Kaum Nasionalis dan Politik Bahasa Indonesia

Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara, dan sekolah kebangsaan. Eksperimen awal pendidikan nasional Indonesia. Kees Groeneboer. Weg tot het Westen. KITLV, Leiden. 1993.

Koran Sulindo – Pada 3 Mei 1939, terjadi perdebatan tajam dalam rapat anggota Dewan Kota Surabaya atau Gemeenteraad van Soerabaja. Gambaran tentang perdebatan ini terdapat dalam catatan perdebatan dewan kota berjudul “Notulen van de Openbare Vergadering van den Stadsgemeenteraad van Soerabaja, 1939” yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Uraian dalam catatan itu menarik. Perkaranya dimulai ketika anggota Fraksi Nasional Raden Soeman menggunakan bahasa Indonesia saat menyampaikan program pemerintah kota. W.A.H. Fuchter, Wali Kota Surabaya, meminta Soeman menggunakan bahasa Belanda. “Bahasa Melayu bukan bahasa Anda, begitu juga bahasa Belanda,” kata Fuchter.

Bagaimanapun, Fuchter mengakui tidak ada aturan tegas kewajiban menyampaikan pidato dalam bahasa Belanda. Juga tidak ada larangan eksplisit menggunakan bahasa lainnya, termasuk bahasa Indonesia (orang-orang Eropa saat itu menyebutnya sebagai bahasa Melayu). Fuchter akhirnya membiarkan pidato Soeman dalam bahasa Indonesia. Ia meminta seorang penerjemah hadir menerjemahkan pidato tersebut.

Tindakan itu tidak dapat disangkal merupakan agenda terencana kaum nasionalis Indonesia. Anggota Fraksi Nasional Nyonya Soedirman, satu-satunya wakil perempuan, menyampaikan pidatonya dalam bahasa Indonesia, yang diikuti semua wakil Fraksi Nasional, menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato mereka.

A. Van Gennep, anggota berhaluan konservatif, menyatakan Fraksi Nasional menjadikan forum rapat dewan sebagai ajang “propaganda politik”. Ia menegaskan “tidak pernah ada yang disebut bahasa Indonesia” dan Indonesia hanya sekadar imajinasi kaum nasionalis. Bahasa yang disampaikan dalam forum itu menurut Gennep tidak lebih sekadar Melayu pasar sebagai lingua franca (bahasa bersama). Dalam notulen itu tercatat, Gennep menyatakan jutaan penduduk Hindia-Belanda lainnya belum tentu memahami bahasa itu.

Ketua Fraksi Nasional Iskaq Tjokrohadisoerjo menyanggah tuduhan ini. Ia menyatakan sesungguhnya forum dewan memang seharusnya menjadi “ajang politik”, bukan lainnya. Ia juga menegaskan keputusan menggunakan “bahasa Indonesia” yang mempunyai “cita-cita kemerdekaan negerinya”. Sejak saat itu, Fraksi Nasional terus menggunakan bahasa Indonesia dalam rapat dewan sampai pemerintah kolonial melarang semua simbol dan atribut nasionalisme Indonesia menjelang Perang Pasifik.

Politik Kebudayaan

Perdebatan itu menjadi tamparan bagi konservatisme politik kolonial. Perwakilan orang Eropa di dewan terpaksa menelan ludah sendiri. Pada awal abad ke-20, ketika kaum terpelajar pribumi berbicara dalam bahasa Belanda, orang-orang Belanda di koloni menolak berbicara menggunakan bahasa Belanda dengan orang pribumi, terlepas seberapa terpelajar lawan bicara mereka. Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan pribumi menanggapi dengan gemas “kesombongan dan kebodohan orang Eropa” yang sekadar membentengi privilese di koloni.

Saat itu bahasa Melayu memang sebuah lingua franca, bukan bahasa nasional. Di dalam lingkungan kota dengan penduduk multi-ras dan suku, bahasa Melayu mengisi kebutuhan “bahasa internasional” bagi penduduk kota. Titik tolak penting yang mengakibatkan perkembangan lingua franca menjadi bahasa nasional dalam kaitan ini tidak dapat dilepaskan dari keputusan politik sadar diri dari kalangan nasionalis Indonesia.

Bahasa Indonesia sendiri saat itu adalah bahasa ketiga yang mereka pelajari ketika beranjak dewasa. Sejak kecil dan remaja, mereka terbiasa menggunakan bahasa ibu (Jawa dan lainnya) dan bahasa Belanda sebagai pengantar di lingkungan sekolah dan pergaulan di antara kalangan terpelajar. Tidak mengherankan bila dalam momen Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, beberapa delegasi berbicara di depan mimbar dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.

Kesadaran kaum pergerakan membangun bahasa nasional sebagai senjata politik dalam perjuangan antikolonial telah bergulir sejak Kongres Permufakatan Perhimpunan Partai Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 30 Agustus sampai 2 September 1928 di Surabaya. Rekomendasi kongres adalah menyusun rancangan pendidikan nasional Indonesia yang disampaikan kepada pemerintah, dengan menempatkan pengajaran “bahasa dan sejarah” sendiri sebagai materi yang diajarkan di tingkat dasar. Pengajaran bahasa asing diusulkan baru diterapkan dalam pendidikan tingkat lanjutan seperti tertuang dalam arsip rahasia pemerintah kolonial, Mailrapporten No. 72x/1930.

Beberapa bulan kemudian, rumusan ini pula yang menjadi landasan bagi organisasi-organisasi pemuda di Hindia Belanda saat itu untuk mencetuskan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Seiring menguatnya semangat politik kebangsaan, mau tidak mau kebutuhan mempelajari bahasa Indonesia menjadi bagian penting dalam politik pergerakan. Sejumlah kursus diselenggarakan organisasi-organisasi pergerakan seperti di Sekolah Taman Siswa.

Tidak dapat disangkal, sampai saat itu ruang lingkup penggunaannya memang terbatas di kota-kota besar Hindia Belanda. Mayoritas rakyat di perdesaan dan pelosok tetap bicara dan berimajinasi dalam bahasa daerah masing-masing. Dalam kaitan ini tidak dapat dimungkiri bahwa pergerakan nasional Indonesia adalah fenomena pergerakan politik masyarakat urban.

Bahasa Indonesia Sukses Menjadikan Bahasa Belanda sebagai Liyan

Perkembangan yang terjadi dalam “drama bahasa” dalam riwayat pergerakan antikolonial menegaskan arus balik kesadaran kaum nasionalis Indonesia saat itu. Perkembangan ini merupakan fenomena berbeda dan bertolak belakang dengan semangat awal kebangkitan nasional ketika kaum terpelajar menyerukan pentingnya kemampuan berbahasa Belanda, dan meminta pemerintah mengajarkan bahasa Belanda bagi masyarakat pribumi di tingkat pendidikan tingkat rendah sebagai cara memasuki dunia modern.

Perkembangan zaman melahirkan kebutuhan yang berbeda. Begitu juga dalam politik pergerakan antikolonial. Keperluan membangun politik kebudayaan yang mendefinisikan dengan tegas “kaum sana” dan “kaum sini” yang menjadi garis demarkasi perjuangan antikolonial menjadikan kebutuhan sebuah bahasa nasional muncul.

Dengan menolak menggunakan bahasa Belanda, kaum nasionalis Indonesia berhasil membentuk sosok liyan yang tidak memiliki legitimasi apa pun untuk berkuasa di negeri asing yang jauh dari tempat asal.

Ini adalah tonggak penting yang mewarnai sejarah pergerakan antikolonial di Indonesia. Fase ini menjadi petunjuk tentang arah pergerakan antikolonial yang jauh lebih matang memasuki dekade akhir kolonialisme Belanda di Indonesia.

Apabila sebelumnya seruan perjuangan antikolonial lebih bertumpu kepada kemajuan dan kesempatan yang sama bagi warga pribumi, dan dengan demikian tetap berada di bawah “arahan” kolonialisme Belanda. Politik bahasa menegaskan keterputusan ikatan itu demi menjadi bangsa baru yang mandiri secara politik dan budaya. Politik bahasa ini menjadi landasan penting dalam proses nation-building dalam dekade selanjutnya pasca-kemerdekaan Indonesia. [Andi Achdian; Pengajar dan Redaktur Pelaksana Jurnal Sejarah, Universitas Nasional]

Artikel ini disalin dari https://theconversation.com/menciptakan-yang-liyan-dalam-pergerakan-kaum-nasionalis-dan-politik-bahasa-indonesia-85403; di bawah lisensi Creative Commons