Koran Sulindo – Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi jumlah pengangguran, pemerintah Indonesia memasukkan Program Kartu Prakerja dalam Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 yang disahkan tahun lalu.
Kartu Prakerja adalah kartu yang diberikan kepada pencari kerja atau pekerja untuk memperoleh pendidikan kejuruan atau sertifikasi kompetensi kerja yang memudahkan mereka mencari kerja. Jumlah anggaran yang ditetapkan waktu itu mencapai Rp10 triliun untuk sekitar 2 juta peserta.
Namun, ketika pandemi COVID-19 menyerang Indonesia dan melumpuhkan beberapa industri, pemerintah memutuskan untuk menambah jumlah kartu menjadi 5,6 juta dan mengemasnya menjadi “bantuan sosial” untuk pengangguran dan karyawan yang mengalami putus hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan akibat pandemi.
Terlepas dari niat baik pemerintah, kami melihat program ini sangat memihak pada kelompok masyarakat ekonomi menengah yang tinggal di perkotaan.
Distribusi Kuota Penerima Terpusat di Pulau Jawa
Selama wabah COVID-19, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah pegawai yang di-PHK dan dirumahkan mendekati angka 3 juta orang di seluruh Indonesia. Angka tersebut belum termasuk jumlah orang yang setengah menganggur (8,1 juta) dan pekerja paruh waktu (28,1 juta).
Namun, data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menunjukkan jumlah kuota penerima Kartu Prakerja lebih banyak di Pulau Jawa, yaitu mencapai 70%. Artinya dari 5,6 juta kartu yang dibagi, hampir 4 juta akan didistribusikan di Pulau Jawa.
Dari jumlah itu, Provinsi DKI Jakarta mendapatkan kuota paling besar, sekitar 1,6 juta penerima disusul oleh Jawa Barat sekitar 930 ribu penerima.
Besarnya kuota yang diberikan kepada para peserta di kota-kota di Pulau Jawa mungkin mengingat statusnya sebagai pusat perekonomian Indonesia dan kondisi beberapa kota di Pulau Jawa yang menjadi zona merah COVID-19.
Namun, perlu juga diingat bahwa persoalan pengangguran baik sebelum maupun saat pandemi COVID-19 ini juga terjadi di luar Pulau Jawa. Bahkan kota-kota di luar Jawa mungkin lebih membutuhkan karena kondisi mereka yang lebih buruk dengan indeks kemiskinan yang tinggi dan minimnya infrastruktur dan lapangan pekerjaan.
Materi yang hanya Bisa Diakses oleh Kelas Menengah
Berdasarkan observasi yang kami lakukan, sebanyak 99% dari sekitar 1.900 materi yang disajikan oleh delapan penyedia jasa pelatihan lebih berorientasi pada masyarakat perkotaan dibandingkan pedesaan.
Bentuk pelatihan seperti pelatihan pembuatan konten game, digital marketing, pelatihan konten YouTube, fotografi, desain grafis, dan lainnya hanya cocok untuk masyarakat perkotaan dibanding pedesaan. Bukan masalah akses terhadap industrinya saja, tapi alat dan infrastruktur yang memadai untuk jenis pelatihan tersebut hanya tersedia di perkotaan.
Kemudian ada juga latihan pelayanan ojek online yang saat ini operasinya hanya menjangkau 31% kota di seluruh Indonesia. Jenis pelatihan ini juga hanya melayani orang-orang yang tinggal di kota-kota tersebut.
Berdasarkan pantauan kami, hanya tiga paket materi yang berbicara tentang pertanian dan satu paket materi tentang perikanan dari ribuan materi yang disediakan oleh Kartu Prakerja.
Hal ini berarti hampir seluruh materi-materi dalam program Kartu Prakerja tidak memiliki orientasi terhadap aktivitas pemberdayaan pemanfaatan potensi desa atau pun terintegrasi dengan pengembangan ekonomi pedesaan.
Tidak hanya itu, metode penyampaian materi secara online juga sangat memihak masyarakat perkotaan.
Data Badan Pusat Statistik tahun 2018 menunjukkan dari 83.931 wilayah administrasi setingkat desa di Indonesia, baru terdapat 66% yang memiliki sinyal telepon seluler kuat, sedangkan sisanya berkategori sinyal lemah, bahkan tidak ada sinyal sama sekali.
Sudah barang tentu, kondisi ini akan semakin mempersulit para angkatan kerja di wilayah pedesaan.
Akses yang Terbatas hanya untuk Masyarakat Perkotaan
Sistem transaksi Kartu Prakerja melalui perbankan dan layanan pembayaran digital seperti LinkAja, OVO dan Gopay juga kurang adaptif dengan kultur keuangan masyarakat pedesaan.
Terbatasnya jumlah kantor cabang pembantu (KCP) bank dan anjungan tunai mandiri (ATM) di desa, lalu jarak tempuh antara rumah dan jaringan KCP dan ATM yang jauh serta akses jaringan internet yang tidak memadai akan menyulitkan masyarakat pedesaan untuk mengakses program pelatihan Kartu Prakerja.
Ketersediaan akses perbankan dan layanan jasa keuangan wilayah Indonesia tengah dan timur masih di bawah rata-rata nasional yang mencapai 76,19%. Hal ini mengindikasikan bahwa masih ada kesenjangan dalam akses keuangan yang tidak diperhatikan pemerintah dalam pelaksanaan program Kartu Prakerja.
Alternatif Solusi
Berangkat dari masalah di atas, pemerintah perlu mengevaluasi program Kartu Prakerja yang masih bias kota.
Solusi alternatif yang bisa dilakukan adalah menggunakan segala dana pelatihan yang bersifat online yang jumlah totalnya menjadi Rp6,44 triliun untuk menambah 2,6 juta kuota penerima Kartu Prakerja baru.
Kartu Prakerja juga harus mempertimbangkan asas pemerataan desa-kota. Pemberian insentif juga harus menyesuaikan prinsip inklusi keuangan dengan mempertimbangkan beberapa kondisi geografis dan aspek sosial-ekonomi di tingkat lokal.
Skema dan pembiayaan pelatihan kerja di desa bisa didapat dari Anggaran Pendapatan dan Belanda Daerah (APBD) dan Dana Desa sehingga tujuan pelatihan dapat terintegrasi dengan peningkatan potensi sumber daya alam dan infrastruktur setempat.
Ini sesuai dengan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Desa Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 11 tahun 2019 bahwa pemberian pelatihan kerja merupakan salah satu prioritas penggunaan Dana Desa. Tujuannya untuk memastikan agar pelatihan kerja yang diberikan bisa memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang relevan dengan daerah setempat, seperti yang telah lama didengungkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan RI.
Dengan begitu, maka wabah COVID-19 yang tengah melanda Indonesia seakan menjadi berkah yang tersamar dan menjadi sebuah momentum baru untuk melihat masa depan angkatan kerja baik di desa-desa maupun di kota yang lebih baik. [Dwiyanti Kusumaningrum, Fachri Aidulsyah, dan Ruth Meilianna; ketiganya peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)]. Tulisan ini disalin dari theconversation.com.