Kasus Covid-19 Belum Terkendali, Indonesia di Ambang Resesi

Ilustrasi Indonesia di ambang resesi/Istimewa

Koran Sulindo – Resesi ekonomi secara teknikal diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang diukur dari produk domestik bruto (PDB) mengalami kontraksi atau negatif (-) secara berturut-turut minimal selama dua kuartal.

Beberapa negara di Asia sudah mengalaminya. Pertumbuhan ekonomi Singapura, negara tetangga Indonesia, pada kuartal kedua -12,6%, sementara pada kuartal sebelumnya -0,7%.

Selain Singapura, negara di Asia lainnya yang juga sudah resmi masuk resesi adalah Korea Selatan. Pada kuartal kedua 2020, PDB Korea Selatan sebesar -3,3%. Sementara pada kuartal pertama 2020 tumbuh sebesar -1,3%.

“Kuartal kedua ini berbagai negara pertumbuhannya negatif akibat dari kegiatan pencegahan Covid-19 dalam bentuk lockdown. Berbagai negara turunnya cukup dalam,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada 16 Juli lalu.

Meski belum resesi, beberapa negara lain pertumbuhan ekonominya pada kuartal kedua 2020 juga sudah negatif seperti Malaysia -8,4%; Thailand -11,1%; Filipina -7,6%; Brasil -11% dan India -20%. Indonesia sendiri memang belum mengumumkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua atau periode April-Juni. Tetapi pemerintah sendiri menyampaikan dipastikan pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal kedua ini juga akan negatif.

Airlangga mengatakan diperkirakan kuartal kedua pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran -3,8% hingga -4,2%. “Bahkan ada prediksi yang mendekati -4,5%,” ujarnya.

Berapa pun pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua di Indonesia sebenarnya bukan menjadi isu yang penting lagi. Karena toh secara faktual periode itu sudah dilewati. Sejak akhir Maret lalu hingga Mei, semua aktivitas termasuk ekonomi nyaris terhenti total karena adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Justru yang menjadi fokus saat ini adalah pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga (Juli-September) dan juga kuartal keempat (Oktober-Desember). Pantauan di jalanan memang kondisi tak lagi selengang pada April-Mei lalu. Arus lalu lintas sudah mulai kembali padat, pusat-pusat perbelanjaan sudah dibuka meski pengunjung masih sepi. Pemandangan di pinggir jalan juga sudah kembali terlihat para pedagang kaki lima atau pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sudah mulai menjajakkan dagangannya. Ini adalah periode yang disebut pemerintah sebagai PSBB transisi yaitu pembukaan kembali aktivitas sosial ekonomi secara bertahap.

Tetapi akar persoalan krisis ini adalah pandemi Covid-19, dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Tren jumlah kasus baru masih naik dari hari ke hari baik di Indonesia maupun secara global. Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per Jumat (24/7), jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia sebanyak 93.675 orang. Sementara di seluruh dunia mencapai 15.257.287 kasus terkonfirmasi.

Tren jumlah kasus yang masih naik ini tentu membuat aktivitas ekonomi tidak bisa dilakukan dengan leluasa. Sejumlah kalangan berpendapat kondisi baru benar-benar akan kembali seperti sediakala apabila vaksin untuk membasmi virus penyebab Covid-19 ini sudah berhasil ditemukan dan didistribusikan secara massal. Dan kondisi tersebut paling cepat baru akan terjadi pada tahun depan.

Tetap beraktivitas dengan disiplin menjaga protokol kesehatan memang menjadi pilihan saat ini. Tetapi tetap saja kondisi tersebut tak membuat roda ekonomi kembali bergerak normal. Karena itulah, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga (Juli-September) diramalkan akan tetap negatif, seperti pada kuartal kedua, meski kontraksinya tak lagi sedalam kuartal kedua.

“Tentu pemerintah berharap di kuartal ketiga minimal kita bisa menjaga agar situasi tidak terlalu dalam, tetapi bisa recover mendekati -1% atau 0%,” ujar Airlangga.

Dengan demikian, pemerintah sendiri sudah mengakui bahwa kuartal ketiga kemungkinan pertumbuhan ekonomi akan kembali minus. Itu artinya, Indonesia akan resesi karena kuartal kedua dipastikan minus.

Resesi
Direktur Riset Core Indonesia, Piter Abdullah memperkirakan kuartal ketiga pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan terkontraksi tetapi lebih rendah dibandingkan kontraksi pada kuartal kedua 2020. “Kalau sekarang kita sibuk ngomongin resesi di Singapura, sebenarnya kita juga akan mengalami resesi. Resesi adalah sesuatu yang tidak terelakan,” ujar Piter.

Menurut Piter selama wabah ini belum berakhir, aktivitas sosial ekonomi juga akan tetap terbatas dan pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat yang merupakan penopang terbesar ekonomi Indonesia.

Piter mengatakan saat ini pemerintah memang sudah melonggarkan PSBB. Tetapi, kelesuan ekonomi tidak semata-mata terjadi karena kebijakan PSBB. Ada atau tidak ada PSBB, dalam kondisi wabah, aktivitas sosial ekonomi akan tetap terbatas. Memang ada yang sudah berjalan normal sejak Juni lalu, tetapi banyak juga masyarakat yang dengan kesadaran dirinya sendiri melakukan pembatasan aktivitas sosial mereka.

“Karena mereka menjaga risiko terhadap wabah Covid-19. Jadi, dengan kebijakan pembatasan atau tanpa kebijakan pembatasan, aktivitas sosial ekonomi tetap akan terbatas,” ujar Piter.

Terbatasnya aktivitas masyarakat ini akan berdampak pada cash flow atau arus kas dunia usaha. Baik karena dunia usaha sendiri membatasi operasionalnya, maupun karena berkurangnya jumlah pembeli karena masyarakat masih enggan beraktivitas. Sementara di sisi lain, kewajiban pengeluaran tetap tinggi seperti untuk membayar sewa, gaji pegawai dan utang ke bank baik bunga maupun cicilannya. “Artinya di sektor keuangan itu ada potensi kredit macet,” ujar Piter. [Julian A]