Pedang katana Jepang bukanlah sebatas senjata. Ia adalah mahakarya yang ditempa oleh api, kesabaran, kekuatan, dan keterampilan, sekaligus simbol yang mengakar dalam budaya dan sejarah Jepang. Lebih dari sekadar produk buatan tangan, katana adalah representasi nilai-nilai spiritual, sosial, dan estetika yang telah diwariskan turun-temurun selama berabad-abad.
Dilansir dari laman Deeper Japan, dalam kepercayaan Shintō, katana merupakan salah satu dari tiga lambang suci yang diwariskan oleh Dewi Matahari Amaterasu kepada keluarga kekaisaran Jepang, bersama dengan cermin dan permata. Warisan ini menjadikan katana bukan hanya pusaka fisik, tetapi juga simbol kekuasaan ilahi. Selain itu, katana menjadi manifestasi filosofi bushidō, kode etik para samurai yang menjunjung tinggi kehormatan, keberanian, dan kesetiaan.
Penulis dan seniman Ethel Mumford pernah menyatakan, “Katana adalah karya para dewa; katana digerakkan oleh roh.” Ungkapan ini mencerminkan pandangan budaya Jepang bahwa setiap bilah katana mengandung vitalitas, seolah memiliki nyawa yang hidup dan mampu memikat siapa pun yang melihatnya. Ketakjuban terhadap katana terus bertahan, bahkan di era modern ketika benturan bilah tak lagi terdengar di medan perang atau jalan-jalan kuno.
Lintasan Sejarah Katana
Kata “katana” sendiri tercatat dalam salah satu karya sastra tertua Jepang, Nihon Shoki, yang disusun pada tahun 720. Namun, bentuk katana tidaklah statis. Seiring waktu, desainnya berubah-ubah, baik dari segi panjang maupun fungsi, sebelum mencapai bentuk akhir yang ikonik yakni bilah melengkung, bermata tunggal, dan dapat digunakan dengan cepat dalam satu gerakan.
Keahlian dalam menempa katana tidak hanya dihargai di Jepang, tetapi juga telah menarik perhatian dunia sejak abad ke-15. Dokumen sejarah mencatat ekspor katana buatan Jepang ke Korea dan Cina, serta kedatangan para pandai besi Korea yang datang ke Jepang untuk belajar langsung dari para empu. Pengaruh ini menunjukkan betapa luasnya jangkauan budaya katana, sekaligus menandakan reputasinya yang telah melampaui batas negara.
Namun, persepsi masyarakat terhadap katana secara umum mengakar kuat pada periode Edo (1603–1868). Di masa ini, samurai memegang peran penting dalam tatanan sosial, dan katana menjadi lebih dari sekadar senjata, ia adalah lambang status, pangkat, dan kekayaan. Para samurai tidak sekadar membawa pedang sebagai alat perang, tetapi juga sebagai perpanjangan dari harga diri dan jiwa mereka.
Yang menarik, meskipun dipegang dan digunakan oleh samurai, pedang itu sendiri diyakini memiliki jiwanya sendiri. Dalam proses pengerasan, saat logam panas dicelupkan ke air, menghasilkan asap dan suara khas yang diyakini bahwa sebagian dari jiwa sang empu turut merasuk ke dalam bilah. Oleh sebab itu, samurai bukan dianggap sebagai pemilik pedang, melainkan hanya penjaga sementara dari jiwa tersebut, yang kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya.
Katana di Era Modern
Memasuki era modern, eksistensi katana perlahan meredup seiring perubahan sosial-politik Jepang. Setelah Perang Boshin dan Restorasi Meiji, kekuasaan Keshogunan Tokugawa digulingkan. Kelas samurai yang sebelumnya dominan pun mulai kehilangan hak-haknya, termasuk hak membawa pedang di ruang publik. Perubahan ini turut menandai menurunnya kehadiran katana dalam kehidupan sehari-hari.
Militerisasi modern dan penggunaan senjata api menggantikan peran katana secara praktis. Puncaknya terjadi setelah Perang Dunia II, ketika pemerintah pendudukan melarang pembuatan katana dan pelaksanaan seni bela diri yang melibatkan bilah tajam. Pembatasan ini baru mulai dilonggarkan pada tahun 1953, membuka kembali jalan bagi para pengrajin untuk melestarikan tradisi yang nyaris terputus.
Namun, kebangkitan tradisi itu tidak mudah. Saat ini, hanya sekitar 150 empu katana bersertifikat yang masih aktif di Jepang. Jumlah ini mencerminkan kerentanan profesi tersebut, terutama karena banyaknya tantangan yang harus dilalui: sejarah panjang pembatasan, populasi pengrajin yang menua, serta proses sertifikasi nasional yang sangat ketat dan menuntut dedikasi total.
Setiap bilah katana bisa memakan waktu hingga tiga bulan atau lebih untuk diselesaikan. Seluruh prosesnya dilakukan secara manual, dari pemilihan bahan, penempaan, pembentukan, pengerasan, hingga pengasahan. Bahkan alat-alat kerja yang digunakan oleh para empu, seperti palu, tang, dan cetakan juga dibuat sendiri untuk menyesuaikan dengan gaya dan teknik masing-masing pengrajin. Hal ini menegaskan bahwa katana adalah seni yang sangat personal, sekaligus hasil kolaborasi antara keahlian teknis dan visi estetis.
Salah satu unsur paling penting dalam pembuatan katana adalah bahan bakunya: tamahagane, sejenis baja pasir yang sangat langka. Tamahagane hanya ditemukan di Prefektur Shimane, Jepang, dan pengelolaannya berada di bawah pengawasan ketat pemerintah. Pengrajin yang ingin menggunakannya harus mendaftar secara resmi dan menyebutkan jumlah pasti yang akan dibutuhkan dalam satu tahun.
Kelangkaan dan pengaturan yang ketat ini menjadi salah satu alasan mengapa harga katana otentik bisa sangat tinggi. Selain waktu dan keterampilan, bahan baku berkualitas adalah syarat utama untuk menghasilkan katana yang sempurna. Tidak heran jika harga satu katana buatan empu bersertifikat bisa mencapai 10.000 hingga 25.000 USD, bahkan lebih tinggi tergantung pada reputasi dan gaya pengrajin tersebut.
Setelah selesai, setiap bilah juga harus melalui proses verifikasi untuk membuktikan keasliannya. Verifikasi ini menjamin bahwa katana tersebut benar-benar dibuat dengan metode tradisional dan oleh empu yang diakui secara resmi.
Meskipun kini tak lagi berperan dalam pertempuran, katana tetap menyala dalam ruang-ruang budaya Jepang, di museum, dojo, film, dan koleksi pribadi. Ia menjadi simbol kontinuitas dan integritas, bahwa tradisi bisa bertahan bahkan ketika fungsi awalnya telah berlalu. Dalam setiap bilah katana, terdapat semangat zaman, tangan para empu, dan napas panjang peradaban.
Melestarikan katana bukan hanya tentang mempertahankan bentuk fisiknya, tetapi juga menjaga nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya seperti penghormatan pada leluhur, ketekunan dalam berkarya, dan keyakinan bahwa kesempurnaan hanya dapat diraih melalui pengorbanan yang tulus.
Selama masih ada empu yang mau menempa baja dengan cinta dan penghormatan, selama masih ada generasi ataupun kolektor yang bersedia memahami makna dari sebuah bilah, maka katana akan tetap hidup bukan di medan perang, tetapi di relung terdalam budaya Jepang. [UN]