Kasus Bos Gulaku, Bareskrim Fokuskan pada Pasal Pencucian Uang

Ilustrasi: Gunawan Yusuf (belakang) saat kunjungan kerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke salah satu pabrik Sugar Group Companies di Lampung/Kompasiana

Koran Sulindo – Bareskrim Polri terus melakukan penyidikan kasus dugaan pencucian uang pengusaha Gunawan Jusuf, meski bos Sugar Group Company itu mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN), Jakarta Selatan. Dalam proses penyidikan, Bareskrim akan mengenakan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU).

“Kan ada pasal utama, nah yang salah satunya kita tonjolkan memang TPPU-nya,” kata Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Wadir Tipideksus) Bareskrim, Daniel Tahi Monang Silitonga, di Jakarta, Kamis (18/10/2018).

Selain itu, penyidik akan berkoordinasi dengan PN Selatan terkait maju-mundurnya praperadilan Gunawan Jusuf.

“Sedang kita koordinasikan dengan pengadilan apakah boleh begini (3 kali ajukan praperadilan), apakah ini suatu cara atau suatu apa untuk menghambat penyidikan atau apa, ” kata Daniel.

Sementara itu Komisi Judisial (KY) memastikan tetap akan melakukan pemantauan kembali pada upaya praperadilan diajukan Gunawan Jusuf untuk ketiga kalinya, yang diagendakan Senin pekan depan. KY memastikan pemantauan dilakukan hingga proses persidangan selesai.

Namun Komisioner KY Sukma Violeta mengatakan KY belum memutuskan apakah pemantauan akan dilakukan langsung, sebagaimana dengan praperadilan pertama dan kedua, pada kasus yang diajukan oleh pengusaha pemilik Gulaku itu. Sukma juga mengakui, praperadilan yang diajukan ini menarik, karena  pengusaha itu sudah tiga kali mengajukan praperadilan yang sama. Dua sebelumnya, ia cabut tak lama setelah mengajukan, hingga persidangan belum sempat digelar.

“KY akan terus melakukan pemantauan persidangan hingga perkara diputuskan oleh majelis hakim,” kata Sukma.

Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, menjelaskan latar belakang kasus dugaan penipuan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menyeret pengusaha Gunawan Jusuf atas laporan rekan bisnisnya Toh Keng Song.

“Kronologi perkara ini sejak tahun 1999 sampai 2004, pelapor atas nama Toh Keng Siong melakukan penempatan dana ke PT Makindo milik GJ sekitar USD 126 juta dan ada sekitar USD 25 juta dikirim kembali ke pelapor,” kata Dedi di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Kemudian, Dedi mengatakan pelapor sempat ingin menarik kembali dana yang sudah ditanam di PT Makindo. Namun, Gunawan mengaku tidak pernah terjadi penempatan uang pelapor di perusahaan tersebut yang disampaikan melalui mantan istrinya.

“Saat pelapor akan menarik uangnya akhir 2001, GJ menyatakan lewat CJ yang merupakan mantan istri GJ bahwa pelapor tidak pernah menempatkan uangnya di PT Makindo,” ujarnya.

Akhirnya, Toh Keng Siong melaporkan kasus ini ke kepolisian pada 20 April 2004 dengan tuduhan tindak pidana penipuan dan penggelapan. Namun, penyelidikan atas laporan Toh Keng Sion ini dihentikan penyidik dengan alasan bukan tindak pidana pada 20 Juli 2004.

“Pada 2008, TKS mengajukan praperadilan dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan pemohon,” jelasnya.

Lebih lanjut, pada 2013, Dedi mengatakan Divisi Hukum Polri saat itu mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan pemohon.

“Divkum Polri mengajukan PK dan putusan di 2013 oleh MA menyatakan bahwa putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dibatalkan dan menguatkan SP3 penyidik, katanya.

Kemudian, Dedi menambahkan pada 2015 penyidik meminta keterangan dari CJ dan diakui kalau mantan suaminya itu Gunawan Jusuf benar menerima uang yang sifatnya diinvestasikan oleh Toh Keng Siong selama periode 1999 sampai 2004.

“Pada tahun 2015, penyidik mendapatkan keterangan dari CJ bahwa benar PT Makindo menerima penempatan uang dari pelapor di periode 1999 sampai 2004,” kata Dedi.

Selanjutnya, Dedi mengatakan penyidik meminta keterangan tiga ahli pidana untuk menelisik kondisi kasus ini. Alhasil, ketiga ahli berpendapat bahwa pelapor bisa membuat laporan baru dan kasus bersifat tidak kadaluarsa.

“Lalu ada tiga keterangan ahli pidana yang menyatakan apabila pelapor membuat laporan baru, maka hal tersebut tidak kadaluarsa dan tidak nebis in idem, serta locus kejahatan berada di dalam wilayah yurisdiksi Indonesia,” kata Dedi. [YMA]