Para Tionghoa Nasionalis yang Dibuang ke Boven Digoel
Melalui koran-koran lawas, seperti Kaoem Muda dan Pewarta Deli, Paul Tickell mendapatkan data bahwa orang-orang Tionghoa ini, sebelum dibuang ke Boven Digoel kebanyakan pekerjaannya adalah pedagang. Dari nama-nama yang berhasil ditelusurinya itu, umumnya adalah anggota PKI di sekitaran Cepu, Blora dan Bojonegoro. Usia paling tua ketika di buang sekitar 43 tahun, yakni Pwa Tjing Hwie, bekerja sebagai pedagang di Tumpang, dekat Malang, Jawa Timur. Paling muda adalah Tan Bing Bo, berumur 20 tahun ketika dibuang ke Digoel. Ia juga pedagang di Malang.
Hampir semuanya tercatat sebagai anggota PKI angkatan 1926. Mereka adalah angkatan Partai Komunis Indonesia yang saat itu masih berteman baik dengan orang-orang Islam, beberapa ulama lokal bahkan menjadi tokoh penggerak perlawanan bersenjata yang diadakan oleh PKI pada 1926.
Data yang didapat oleh Paul Tickell, menunjukkan bahwa ada seorang Tionghoa bernama Liem Thay Tjwan dibuang ke Digoel pada usia 36 tahun. Ia ditangkap aparat hukum pemerintah kolonial di Surabaya. Karena menjadi anggota dan mempropagandakan PKI di Blitar. Ia pernah menjadi direktur di perusahaan dagang Javasch Handelmaatschappij di Surabaya sebelum dibuang ke Boven Digoel.
Data lain menyebut Liem Thay Tjwan kelahiran 9 Januari 1891 di Peterongan, Jombang, Jawa Timur, pernah belajar di sekolah khusus Tionghoa THHK (Tiong Hoa Hwe Koan) di Mojokerto. Ia juga aktif di beberapa perkumpulan seperti Soen Thian Hwee, Tiong Hoa Keng Kie Hwee dan Po Lam Hwee Yoe.
Liem Thay Tjwan mulai mengenal komunisme sejak menetap di Surabaya. Jejaknya dalam perkembangan komunisme di Hindia Belanda dimulai ketika itu usianya baru 20 an. Yaitu sejak masuk perkumpulan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV). Setelah organisasi itu bubar, dia terlebih dahulu masuk Sarekat Rakyat sebelum akhirnya masuk Partai Komunis Indonesia .
Liem dikenal sebagai seorang yang giat mempropagandakan PKI. Meski ia tidak menyetujui Revolusi Bolshevik di Rusia. Ia juga sempat vakum di PKI sejak 1923 dan tinggal di Blitar. Kemudian setelah November 1926 ditangkap lalu dibuang ke Digoel.
Seperti halnya orang Tionghoa yang gemar berdagang, di pembuangan Liem juga sempat berdagang bahkan buka toko di sana. Sayang nasib baik tidak memihaknya. Ia bangkrut. Ketika ada pembebasan terhadap orang buangan di Boven Digoel pada 1932, Liem termasuk yang dibebaskan. Ia pun kembali ke Jawa. Sempat tinggal di Solo pada 1930 an. Setelah itu Liem menghilang, seakan ditelan bumi, tidak ada kabar sama sekali.
Ada pula sosok Tionghoa lain yang berasal dari Banten dan dibuang ke Digoel yaitu Lie Eng Hok. Menurut Yunus Yahya, dalam buku Peranakan idealis: dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya (2002), ia dianggap sebagai otak pemberontakan PKI Banten. Lie Eng Hok, laki-laki kelahiran Balaraja, Tangerang 7 Februari 1893, setelah pemberontakan PKI di Banten gagal kemudian kabur ke Semarang bersama keluarganya. Sebelum ditangkap ia adalah pedagang buku di Pasar Johar. Ia berperan menjadi kurir antar kaum pergerakan di Semarang.
Setelah ditangkap di Semarang ia pun dibuang ke Boven Digoel. Lie Eng Hok hanya lima tahun di Digoel dari 1927 hingga 1932. Selama di Boven Digoel, Lie menolak bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda. Lie lebih memilih menjadi tukang sol sepatu. Setelah dibebaskan dari Digoel, Lie kembali ke Jawa dan menekuni kembali bisnis buku bekasnya.
Ketika Republik Indonesia sudah berdiri, Lie Eng Hok juga ikut serta dalam revolusi kemerdekaan. Lie yang meninggal di Semarang, 27 Desember 1961, diakui sebagai Perintis Kemerdekaan Indonesia sebelum meninggal, berdasarkan SK Menteri Sosial RI No. Pol. 111 PK tertanggal 22 Januari 1959. Status itu membuatnya berhak menerima tunjangan Rp 400 sebulan.
Bahkan KODAM IV Diponegoro, melalui Surat Pangdam IV Diponegoro No.B/678/X/1986, memindahkan kerangka Lie Eng Hok yang semula di pemakaman umum ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.
Kemudian ada Lie Tiong Pik, yang adalah orang Tionghoa dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan kota Blora. Menurut catatan buku Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, pada saat pemakamannya di tanggal 22 Maret 1965, sepuluh ribu orang datang melepas Lie Tiong Pik. Peti matinya ditutup bendera merah putih dan dimakamkan dengan upacara militer.
Lie Tiong Pik yang lahir pada 1888 ini hidup di Cepu, sebagai pemilik toko kecil, sebelum dan sesudah pembuangannya ke Digoel. Ketika banyak orang Indonesia takut pada militer Jepang di masa pendudukan, ia justru terlibat gerakan anti-Jepang. Hingga dirinya harus masuk bui di Semarang.
Ketika di bui, harta benda jerih payah berdagangnya ludes dirampok. Ia juga ikut terlibat dalam revolusi kemerdekaan Indonesia. Tak heran jika orang-orang di Blora dan Cepu mengenalnya sebagai pejuang.
Kenyataan yang harus diterima, bahwa mereka, kaum Tionghoa ini secara nyata adalah bagian dari pergerakan nasional. Jauh sebelum Indonesia merdeka dan bahkan Orde Baru memegang kekuasaan, orang-orang Tionghoa anggota PKI ini sudah berjuang melawan Belanda. Bahkan ketika sebagian dari mereka harus menerima resiko dibuang ke wilayah terpencil di Boven Digoel, Papua. [S21]