Ilustrasi: Meikarta/Bloomberg

Pejabat tinggi di Lippo Group tak mungkin bergerak sendiri. Beranikah KPK menjerat korporasi raksasa itu?

Koran Sulindo – Penanda megaproyek itu kini tampak kusam. Terletak di simpang susun Cikarang Barat, Bekasi tulisan “Meikarta Central Park”  dengan inisial M dengan jenis font menarik itu mulai pudar warna birunya. Balon raksasa berbentuk ikan paus di danau buatan itu teronggok tanpa daya penuh debu.

Pekan lalu taman yang berada di kawasan CBD Meikarta itu sepi. Rumput dan tanaman bunga mengering; pohon-pohon meranggas tinggal batang dan ranting. Karakter Transformer “bumble bee” dan carrousel hanya berdiri mematung. Menyusuri jalan utama kawasan itu terlihat seng-seng pembatas proyek berwarna biru telah dibongkar.

Tak terbayangkan, sepanjang 2017 lalu proyek itu, menurut riset Nielsen, menghamburkan sebanyak Rp 1,5 triliun untuk iklan. Di televisi hampir setiap jam iklan sekitar 30 detik mencoba merebut perhatian pemirsa. Koran-koran cetak tertawa dengan iklan raksasa sebesar  1 halaman yang mereka terima dalam waktu yang relatif panjang.

Meikarta diperkenalkan kepada publik pada 4 Mei 2017. Megaproyek ini menempati area seluas 500 hektare, melalui proses penguasaan lahan yang sudah dimulai sejak 1990-an, jauh sebelum kekuasaan Presiden Orde Soeharto jatuh.

Penguasa Lippo Group, James Riady, merencanakan pembangunan 100 gedung dengan ketinggian masing-masing 35 lantai. Gedung-gedung terbagi dalam peruntukkan hunian 250.000 unit, lalu perkantoran strata title, 10 hotel bintang lima, pusat belanja, dan area komersial. Luas keseluruhan lahan itu sekitar 1,5 juta meter persegi.

Dari total luas itu sebanyak 20 persen, sekitar 100 hektare dialokasikan untuk pengembangan central business district (CBD), sejenis distrik SCBD Sudirman milik pengusaha Tommy Winata di jantung Jakarta, hanya yang ini berjarak sekitar 60 km dari monumen nasional (Monas).

Investasi proyek skala kota seluas 322 hektar di Jawa Barat itu sekitar Rp 250 triliun, lebih 10 persen dari besar anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) Republik Indonesia yang terakhir. Meikarta dibangun PT Mahkota Sentosa Utama (MSU), anak usaha PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) yang merupakan tentakel bisnis properti Lippo Group.

Tapi tiba-tiba bum.

Pengembangan kota baru itu berhadapan dengan hamba hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan salah satu orang tertinggi di Lippo Group pekan lalu. Selain Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro, KPK juga mencokok Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin, sejumlah Kepala Dinas di lingkungan Pemkab Bekasi, dan konsultan serta pegawai Lippo Group.

KPK segera menetapkan Billy, Neneng, dan 3 orang lainnya sebagai tersangka pemberi suap. Masing-masing yakni Taryudi dan Fitra Djaja Purnama yang merupakan konsultan Lippo Group. Sementara itu, satu tersangka pemberi suap lainnya adalah Henry Jasmen, pegawai Lippo Group.

Ironi Denny

Tidak pakai lama, kuasa hukum PT MSU Denny Indrayana, mengatakan pembangunan Meikarta tetap dilanjutkan kendati tengah diselidiki KPK.

“Secara hukum dan sejalan dengan keterangan KPK, proses hukum yang saat ini berlangsung di KPK adalah hal yang terpisah dan berbeda dengan proses pembangunan yang masih berjalan di Meikarta,” kata Denny, melalui rilis media.

Denny mengutip pernyataan KPK yang menyatakan tidak berwenang melakukan moratorium terhadap proyek Meikarta karena proyek tersebut tidak didanai APBN sebagai dasar.

Ilustrasi: Denny Indrayana/law.unimelb.edu.au

KPK langsung menyatakan keberatan pada pernyataan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia di zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.

Sebagai pengingat, Denny yang mewakili kantor hukum Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (Integrity) baru ditunjuk sebagai pengacara sehari setelah KPK menggelar operasi tangkap tangan. Pada 17 Agustus 2012, ia pernah mencuit di akun Twitternya, “Advokat koruptor adalah koruptor itu sendiri. Yaitu advokat yg membela kliennya yg nyata2 korupsi, menerima bayaran dari uang hasil korupsi.”

Sebagai pengingat lagi, Denny adalah tersangka dalam kasus pengadaan sistem pembayaran pembuatan paspor secara online payment gateway di Kemenkumham pada 24 Maret 2015. penetapan Denny sebagai tersangka merupakan hasil dari gelar perkara di Direktorat Tipikor Bareskrim Mabes Polri.

Adapun juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan KPK tidak pernah menyampaikan setuju atau tidak setuju proyek Meikarta diteruskan dan hanya fokus pada pokok perkara dugaan suap perizinannya.

“Kami keberatan dengan poin di siaran pers tersebut yang seolah-olah pernyataan KPK dijadikan legitimasi untuk meneruskan proyek Meikarta,” kata Febri.

Billy tak Sendiri

Salah satu pucuk pimpinan Lippo yang ditangkap adalah Billy Sindoro. Penyuapan yang dilakukan Direktur Operasional Lippo Group itu jelas dilakukan untuk dan atas kepentingan korporasi. Beranikah KPK?

”Tersangka yang sekarang sudah ditahan, dia jabatannya Direktur Operasional Lippo Group. Kalau petinggi korporasi semacam itu, apa yang dia lakukan otomatis itu perilaku korporasi, karena itu dilakukan oleh petinggi korporasi,” kata Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Bandung, Agustinus Pohan, seperti dikutip pikiran-rakyat.com.

Mengacu kepada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengaturan Tindak Pidana oleh Korporasi, Lippo Group sebagai induk perusahaan uga dapat ditetapkan sebagai tersangka.

”Sudah jelas itu perbuatan korporasi karena pe­nyuapan untuk memperoleh izin pendirian proyek perusahaan, bukan proyek pribadi. Dia direktur operasional, bagian dari direksi. Apa yang dia lakukan adalah perbuatan korporasi,” katanya.

Senada juga, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi bisa dilakukan baik berdasarkan hubungan kerja, sendiri, maupun bersama-sama. ”Siapa pun dalam organisasi perusahaan yang melakukan tindak pidana korupsi untuk kepentingan perusahaan dapat disebut mewakili korporasi. Oleh karena itu korporasi dapat ditempatkan sebagai subjek pelaku pidana,” katanya.

Ilustrasi/Bloomberg

KPK dapat langsung menetapkan tersangka terhadap korporasi, mengingat semua perizinan yang dibarengi suap itu untuk kepentingan perusahaan. Penetapan sebuah korporasi sebagai tersangka pernah dilakukan oleh KPK, antara lain pada PT Duta Graha Indah (DGI) sebagai tersangka dalam proyek senilai Rp 138 miliar untuk pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus di Universitas Udayana pada 2009 dan 2010.

Kriminolog Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar juga menyatakan KPK sangat mungkin menjerat Lippo Group.

”Ini ada pemberian uang sebesar belasan miliar. Apakah ini inisiatif si direktur? Terus, uangnya dari mana? Uang direktur sendiri? Uang sebesar itu bisa saja berasal dari persetujuan direksi dan komisaris. Ini yang harus dibuka,” katanya.

Jika KPK membawa kasus suap Meikarta ini ke arah korporasi jelas akan memberi preseden baik. Selama ini perkara korupsi yang melibatkan korporasi hanya menyasar individu pejabatnya. Korporasinya selalu bisa lenggang kangkung.

Beranikah KPK menjerat raksasa yang antara lain memiliki PT Matahari Department Store, jaringan rumah sakit PT Siloam International, perusahaan internet dan TV kabel PT First Media, dan jaringan media masssa itu? [Didit Sidarta]