Ilustrasi, korban KDRT - Istimewa
Ilustrasi, korban KDRT - Istimewa

MUNGKIN bagi pasangan artis dan Youtuber Baim Wong serta istrinya Paula Verhoeven tindakan KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga hanya sebatas prank seperti yang mereka lakukan untuk kebutuhan konten semata.

Padahal setiap waktu setidaknya ada perempuan atau laki-laki di Indonesia dan di belahan dunia lainnya sedang menahan rasa sakit hingga meregang nyawa akibat KDRT. Setidaknya mereka bisa melihat rekan sesama artis yang baru saja mengalaminya seperti Lesti Kejora.

Namun rasanya, kebutuhan konten diatas segalanya walaupun harusnya mereka memahami bahwa apa yang ditampilkan pada video tersebut adalah sesuatu yang tidak bermoral.

Meskipun pada akhirnya video tersebut hilang atau dihapus, rasanya tindakan Baim dan Paula yang dengan sengaja memakai kasus KDRT sebagai konten hiburan atau prank harus ditindak tegas.

Jika memang tidak mempunyai ide cemerlang saat membuat konten lebih baik diam atau memperluas kajian ilmu, paling tidak mengerti bagaimana menjadi manusia terlebih dahulu. Kita semua tahu bahwa KDRT adalah masalah serius bukan hanya sekadar kalimat “candaan”.

Pengertian KDRT dan hukumnya

Pada pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), menyatakan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Walaupun laki-laki sangat bisa mengalami KDRT pada faktanya mayoritas korban adalah istri atau perempuan. Bahkan konstitusi pun mengakui hal tersebut. Komnas Perempuan mencatat telah menerima sekitar 2.527 kasus KDRT sepanjang 2021 dan KTI atau Kekerasan Terhadap Istri menempati posisi pertama.

Lalu siapa yang harus memutus untaian rantai KDRT di Indonesia? Pemerintah dan kita, masyarakat. Menurut pasal 7 UU PKDRT, pemerintah merupakan aktor utama dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan upaya pencegahan seperti menyediakan ruang layanan khusus di kantor kepolisian, layanan kesehatan dan sosial yang memadai, memberikan perlindungan bagi korban maupun keluarga. Tak kalah penting ialah memberikan hukuman yang pantas kepada tersangka.

Mediasi sering kali menjadi upaya damai yang dilakukan berbagai pihak dalam kasus KDRT hingga akhirnya tak sampai ke meja hijau atau pengadilan. Komnas Perempuan memberikan catatan bahwa upaya mediasi dilakukan untuk mencapai keadilan restoratif. Padahal yang perlu digaris bawahi adalah kepentingan korban dan keluarga itulah yang utama.

Bagaimana kita bisa mencapai keadilan jika korban masih terus dihantui bayang-bayang tersangka dalam segala aspek kehidupannya? Tanpa menyelesaikan akar, mereka lebih suka menarik batang. Ditambah ada sesosok publik figure yang dengan seenaknya membuat konten buruk tentang KDRT.

Kasus KDRT selalu berulang, baik karena faktor dominasi gender, ekonomi bahkan budaya patriarki yang memiliki pemikiran bahwa laki-laki berada dalam puncak konstruksi sosial membuat perjalanan berakhirnya KDRT semakin tak berujung.

Komnas Perempuan juga mencatat bahwa banyak korban pada kasus KDRT yang akhirnya menyerah dan mencabut laporan bahkan sama sekali tidak melapor. Berbagai alasan seperti ketakutan, adanya perundungan serta stigma yang lahir pada korban yang ada di masyarakat menjadi penyebab.

Sekali lagi, KDRT bukan sebatas konten prank yang tidak manusiawi. Mereka ada, kasusnya nyata bukan gimmick. Jadi pahamilah kita harus mampu memutus rantai KDRT ini, ingat keluarga itu sempurna jika tidak ada kekerasan di dalamnya. [NS]

*Jika anda sedang mengalami KDRT segera cari bantuan dan lapor polisi atau bisa menghubungi layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA 129) ke nomor telepon 129 atau WhatsApp 08111129129 atau Melaporkan ke alamat email pengaduan@komnasperempuan.go.id.