Massa Front Perjuangan Rakyat bersama People Over Profit (POP) dan ILPS menolak RCEP di depan gedung pertemuan ICE BSD, Tangerang Selatan [Foto: mrb-media.com]

Koran Sulindo – Berbagai skema blok perdagangan bebas pada dasarnya hanya menguntungkan negara-negara maju atau lazim disebut sebagai negara imperialis. Pasalnya, blok perdagangan bebas selama ini tak lebih dari upaya untuk membuka pasar seluas-luasnya bagi kapital dan barang produksi negara maju.

Karena itu, blok perdagangan bebas baik bilateral maupun regional seperti Perjanjian Kemitraan Trans Pasifik (TPPA) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) sama sekali tidak berguna bagi rakyat. Menurut Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) skema tersebut justru mengancam kedaulatan bangsa.

Ketua Umum GSBI Rudi HB Daman mengatakan, pihaknya memandang situasi demikian perlu disikapi secara serius dan tegas. Sebab, berbagai skema perdagangan bebas itu didominasi negara-negara imperialis yang dikepalai Amerika Serikat (AS).

“Sebagai organisasi buruh yang patriotik, anti-imperialisme, GSBI akan menjadi barisan terdepan untuk menolak RCEP,” kata Rudi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (6/12).

Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan putaran ke-16 RCEP yang secara resmi dibuka pada hari ini. Kegiatan ini dihadiri 600 delegasi dari 16 negara, bertempat di International Convention Exhibition BSD Serpong, Tangerang Selatan dan berlangsung hingga 10 Desember nanti.

Seperti skema perdagangan bebas lainnya, publik tidak mengetahui apa-apa saja yang akan dibahas dalam perundingan tersebut. Dengan kata lain, skema perdagangan bebas ini berlangsung secara tertutup padahal membahas yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.

Rudi menuturkan, berbagai skema perdagangan bebas merupakan upaya negara-negara maju untuk terus mendominasi negara-negara Dunia Ketiga termasuk Indonesia. Kerja sama tersebut lantas dilabeli dengan Perjanjian Perdagangan Bebas dan Investasi (FTAs).

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) merupakan salah satu skema perjanjian perdagangan bebas yang dibentuk beberapa dekade lampau. Namun, negosiasi WTO dalam beberapa tahun terakhir mengalami kebuntuan karena kuatnya penolakan rakyat terhadap skema itu. Termasuk di Bali pada 2013 dan GSBI juga terlibat menolaknya.

Kebuntuan negosiasi di WTO itu lantas berupaya dipecahkan lewat skema bilateral dan regional. Antara lain TPPA yang beranggotakan 11 negara terdiri atas AS, Jepang, Australia, Peru, Malaysia, Vietnam, Selandia Baru, Chile, Singapura, Kanada, Meksiko dan Brunei. Kesepakatan dagang ini mewakili 40 persen produk domestik bruto global atau 25,5 persen dari total perdagangan dunia.

Negosiasi untuk TPPA, kata Rudi, sudah selesai pada Oktober 2015 dan ditandatangani pada Februari 2016. Skema regional lainnya yang sedang dalam pembahasan adalah RCEP dimana Indonesia sebagai penggagas bersama Tiongkok yang melibatkan 10 negara Asean ditambah Australia, Jepang, India, Korea Selatan dan Selandia Baru. Totalnya 16 negara.

Skema ini disebut lebih besar dibandingkan TPPA. Meliputi sekitar 3,5 miliar penduduk atau setara 45 persen dari jumlah penduduk dunia. Dengan jumlah US$ 23 triliun dari total produk domestik bruto meliputi sepertiga dari total luas wilayah dunia. Ini akan menjadi blok perdagangan bebas terbesar di dunia.

Menurut Rudi, skema perjanjian regional demikian akan membuat negara-negara seperti Indonesia berlomba-lomba menarik investasi dari negara-negara maju. Risikonya negara-negara maju itu akan menguasai, menjarah dan mengeksploitasi seluruh sumber daya alam Indonesia. Apalagi dalam aturan RCEP kelak mengatur tentang perlindungan investasi dan keuntungan korporasi.

Perusahaan bahkan bisa menggugat pemerintah di suatu negara apabila menerapkan aturan dan kebijakan yang merugikan pihak investor. Hal itu sudah pernah terjadi di Mesir pada 2013. Perusahaan transnasional asal Prancis Veolia Proprete pernah menggugat pemerintah Mesir karena meningkatkan upah minimum nasional. Kebijakan ini kemudian dirasa merugikan perusahaan karena mengurangi keuntungannya.

“Bukan itu saja, jika RCEP disahkan dan diimplementasikan, maka kenaikan upah bagi kaum buruh di Indonesia akan semakin sulit direalisasikan,” kata Rudi.

RCEP oleh karena itu, menurut Rudi, harus ditolak. Proses negosiasinya pun mesti dihentikan. Kaum buruh dan rakyat Indonesia tidak membutuhkan RCEP dan kerja sama perdagangan yang sejenis. Selain merugikan kaum buruh dan rakyat, juga mengancam kedaulatan bangsa.

Yang dibutuhkan rakyat, kata Rudi, kerja sama ekonomi berdasarkan solidaritas, saling menguntungkan dan menguatkan untuk memenuhi kebutuhan buruh dan rakyat Indonesia pada umumnya.

Hari ini Front Perjuangan Rakyat dan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia menolak penyelenggaraan konferensi RCEP di BSD Serpong. Kedua organisasi rakyat ini menilai skema RCEP hanya merugikan kaum buruh dan rakyat Indonesia pada umumnya. [KRG]