mindset dan perilaku yang berbeda dari generasi sebelumnya.
Berdasarkan data dari 10 kota terkemuka (DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Palembang, Medan, Balikpapan, dan Makassar), ketimpangan sosial menjadi perhatian utama Gen Z.
Isu kesehatan mental diperburuk oleh kurangnya akses pada pendidikan, terutama bagi mereka yang menjadi tulang punggung keluarga. Generasi sandwich ini seringkali lebih mengutamakan pekerjaan untuk menghidupi keluarga dibandingkan mengembangkan potensi pribadi di bidang pendidikan, yang membuat mereka merasa tertekan dan putus asa.
Di dunia pekerjaan Gen Z cenderung mudah tersinggung dan menyerah mungkin karena sedang berada di usia yang di mana masih labil, di mana mereka tidak terbiasa bekerja di bawah tekanan dan saat dihadapkan pada keadaan yang dianggapnya menyudutkan mereka merasa tersinggung dan menyakiti hatinya. Biasanya mereka di keluarganya masih dimanja atau jarang diperlakukan tegas.
Meskipun begitu banyak juga Generasi Z yang sudah terlatih mentalnya sehingga terbiasa dengan tekanan-tekanan di dunia pekerjaan, biasanya di latar belakangi oleh keadaan di keluarga yang sudah terbiasa dididik keras atau mandiri.
Sosial media juga menjadi pemicu kesehatan mental Gen Z memburuk. Standar hidup yang dilihat di sosial media sering membuat mereka merasa tidak berarti dan insecure.
Mereka menghadapi masalah percintaan, pendidikan, pekerjaan, dan keluarga yang membuat mereka merasa kurang beruntung. Banyak dari mereka yang juga menikah muda namun berakhir cerai muda karena faktor ekonomi dan kedewasaan.
Mental dan fisik yang belum siap untuk menikah membuat Gen Z merasa tidak mampu menghadapi keadaan rumah tangga, sehingga tak sedikit juga yang mengalami baby blues.
Berbagai permasalahan ini membutuhkan penanganan serius. Edukasi dari pemerintah dan keluarga sangat penting untuk menangani masalah kesehatan mental Gen Z. Kasus bunuh diri di kalangan Gen Z sering terjadi, menunjukkan bahwa kesehatan mental bukan masalah sepele.
Data menunjukkan bahwa 1 dari 3 orang berumur 18-24 tahun mengalami masalah kesehatan mental seperti depresi dan gangguan kecemasan. Mahasiswa seringkali mengalami depresi karena tekanan akademik, ketidakpastian masa depan, dan stres akibat masalah percintaan.
Mereka sering meluapkan isi hati mereka di media sosial, dan pikiran tersebut kadang berujung pada keinginan untuk mengakhiri hidup.
Generasi Z cenderung impulsif, yang wajar mengingat usia mereka yang masih labil dan kurang pengalaman. Namun, mereka seharusnya dapat berpikir logis karena konsekuensi dari pikiran impulsif bisa sangat buruk.
Di usia Gen Z, terlebih sebagai mahasiswa, mereka seharusnya mencoba berbagai hal baru yang bisa menjadi alasan untuk terus menjalani hidup.
Kesehatan mental Gen Z perlu mendapat perhatian lebih serius. Dukungan dari pemerintah, keluarga, dan masyarakat sangat penting untuk membantu mereka mengatasi berbagai tantangan ini.
Gen Z adalah generasi yang lahir di era teknologi dengan banyak potensi yang bisa dioptimalkan untuk masa depan yang lebih baik. Namun, tanpa perhatian dan dukungan yang memadai, potensi tersebut bisa hilang.
Oleh karena itu, menangani isu kesehatan mental Gen Z bukan hanya penting bagi kesejahteraan mereka, tetapi juga bagi kemajuan bangsa secara keseluruhan. [UN]