Koran Sulindo – Nasib Christine Lagarde di Indonesia berubah bersama pergantian presiden. Pada 2012 Direktur Eksekutif International Monetary Fund (IMF) keluar dari pertemuan di istana negara sendirian, dan harus melakukan jumpa pers sendirian juga; Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak hendak menemani. Pekan lalu, Lagarde bahkan diajak Presiden Joko Widodo blusukan ke pasar Tanah Abang; diantar beberapa menteri melihat-lihat pelelangan ikan di Cilincing, Jakarta Utara, dan didengar seksama suaranya.
Apa yang berubah bukan hanya pergantian kepala pemerintahan, sebenarnya. Indonesia tetap belum berhutang lagi pada lembaga itu sejak SBY melunasinya pada 2006. Indonesia bahkan memberi pinjaman pada IMF sebanyak 1 miliar dolar Amerika Serikat pada 2012.
Dan IMF juga belum saatnya datang, Indonesia tak sekarat. Ekonomi negeri ini juga belum memiliki tanda-tanda sedekat kematian seperti pada 1998. Pada saat itu, lembaga asing itu bisa masuk ke istana negara dan memerintah kesana-kemari, dan akhirnya malah membuat ekonomi makin hancur dan adegan petinggi IMF saat itu, Michel Camdessus, bersedekap menonton Presiden Soeharto menandatangani kesediaan berhutang ke IMF, terus meninggalkan trauma mendalam kekalahan bangsa ini di tangan asing.
Sebenarnya, baru setahun menjabat Presiden Jokowi sudah menerima Lagarde penuh keramah-tamahan khas bangsa ini. Saat itu Jokowi sejak awal membantah mau berutang.
“Saya datang hari ini sebenarnya berharap untuk meminjam, tidak untuk meminjamkan. Meminjam keramahan dari Indonesia, kekuatan, dan keindahan budayanya,” kata Lagarde di Istana Negara, Jakarta, 1 September 2015.
Lagarde terlihat geli saat mengatakan itu.
Jokowi sebelumnya mengatakan kedatangan Lagarde dalam rangka pertemuan dengan Bank Indonesia (BI) soal event World Bank dan IMF di Bali pada 2018.
“Keperluannya itu. Dan gubernur BI menyampaikan beliau ingin bertemu dengan saya dan saya menemuinya, kita berdiskusi banyak, terutama soal ekonomi global,” kata Jokowi
Voyage to Indonesia
Tentang keperluan yang disebut Jokowi itu, adalah pertemuan dua tahunan IMF dan Bank Dunia yang kini siap di gelar di Bali Oktober nanti.
Seperti dikutip dari situs BI, tuan rumah resmi ajang ini, Voyage to Indonesia merupakan tema besar dari serangkaian kegiatan yang menjadi bagian dari persiapan penyelenggaraan sekaligus upaya optimalisasi manfaat IMF-WB Annual Meetings 2018.
“Esensi dari kata Voyage adalah perjalanan menuju tempat baru/penemuan baru.”
Konsep ini dipilih karena AM 2018 akan dimanfaatkan untuk memperkenalkan Indonesia yang baru; Indonesia yang telah melakukan banyak reformasi, meningkat daya tahan ekonominya dari shock domestik maupun global, serta Indonesia yang tumbuh inklusif – tidak hanya mencatat pertumbuhan yang lebih tinggi namun juga inklusif.
“Di hadapan delegasi gubernur bank sentral dari 189 negara, kita berkesempatan menunjukan sejumlah capaian dalam reformasi perekonomian, daya tahan, dan juga digitalisasi yang tengah berlangsung,”kataKepala Satuan Tugas Pertemuan IMF – Bank Dunia,Peter Jacobs, di hadapan peserta pelatihan wartawan daerah yang digelar BI, November 2017.
Acara itudiperkirakan dihadiri seluruh perwakilan bank sentral dari 189 negara sedunia, total sebanyak 15 ribu orang akan hadir.Bahkan seluruh pegawai Bank Dunia yang berjumlah 1.500 juga ikut pakansi bersama itu, meninggal seluruh kantornya kosong pada hari-hari itu.
“Mereka yang datang adalah pemilik uang dan modal, dari seluruh dunia. Karena itu pertemuan ini kita harapkan akan membuka mata mereka untuk kemudian berkeinginan menanamkan modal di indonesia. Dan yang penting lagi, Indonesia bisa menunjukkan diri sebagai negara yang siap Take Off!” kata Peter.
Momen pertemuan itu,bertepatan 20 tahun setelah krisis moneter melanda tanah air pada 1998 lalu, akan dipakai sebagai unjuk diri bahwa Indonesia sudah tegak berdiri kembali. Begitu dianggap pentingnya acara itu, hingga Indonesia merasa perlu mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) yang mengatur kegiatantersebut.
Harapan yang Hancur
Ketika Jokowi mulai berkuasa pada 2014 lalu dengan janji mengantarkan Indonesia kepada era perubahan dan gaya kepemimpinan baru, banyak orang percaya ini babak baru dalam sejarah Indonesia.
Apalagi Jokowi juga presiden pertama tanpa hubungan dengan pemerintahan Orde Baru Soeharto, yang begitu lama berkuasa hingga terasa selamanya.
Banyak yang berharap Jokowi akan menguatkan nilai-nilai seperti pluralisme, liberalisme dan sekularisme di Indonesia – sebuah negara yang membanggakan dirinya dengan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu jua.
Ia juga ditunggu menyelesaikan persoalan hak asasi manusia besar yang tak pernah disentuh para presiden sebelumnya, terutama pembantaian kaum yang diduga komunis pada 1965, 50 tahun sebelum ia menjadi presiden.
“Tapi harapan itu dengan cepat hancur,” tulis situs berita dw.com, karena setelah itu agama semakin banyak digunakan sebagai alat politik di Indonesia baru itu,berpuncak di pemilihan gubernur Jakarta pada 2017 yang memecah belah masyarakat bawah, yang lukanya masih terasa hingga kini.
Banyak pengamat melihat pada awalnya Jokowi benar-benar meremehkan ancaman yang ditimbulkan Islam politik itu, dan percaya hanya perlu menunjukkan telah melakukan banyak hal baik, seperti misalnya pembangunan ekonomi dan infrastruktur, dan kemudian kelompok konservatif tersebut akan berhenti menjadi sumber masalah.
Tapi tidak. Dan ia terkaget-kaget ketika melihat ratusan ribu orang turun ke jalan hingga ke tugu monumen nasional (Monas), hanya sepenggalah jaraknya dari Istana Negara, pada bulan terakhir 2016.
Setelah itu Jokowi makin berhati-hati dalam hal politik dalam negeri ini. Ia berada di tengah semuanya, dan hanya diam.
“Dia tidak ingin bertindak tegas pada salah satu dari mereka, karena dia tidak ingin kehilangan dukungan partai-partai Islam yang masih merupakan bagian dari koalisi yang berkuasa. Jokowi takut kehilangan mereka,” kataahli hukum di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Bivitri Susanti, seperti dikutip dw.com.
Tantangan yang lebih besar untuk negara demokrasi Muslim seperti Indonesia adalah tekanan untuk meniru norma budaya dan sosial yang sama seperti negara demokrasi liberal lainnya yang lebih maju, seperti Amerika Serikat.
Komunitas Muslim dan elit ulama melihat harapan dan tekanan itu sebagai ancaman sekuler-liberal terhadap otoritas budaya religius mereka. Dan itu terlihat justru menjadi-jadi setelah Jokowi diserang habis-habisan dengan isu anti-Islam itu sekitar dua tahunan terakhir, atau mungkin lebih.
Pada masa kolonial dan pasca-kemerdekaan, minoritas agama di Indonesia, khususnya etnis China—yang terutama beragama Kristen atau Buddha—dan berbagai kelompok agama Kristen, menikmati akses istimewa untuk mendapatkan pendidikan modern,peluang bisnis dan ekonomi. Melalui jalur informal dan hubungan perlindungan dengan penguasa, minoritas agama menjadi relatif maju secara sosial ekonomi terhadap mayoritas Muslim.
Dalam konteks demokratisasi dan liberalisasi yang terjadi sejak 1998, masyarakat minoritas Indonesia mencoba mengakses jalur menuju kekuasaan politik yang lebih resmi, serta hak politik dan hak sipil. Hal ini menciptakan kekhawatiran di kalangan elit Muslim, yang telah merasakan tantangan yang semakin meningkat dari kalangan minoritas dalam dominasi politik tradisional mereka.
“Dan ketika mereka merasa terancam, mereka cenderung melakukan perlawanan. Hal ini mengakibatkan meningkatnya fundamentalisme dan intoleransi terhadap kelompok minoritas, dan bahkan orang-orang LGBT,” kata profesor Ilmu Politik di Northern Illinois University dan pengamat di Center for Southeast Asian Studies, Kikue Hamayotsu, seperti dikutip situs World Politics Review.
Perjalanan ke Mana?
Jika di lapangan politik dalam negeri Jokowi menghadapi ribuan orang Islam turun ke jalan, di lapangan ekonomi tak sulit mencari para pengkritiknya.
Bahkan sebenarnya baru mempin Indonesia belum seumur jagung, kritik keras sudah dihamburkan ke istana.
Mantan menteri koordinator bidang perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Rizal Ramli sejak awal mengatakan pola pikir Jokowi dalam bidang ekonomi menampakkan wajah seorang penganut ideologi ekonomi liberal.
“Jokowi ini memang liberal karena yang jadi patokannya itu hanya tentang harga. Ukuran liberal yang bagus kan memang hanya tentang uang,” kata Rizal, Februari 2015.
Ketika Rizal ditarik ke Kabinet Kerja Jokowi sebelum akhirnya dibuang lagi, tak ada perubahan berarti pada Jokowi.
Yang lucu, bahkan pengusaha yang berhimpun dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menyatakan prihatin dengan sistem perekonomian yang berkembang makin liberal.
“Hal itu terlihat dari distribusi aset-aset dan kekayaan negara sudah terkanalisasi ke para pemilik modal besar dan semakin tertutup bagi para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) dan masyarakat luas.Yang kecil makin kecil, yang besar tambah besar,” kata Ketua Umum BPP Hipmi Bahlil Lahadalia, pada 1 Juni 2015, melalui rilis media.
Menurut Bahlil, sistem ekonomi liberal yang dibangun sendiri sejak reformasimelupakan azas pemerataan dan keadilan sosial.
“Perekonomian kita makin meninggalkan Pancasila. Pasar itu bukan segalanya. Ada negara dan azas-azas keadilan sosial,” kata Bahlil.
Kecenderungan ekonomi Jokowi mengarah ke sistem liberal juga diyakini mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Keuangan, dan Industri di zaman Presiden Megawati Soekarnoputri, Kwik Kian Gie.
Sudah sejak lama ekonomi Indonesia ke arah liberal, sebenarnya. Setelah Bung Karno dijatuhkan dan Jenderal Soeharto berkuasa lahirlah berbagai kebijakan berorientasi pasar. Dimulai sejak Undang-Undang No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU tentang Penanaman Modal Dalam Negeri tahun 1968, Peraturan Pemerintah No 20 tahun 1994, Infrastruktur Summit I dan II, serta UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan seterusnya.
“Perkembangannya menuju ekonomi liberal gradual, namun dengan arah yang sangat jelas,” kata Kwik.
Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi yang pertama diluncurkan pada September 2015 hingga paket kebijakan ke-15 yangdiluncurkan pada Agustus 2017, ruang-ruang asing untuk menusuk masuk ke nadi perekonomian Indonesia diberi keleluasaan seluas-luasnya.
Tak perlu mengutip Adam Smith lagi untuk merasakan apa yang terjadi kini. Pak Jokowi perlu ingat ekonomi liberal membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Dan itu tidak pancasilais, Pak. [Didit Sidarta]