Setelah terungkap adanya korupsi dana Bansos di Kementerian Sosial, kembali ditemukan dugaan pelanggaran di lingkaran satu pemerintah yaitu pada Kementerian Pertahanan (Kemhan). Kasus ini diduga telah merugikan negara hampir 1 triliun rupiah.
Pada kamis 13 Januari lalu, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan adanya dugaan pelanggaran hukum dalam proyek satelit Kemhan.
Proyek pengadaan satelit ini terjadi pada periode pertama presiden Joko Widodo (Jokowi) memegang pemerintahan. Kala itu Menteri Pertahanan (Menhan) masih dijabat oleh Ryamizard Ryacudu.
Merugikan Negara
Menurut Mahfud kejadian bermula ketika pada tanggal 19 Januari 2015, Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit.
Untuk mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT itu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit itu guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit), milik Avanti Communication Limited (Avanti), pada tanggal 6 Desember 2015
Masalahnya saat melakukan kontrak dengan Avanti tahun 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut. “Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada,” ujar Mahfud. Untuk membangun Satkomhan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016, yang anggarannya juga belum tersedia. Sedangkan ketika tahun 2016, anggaran telah tersedia, namun dilakukan “self blocking” oleh Kemhan.
Kemudian, Avanti menggugat Pemerintah Indonesia di London Court of Internasional Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.”Pada tanggal 9 Juli 2018, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp515 miliar,” lanjt Mahfud.
Indonesia sudah dua kali mendapat gugatan soal pembayaran satelit yang di sewa Kemhan. Setelah membayar kekurangan 20 juta dollar Amerika Serikat (AS) atas gugatan Avanti Communications Group plc pada tahun 2018 lalu, kini pemerintah kembali diminta membayar jumlah yang sama kepada pihak Navayo selaku penyedia jasa atas putusan Pengadilan Arbitrase Internasional di Singapura.
Mahfud memperkirakan angka kerugian dari gugatan proyek satelit ini sudah mencapai 800 miliar rupiah akan bertambah besar karena masih beberapa perusahaan lain meneken kontrak dengan Kemenhan. Mereka yakni AirBus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat.
Kejadian ini sebenarnya sudah lama terjadi, akan tetapi pemerintah baru memiliki keinginan untuk menjadikannya kasus hukum pada tahun 2022 ini. Pemerintah menurut Mahfud MD telah melakukan diskusi membahas kasus ini sejak lama.
Perbuatan melawan hukum
Saat ini Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menaikkan kasus dugaan pelanggaran hukum dalam pengelolaan satelit Kemhan ke tingkat penyidikan. Sejumlah pihak telah diperiksa terkait kasus ini. Kejaksaan mengatakan sebelumnya penyelidikan sudah dilakukan selama 1 pekan. Tim telah memeriksa beberapa pihak, mulai dari swasta atau rekanan pelaksana maupun beberapa orang di Kementerian Pertahanan. Jumlah yang diperiksa 11 orang.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah mengatakan dari hasil penyelidikan, jaksa menemukan adanya perbuatan melawan hukum. Salah satunya bahwa proyek ini dinilai tak direncanakan dengan baik. Pertama, kontrak dengan Avanti, perusahaan penyewaan satelit sementara pengisi orbit (floater), dilakukan padahal anggarannya tak tersedia dalam DIPA Kemenhan.
“Seharusnya saat itu kita tak perlu melakukan penyewaan tersebut karena di ketentuannya saat satelit lama tak berfungsi masih ada waktu 3 tahun masih bisa digunakan. Tapi dilakukan penyewaan. Di sini kami melihat ada perbuatan melawan hukum,” kata Febrie.
Selain itu, satelit yang disewa juga tak dapat berfungsi dan spesifikasinya tak sama.
“Jadi indikasi kerugian negara yang kami temukan hasil dari diskusi dengan auditor, uang keluar sesudah keluar adalah Rp 500 miliar lebih. Dan ada potensi kerugian US$ 20 juta karena kita sedang digugat,” kata Febrie.
Permalukan Indonesia
Kejadian ini tentunya mencoreng nama Indonesia di dunia, karena berkali-kali tersandung kasus hukum dan mangkir dari pembayaran kontrak. Kasus ini juga menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap lingkaran satu pemerintah yaitu kementerian sehingga negara bisa mengalami kerugian hampir 1 triliun rupiah.
Perlu penanganan serius dari pemerintah pada kasus ini karena telah merugikan keuangan negara dalam jumlah besar. Selain itu juga perlu mengungkapkan secara terbuka siapa saja yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang mengakibatkan bobolnya kas negara.
Penuntasan kasus satelit Kemhan secara terbuka terkait juga dengan pemulihan nama baik Indonesia dan Presiden, karena sudah berkali-kali terungkap korupsi yang di otaki oleh menteri kabinet Jokowi. Mungkin ini yang disebut Megawati dengan benalu, pihak yang mencari keuntungan dengan menggerogoti bangsanya sendiri.
Kejadian ini adalah pelajaran penting sebagaimana Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri mengutip kalimat Bung Karno “Perjuangan saat ini beda corak dan sifatnya. Bung Karno menegaskan bahwa perjuangannya lebih mudah karena melawan penjajah. Sementara perjuangan kita menjadi lebih sulit karena berhadapan dengan bangsa sendiri,” ujar Megawati. [PTM]