Koran Sulindo – Peluncuran program Kartu Prakerja sebagai solusi untuk mengatasi dampak ekonomi COVID-19 adalah contoh bagaimana pemerintah mengakomodasi keinginan kelompok kepentingan – dalam hal ini kelompok perusahaan teknologi – di masa krisis.
Program Kartu Pekerja adalah salah satu janji kampanye Presiden Joko”Jokowi” Widodo pada pemilihan presiden tahun lalu untuk mengurangi angka pengangguran dengan meningkatkan kompetensi tenaga lewat pelatihan gratis.
Program ini kemudian dirancang kembali oleh pemerintah dalam dokumen perencanaan tahun 2020-2024 untuk meningkatkan kompetensi kerja, bukan untuk membantu masyarakat mengatasi dampak guncangan ekonomi (economic shock) akibat pandemi.
Sekilas program ini mirip bantuan sosial bersyarat.
Namun, jika bantuan sosial lain diberikan berdasarkan indikator kesejahteraan (misalnya konsumsi listrik tiga bulan terakhir atau jumlah penghasilan), Kartu Prakerja menjadikan pelatihan online yang disediakan oleh perusahaan teknologi seperti Sekolahmu, Ruang Guru, dan Pintaria sebagai prasyarat bantuan.
Berdasarkan situs resmi Kartu Prakerja, penerima berhak atas paket pelatihan online (daring) dari mitra resmi senilai Rp 1 juta.
Namun untuk mendapatkannya, peserta harus mengikuti pelatihan selama empat bulan serta mengisi kuesioner evaluasi untuk mendapatkan ‘uang bantuan’ sebesar Rp 600,000 per bulan selama pelatihan, yang disalurkan melalui platform digital privat yang ditunjuk.
Jika dalam bantuan sosial lain ada pilihan PT Pos yang bisa menjangkau seluruh Indonesia sebagai media pembayaran bantuan, dalam Kartu Prakerja ditunjuk beberapa perusahaan pembayaran digital antara lain GoPay, LinkAja dan OVO.
Kartu Prakerja dalam Kerangka Kebijakan
Mengapa kelompok kepentingan bisa mempengaruhi arah kebijakan pemerintah dalam mengatasi pandemi?
Konsep proses pembuatan kebijakan oleh profesor ilmu politik John Kingdon bisa menjelaskan mengapa Kartu Prakerja didorong sebagai kebijakan menghadapi pandemi.
Ia menggambarkan proses pembentukan kebijakan sebagai pertemuan antara masalah, solusi, dan keinginan politik.
Di atas kertas, siklus kebijakan di Indonesia dimulai dengan proses evaluasi, kemudian legitimasi, dan diakhiri dengan implementasi.
Namun, di dunia nyata proses pembuatan kebijakan tidak sesederhana dan serasional itu.
Menurut Kingdon, dalam menentukan suatu kebijakan, kesediaan dan kemampuan para pembuat kebijakan dipengaruhi keyakinan mereka, persepsi tentang keadaan nasional, dan masukan yang mereka terima dari kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan adalah individu-individu yang terorganisir untuk mempengaruhi pemerintah-misalnya asosiasi pengusaha, asosiasi buruh, dan partai politik.
Dalam kasus Kartu Prakerja, pemerintah berpacu dengan waktu untuk mengintervensi dampak pandemi terhadap kesejahteraan masyarakat.
Dalam proses pembuatan kebijakan, pejabat pembuat kebijakan di tingkat atas mendelegasikan proses pencarian solusi kepada beberapa birokrat yang kemudian berkonsultasi dengan kelompok-kelompok kepentingan.
Konsultasi biasanya dilakukan pemerintah untuk mempertimbangkan gagasan dan menghasilkan solusi. Di Indonesia, pelaksanaan forum konsultasi ini diatur dalam UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. UU ini menyatakan bahwa sebuah kebijakan harus melewati proses forum musyawarah yang melibatkan perwakilan masyarakat.
Dalam kebijakan Kartu Prakerja tidak ada informasi kepada publik apakah proses konsultasi dengan masyarakat dilakukan, bagaimana prosesnya, dan siapa yang diundang.
Menurut Kingdon, dalam masa krisis, kelompok-kelompok kepentingan bisa sangat efektif mengangkat kepentingan mereka dalam agenda pemerintah.
Kelompok-kelompok ini mungkin telah lama memperjuangkan ‘solusi’ mereka untuk mendapatkan perhatian atau dukungan dari pemerintah. Pada kesempatan ini mereka akan berupaya mendapatkan dukungan dari para pejabat pembuat kebijakan.
Kelompok kepentingan mendorong kepentingan mereka melalui lobi dengan berbagai cara. Mulai dari memberikan donasi, mengatur imbalan tidak langsung (quid pro quo) misalnya memberikan jabatan bagi pejabat yang ‘ramah’, hingga membantu penyusunan regulasi untuk kebijakan terkait.
Karena sifatnya yang cenderung bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, lobi tidak dilakukan secara terang-terangan.
Lobi selalu dilakukan dibalik kegiatan investasi yang taktis. Misalnya beberapa perusahaan pembayaran berbasis teknologi seperti GoPay, Link Aja, dan OVO, gencar memberikan pernyataan melalui media bahwa bisnis mereka akan dapat meningkatkan efektifitas bantuan sosial, jauh sebelum Kartu Prakerja muncul.
Atau ketika Ruang Guru ‘membeli’ kredibilitas dengan menggelar konferensi pendidikan Learning Innovation Summit pada Maret 2018 dengan mengundang Menteri Keuangan Sri Mulyani dan para pejabat kementerian dan dinas pendidikan dari seluruh Indonesia.
Kartu Prakerja menggambarkan bagaimana sebuah kebijakan dibuat di tengah krisis di Indonesia.
Program Kartu Prakerja adalah kebijakan yang muncul dari pertemuan antara masalah, solusi, dan keinginan politik – dan masing-masing datang dari waktu dan tempat yang berbeda.
Modifikasi Kartu Prakerja di Tengah Pandemi
Sebagai sebuah kebijakan, Kartu Prakerja bukanlah solusi yang mengakar pada masalah publik. Kartu Prakerja adalah solusi yang dimodifikasi untuk mengakomodir kepentingan kelompok.
Dari sisi manajemen hingga pelaksanaan, Kartu Prakerja tidak memperlihatkan kesesuaian dengan rencana pemerintah.
Dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah 2020, pemerintah menargetkan pembentukan sebuah lembaga pengelola Kartu Prakerja yang profesional. Lembaga ini perlu dijalankan oleh orang-orang yang punya keahlian di bidang pelatihan dan ketenagakerjaan.
Saat ini, manajemen pelaksana program Kartu Prakerja diisi oleh pejabat dari di Kantor Staf Presiden (KSP), sebuah pusat kendali pemerintahan dan pengendalian prioritas nasional, yang tidak memiliki latar belakang yang selaras dengan kebutuhan lembaga. Misalnya, posisi direktur eksekutif diisi seorang ekonom; sedangkan posisi direktur komunikasi diisi orang yang sebelumnya memegang jabatan Government Relation di Gojek dan Treasury Director di Visa.
Kartu Prakerja tidak mendorong pelatihan yang terkait industri 4.0 seperti yang dicanangkan dalam (RPJMN) 2020-2024 maupun oleh Kementerian Perindustrian. Berdasarkan peta jalan “Making Indonesia 4.0”, Kementerian Perindustrian menetapkan lima sektor manufaktur prioritas: industri makanan dan minuman; tekstil dan pakaian; otomotif; elektronik; dan kimia.
Dalam laman resmi Kartu Prakerja, tidak ada pelatihan terkait kelima industri diatas. Beberapa contoh pelatihan yang ditawarkan lewat program ini adalah tentang berjualan online, tata rias, dan fotografi.
Pelatihan yang diberikan juga bertentangan dengan prinsip-prinsip vokasi. Berdasarkan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan vokasi bertujuan meningkatkan penguasaan keahlian terapan tertentu. Maka, pendidikan vokasi perlu mendorong lebih banyak praktek daripada teori.
Pelatihan yang ditawarkan Kartu Prakerja seluruhnya adalah teori; praktek diserahkan sepenuhnya pada peserta.
Jelas bahwa Kartu Prakerja yang saat ini ditawarkan bukanlah solusi untuk masalah publik, seperti kemiskinan dan pengangguran. Kartu Prakerja merupakan solusi untuk kelompok kepentingan yang dibungkus sebagai solusi untuk masalah publik. [Resya Kania, PhD Candidate in Social Policy, University of Birmingham, Inggris]. Tulisan ini disalin dari theconversation.com.